JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sidang perdana kasus dugaan suap dalam pengadaan proyek Satelit Monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, pada Kamis (9/3) kemarin. Ada dua terdakwa yang disidang secara bergantian yaitu Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.

Hardy merupakan marketing ataupun operasional PT Merial Esa milik suami dari Inneke Koeshearawti, Fahmi Darmawansyah. Sedangkan Adami Okta adalah bagian operasional perusahaan yang sama sekaligus merupakan orang kepercayaan dari Fahmi.

Dalam surat dakwaannya, jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Kiki Ahmad Yani menyatakan, kedua orang tersebut tidak hanya diminta Fahmi yang juga telah menjadi tersangka dalam perkara ini untuk memberi suap kepada Eko Susilo Hadi yang merupakan Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama yang merangkap sebagai Pelaksana tugas Sekretaris Utama (Sestama) Bakamla.

Namun, jaksa mengungkap adanya sejumlah pemberian yang diberikan kepada pejabat Bakamla lainnya yaitu Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Bambang Udoyo sebesar Sin$105 ribu. Kemudian ada juga pemberian suap kepada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan sebesar Sin$104.500.

Selain itu ada juga pemberian kepada Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono sebesar Rp120 juta. Dengan demikian, jika dijumlah dengan pemberian kepada Eko Susilo Hadi yang juga sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2016 sebesar berjumlah Sin$105 ribu, US$88.500 ribu, dan Eur10 ribu, maka total uang suap yang diberikan mencapai Sin$309.500, US$88.500 dolar AS, Eur10 ribu dan Rp120 juta.

Tak hanya itu, dalam surat dakwaan juga disebut adanya dugaan keterlibatan pejabat tinggi di Bakamla. Pejabat tinggi dimaksud adalah Kepala Bakamla Arie Sudewo. Ia disebut bersama dengan Eko Susilo Hadi membahas jatah imbalan sebesar 7,5 persen untuk pengadaan Satelit Monitoring pada Oktober 2016 lalu.

"Pada saat itu Arie Soedwo menyampaikan dari jatah 15 persen dari nilai pengadaan maka untuk Bakamla mendapatkan jatah 7,5 persen dan akan diberikan lebih dulu sebesar 2 persen. Kemudian Arie meminta Eko menghubungi terdakwa Hardy dan terdakwa Muhammad Adami Okta untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2 persen diberikan kepada Eko Susilo Hadi," ujar Jaksa KPK lainnya Amir Nurdianto.

Atas perbuatannya, Adami dan Hardy diancam pidana dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman hukuman yang diberikan minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Kedua terdakwa ini tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi). Sidang dilanjtukan pada Jumat, 17 Maret 2017.

PROSES TERJADINYA SUAP - Dalam dakwaannya, jaksa KPK juga memaparkan proses terjadinya suap dalam perkara ini. Pada 2016, PT Merial Esa dan PT Melati Technofo Indonesia yang juga dikendalikan Fahmi mengikuti lelang pengadaan "drone" dan "monitoring satellite" di Bakamla. Selanjutnya pada Maret 2016 ketika politisi muda PDI-Perjuangan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran, Kepala Bakamla Arie Soedewo datang ke PT Merial Esa dan bertemu Fahmi.

"Pada saat itu Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk ´main proyek´ di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus mengikuti arahan Ali Fahmi supaya dapat menang dengan memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan," ujar Jaksa Amir.

Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan proyek tersebut nilainya Rp400 miliar. Namun jika ingin mengikuti proyek, ia meminta uang muka 6 persen dari nilai anggaran untuk membantu PT Merial Esa dalam mengikuti proses lelang. Fahmi kemudian mengurus Hardy yang dianggap sudah mengenal orang-orang Bakamla ditugaskan untuk menjadi marketing/operasional PT Merial Esa.

Bersama Adami Okta, Hardy memberikan 6 persen dari Rp400 miliar yaitu Rp24 miliar ke Ali Fahmi pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan. Menariknya, Fahmi meminta bukti jika uang tersebut memang telah diberikan kepada Ali Fahmi. "Terdakwa Hardy merekam video peneyrahan uang tersebut atas permintaan Adami Okta sebagai bukti untuk dilaporkan kepada Fahmi," tambah jaksa.

Fahmi menggunakan PT Melati Technofo Indonesia yang sedang dalam proses akusisi, namun perusahan itu sudah dikendalikan Fahmi dengan cara menduduki jabatan komisaris utama. Jabatan direktur utama perusahaan itu juga dijabat kerabatnya, Danang Sriradityo Hutomo. Hardy dan Adami Okta dipercaya Fahmi untuk mengatur dan pengurus proses pengadaan di Bakamla.

Untuk memenangkan proyek, Hardy dan Adami bekerja sama dengan PT Rohde and Schwarz Indonesia yang merupakan perwakilan perusahaan produsen "monitoring satellite" dan membantu Bakamla membuat daftar Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan membuat spesfikasi teknis yang mengunci pada produk PT Rohde and Schwarz.

PT Melati pun ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan "monitoring satellite" pada 8 September 2016 dengan anggaran total Rp222,43 miliar. Turunnya nilai proyek karena pemerintah memang sedang memotong sejumlah anggaran termasuk di bidang keamanan sector kelautan.

Saat datang ke kantor Bakamla pada 9 November 2016, Adami mendapat permintaan mengenai bagian 7,5 persen itu dari Eko. Adami pun berjanji akan memberikan 2 persen lebih dulu. Eko juga meminta bantuan operasional sebesar US$10 ribu dolar AS dan Eur10 ribu.

Fahmi pun memerintahkan untuk disiapkan dulu 2 persen dari Rp222,438 miliar yaitu Rp4,44 miliar dikurangi uang operasional untuk Eko sehingga menjadi Rp278,6 juta sehingga sisa untuk Bakamla adalah sebesar Rp4,161 miliar.

Penyerahan uang tahap pertama diserahkan pada 14 November 2016. Adami datang ke kantor Bakamla menemui Eko Susilo Hadi dan menyerahkan 10 ribu dolar AS dan 10 ribu Euro bersama dengan kertas berisi catatan kecil perincian pengeluaran uang yang akan diserahkan ke Bakamla. "Selanjutnya pada 25 November 2016, Adami menyerahkan uang 104.500 dolar Singapura ke ruang kerja Nofel Hasan di kantor Bakamla," kata Jaksa KPK lainnya I Wayan Riana.

Pada 1 Desember 2016 juga diserahkan uang Rp120 juta oleh Adami Okta kepada Tri Nanda. Adami pun melaporkannya ke Eko Susilo.. Kemudian pada 6 Desember, Adami dengan persetujuan Fahmi menyerahkan uang US$100 ribu terbungkus amplop cokelat kepada Bambang Udoyo di ruang kerjanya di kantor Bakamla Gedung Perintis Kemerdekaan.

Penyerahan selanjutnya pada 8 Desember 2016 dengan Adami menyerahkan uang 5 ribu dolar Singapura kepada Bambang Udoyo di kantor Bakamla. Uang itu untuk memenuhi kekurangan pemberian 2 hari sebelumnya yang telah diserahkan oleh Adami sejumlah Sin$100 ribu dolar Singapura sehingga uang untuk Bambang totalnya 105 ribu dolar Singapura. Pemberian terakhir adalah pada 14 Desember 2016 dengan Adami dan Hardy membawa uang sebesar Sin$100 ribu dan US$78.500 dolar kepada Eko Susilo Hadi.

BACA JUGA: