Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, menegaskan iklan anonim yang dipasang di Kompas jelas membela liberalisme. Iklan itu memelintir ucapan Bung Hatta untuk membela privatisasi.

"Semua orang terpelajar sudah tahu bahwa Bung Hatta dan Bung Karno bukanlah xenophobic, tidak anti asing," ujar Sri Edi Swasono.

Menantu Bung Hatta ini menambahkan Bung Hatta pernah berkata, "Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain". Jadi secara lugas Bung Hatta mengutuk tajam liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme.

Hatta memang bukan seorang yang antiasing, tidak pula anti modal asing. Tetapi, itu bukan berarti pandangan Hatta yang dikutip di Kompas terlepas dari cita-cita nasional, yaitu bahwa investasi asing maupun pinjaman luar negeri harus mampu meningkatkan kemandirian nasional.

Iklan anonim atau iklan kaleng yang dimuat di harian Kompas tentang gugatan Undang-Undang Migas yang digugat oleh lima tokoh nasional berisi ungkapan Bung Hatta, "Bung Hatta antikapitalisme tetapi tidak anti kapital... Jadi Bung Hatta tidak anti investasi asing." Begitulah isi iklan yang dimuat di Kompas, 9, 17, dan 27 Agustus 2012. Kelima tokoh itu menganggap pariwara tersebut sebagai "iklan kaleng."

Seperti diberitakan sebelumnya, para tokoh itu beranggapan iklan kaleng yang setidaknya dimuat tiga kali pada 9, 17, dan 27 Agustus 2012 itu dilakukan kelompok orang yang ingin mendapat keuntungan di atas kerugian negara dan rakyat Indonesia. Semuanya berawal dari pertemuan di kediaman Sri Edi Swasono, Rumah Bung Hatta, Jl. Diponegoro 57, Jakarta Pusat, Selasa (4/9).

Dalam pertemuan itu, mereka sepakat menyebut iklan yang dimuat Kompas sebagai "iklan kaleng" sebab tidak mencantumkan jati diri pemasang iklan. Sementara, menurut pengakuan Kwik, suratnya pada Pimpinan Redaksi Kompas yang mempertanyakan boleh tidaknya memuat iklan yang tak jelas identitas pemasangnya, sama sekali tidak ditanggapi.

BACA JUGA: