JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menetapkan beberapa orang yang terjaring operasi tangkap tangan sebagai tersangka kasus korupsi. Mereka terdiri dari tiga orang pihak swasta serta seorang penyelenggara negara.

Pertama Deputi Bidang Hukum, Informasi dan kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi (ESH), kemudian Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah (FD), dan dua pegawai PT MTI Hardy Stefanus (HST) serta Muhammad Adami Okta (MAO).

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan kasus ini terkait dengan proyek pengadaan satelit monitoring hasil APBN-P 2016 senilai Rp200 miliar. Sebelumnya, proyek ini bernilai Rp400 miliar tetapi dalam pembahasan di DPR RI, terjadi penurunan yang signifikan hingga 50 persen.

"Anggaran APBN-P aggaran yang dibuat tengah tahun tapi harusnya direvisi anggaran dengan upaya-upaya penghematan dan terarah betul tapi masih ada praktek-praktek KKN dalam pengadaan," kata Syarif saat konferensi pers di kantornya, Kamis (15/12).

Syarif menyesalkan terjadinya peristiwa ini karena pengadaan satelit ini sangat strategis untuk menjaga keamanan dan kedaulatan RI khususnya di wilayah laut yang menjadi domain Bakamla. "Kalau anggaran pertahanan negara saja dikorupsi akan berdampak pada ketahanan RI," ujar Syarif.

Kasus ini, kata Syarif juga menjadi pelajaran bagi setiap institusi termasuk Bakamla untuk lebih berhati-hati dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Apalagi institusi tersebut juga akan mempunyai tiga proyek lain yang berhubungan dengan keamanan wilayah kelautan RI.

"Yang diselidiki monitoring satelit tapi KPK juga bersurat untuk Bakamla untuk tiga (proyek) yang lain diperhatikan khusus jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini," pungkasnya.

PROSES TRANSAKSI - Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan kronologi terjadinya proses penangkapan yang dilakukan tim penyidk dalam kasus ini. Pada Rabu (14/12) sekitar pukul 12.30 WIB, terjadi penyerahan uang dari Hardy dan Adami Okta kepada Eko Susilo di Kantor Bakamla.

"Seusai penyerahan keluar dari kantor amankan HST dan MAO, kemudian mengamankan ESH di ruang kerja dan uang total Rp2 miliar dalam mata uang dolar as dan dolar singapura," kata Agus di kantornya.

Setelah itu, tim pun mengadakan penyisiran ke kantor PT MTI di Jalan Imam Bonjol sekitar satu jam kemudian dan mengamankan Danang. Kemudian keempatnya digelandang ke kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan secara intensif oleh tim penyidik.

"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam pasca penangkapan dan gelar perkara KPK meningkatkan status ke penyidikan penetapan 4 orang sebagai tersangka," jelas Agus.

Hardy, Adami Okta dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana yang ancaman hukuman minimal 1 tahun dan denda Rp50 juta maksimal 5 tahun dan denda Rp250 juta.

Dari hasil pemeriksaan tersebut ternyata penyidik mendapat dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Fahmi Darmawansyah, Bos PT MTI sebagai pihak pemberi. Fahmi disebut-sebut merupakan suami dari aktris Inneke Koesherawati.

Namun Fahmi hingga saat ini masih belum ditemukan alias buron. "Ya pasti kita akan lakukan proses sebelumnya. Apakah dilakukan pemanggilan atau meminta FD menyerahkan diri yang bila datang akan lebih baik lagi," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah.

Kemudian Eko Susilo ditetapkan sebagai tersangka pihak penerima dan dijerat dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari hasil penangkapan, KPK menyita uang sekitar Rp2 miliar dalam bentuk mata uang asing dollar Amerika dan singapura. Pemberian ini, adalah kali pertama karena komitmen imbalan adalah 7,5 persen dari nilai proyek sejumlah Rp200 miliar.

ADA OKNUM TNI? - Dari laman bakamla.go.id, tugas institusi ini adalah melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Kemudian untuk fungsinya menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Fungsi kedua menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia, melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Bakamla juga mempunyai fungsi menyinergikan dan memonitor pelaksanaaan patroli perairan oleh instansi terkait. Dan terakhir memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait serta memberi bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia, melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.

Susunan kepengurusan Bakamla pun didominasi institusi militer terutama Angkatan Laut (AL). Contohnya saja untuk jabatan ketua diemban Laksamana Madya TNI Arie Sudewo, Sekretaris Utama (Sestama) Laksamana Madya TNI Agus Setiadji, Deputi Bidang Kebijakan Strategis Laksamana Pertama TNI Satria F, Deputi Bidang Operasi dan Latihan Laksamana Pertama TNI Wuspo Lukito.

Hanya jabatan Deputi Bidang Hukum, Informasi, dan Kerjasama yang dijabat oleh sipil dalam hal ini Eko Susilo Hadi yang baru saja ditangkap oleh KPK. Eko diketahui berasal dari institusi Kejaksaan Agung. Muncul pertanyaan apakah ada oknum TNI yang juga terlibat dalam kasus korupsi ini.

Apalagi, salah satu pihak yang ikut ditangkap yaitu Danang sampai saat ini masih berstatus sebagai saksi dan tidak ditetapkan sebagai tersangka seperti ketiga pihak lain. Diduga, Danang yang pada awalnya disebut sebagai pihak swasta berasal dari militer.

"Sipil ditangani KPK, militer akan dikoordinasikan dengan POM TNI," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat ditanya mengenai kemungkinan ada oknum TNI yang ikut terlibat.

Syarif juga mengakui jika pihaknya bekerjasama dengan TNI dalam operasi penangkapan tersebut. Masih menurut Syarif, pihaknya juga masih aktif berkoordinasi dengan TNI termasuk jika ada oknum militer yang diduga terlibat perkara ini.

"Yang berhubungan dengan militer KPK tidak punya kewenangan oleh karena itu sejak sekarang KPK berkoordinasi dengan POM TNI untuk mengkoordinasikan itu dan TNI sangat mendukung upaya ini," tutur Syarif.

Sedangkan saat ditanya apakah Danang berasal dari institusi militer, Juru Bicara KPK Febri Diansyah tidak membantahnya namun enggan membenarkan. "Masih saksi apakah karena TNI atau tidak kami sampaikan kewenangan KPK fokus pada pelaku-pelaku dari sipil jika ada dari TNI akan dilakukan komunikasi lebih jauh tunduk pada peradilan militer," ujarnya.

BACA JUGA: