Sejumlah tokoh nasional menilai, Harian Kompas telah melakukan pembohongan publik dan pemutarbalikan fakta dan syarat dalam "iklan kaleng" UU Migas yang dimuat harian itu.

Beberapa tokoh nasional yang hari ini berencana mengadukan Harian Kompas ke Dewan Pers adalah DR Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Prof Sri Edi Swasono, DR Kurtubi dan Marwan Batubara.

Dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, para tokoh itu beranggapan “iklan kaleng” yang setidaknya dimuat tiga kali pada 9, 17, dan 27 Agustus 2012 itu dilakukan kelompok orang yang ingin mendapat keuntungan di atas kerugian negara dan rakyat Indonesia.

Sebagaimana diketahui, kelima tokoh nasional tersebut pernah melakukan pertemuan di kediaman Sri Edi Swasono, Rumah Bung Hatta, Jl. Diponegoro 57, Jakarta Pusat, Selasa (4/9).

Dalam pertemuan itu, mereka sepakat menyebut iklan yang dimuat Kompas sebagai "iklan kaleng" sebab tidak mencantumkan jati diri pemasang iklan. Sementara, menurut pengakuan Kwik, suratnya pada Pimpinan Redaksi Kompas yang mempertanyakan boleh tidaknya memuat iklan yang tak jelas identitas pemasangnya, sama sekali tidak ditanggapi.

Pada diskusi itu dipaparkan pula asbab mengapa, para tokoh nasional itu menganggap telah terjadi pembohongan publik melalui "iklan kaleng" tersebut.

Para tokoh itu mempertanyakan soal etika media massa dalam memuat iklan. Dalam pemahaman mereka, apa yang dilakukan Kompas tidak etis karena memuat iklan tanpa sumber atau identitas pemasang yang jelas. Belum lagi substansi iklan yang ternyata memutarbalikkan fakta dan sarat dengan pembohongan publik.

Menurut mereka, ada agenda besar di balik pemasangan iklan tersebut, bisa jadi untuk menggiring opini publik menjelang jatuhnya vonis Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU no. 22/2001 tentang Migas.

Menurut mereka, bentuk kebohongan iklan itu antara lain, pertama, dengan UU Migas, BP Migas mewakili Pemerintah. BP Migas tidak punya aset, dengan demikian aset BP Migas adalah aset pemerintah. Di sisi lain, BP Migas mewakili Pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing dalam pola business to government (B to G).

Berbeda dengan UU 8/1971 yang mengatur Pertamina yang menandatangani kontrak dengan perusahaan asing dalam pola business to business (B to B). Menurut UU, aset Pertamina jelas terpisah dengan aset Pemerintah. Dengan demikian, pemerintah berada di atas kontrak, sehingga kedaulatan negara tetap terjaga.

Kemudian dijelaskan pula, pembohongan publik lainnya, UU Migas mengarah untuk melegalkan penguasaan kekayaan migas nasional oleh perusahaan asing atau swasta. Hal ini tampak pada pasal 12 ayat 3 yang menyatakan Kuasa Pertambangan oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing atau swasta. Sementara itu, implementasi kepemilikan atas sumber daya migas alam (SDA) migas sengaja dikaburkan dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BP Migas tidak punya neraca.

UU Migas pada dasarnya melegalkan penguasaan kekayaan migas melalui desain BP Migas yang tanpa komisaris. Selain itu, UU Migas disusun dengan tujuan untuk memecah belah Pertamina dengan memaksakan penerapan pola unbundling/devide et empera agar mudah dijual. Artinya dengan kehadiran BP Migas, tata kelola migas Indonesia menjadi yang paling buruk di Asia Oceania. Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, merugikan negara dan melanggar Konstitusi.

Dengan adanya UU Migas, pengembangan gas milik rakyat di Tangguh Papua diserahkan kepada asing dan dijual murah ke China. Selain itu, blok produksi yang selesai kontrak dengan asing, melalui UU Migas direkayasa agar tidak bisa diambil alih langsung.

BACA JUGA: