Mantan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kwik Kian Gie, menyatakan lima tokoh nasional tidak memiliki dana untuk membayar iklan bantahan dari "iklan kaleng" di Kompas.

Demikian ia kemukakan kepada wartawan setelah bertemu Dewan Pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (11/9). "Kami hanya bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dibawa ke sidang Dewan Pers, karena kalau kami kirim bantahan ke media setengah halaman saja dibutuhkan biaya besar. Kami tidak ada biaya untuk membuat bantahan iklan tersebut."

"Sejujurnya iklan itu tidak usah dibantah. Iklan itu sudah jelas bohong. Kami mengadu ke Pak Bagir Manan (Ketua Dewan Pers) karena opini publik dibentuk dari iklan, dibentuk oleh orang yang banyak uang. Kami akan lanjut untuk mencari jalan keluar untuk hal tersebut," timpal� Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono.

Menurut Sri Edi, untuk hal vital dan strategis seharusnya pemerintah memegang kekayaan Indonesia, jangan sampai terlepas ke pihak asing. Sementara untuk pengelolaan, Indonesia bisa menggaji orang asing untuk hal itu. Hal senada pun diutarakan Marwan Batubara, Undang-Undang Migas terlahir bukan untuk membantu pemerintah dan Pertamina.

Terlebih lagi, UU Migas sendiri bukanlah di buat oleh pemerintah melainkan oleh pihak asing. "Kok bisa negara berdaulat UU Migasnya di pesan pihak asing? Buat apa merdeka, kalau cara mengelolanya seperti ini?" ucap Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli. Menurutnya hal ini sungguh aneh bin ajaib, Indonesia yang kaya raya sumber daya alamnya justru rakyatnya miskin dan pengangguran. "Nah, ini kan ada kontras kekuasaan yang luar biasa," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, para tokoh itu beranggapan iklan kaleng yang setidaknya dimuat tiga kali pada 9, 17, dan 27 Agustus 2012 itu dilakukan kelompok orang yang ingin mendapat keuntungan di atas kerugian negara dan rakyat Indonesia. Semuanya berawal dari pertemuan di kediaman Sri Edi Swasono, Rumah Bung Hatta, Jl. Diponegoro 57, Jakarta Pusat, Selasa (4/9).

Dalam pertemuan itu, mereka sepakat menyebut iklan yang dimuat Kompas sebagai "iklan kaleng" sebab tidak mencantumkan jati diri pemasang iklan. Sementara, menurut pengakuan Kwik, suratnya pada Pimpinan Redaksi Kompas yang mempertanyakan boleh tidaknya memuat iklan yang tak jelas identitas pemasangnya, sama sekali tidak ditanggapi.

BACA JUGA: