JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dugaan adanya keterlibatan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kasus dugaan suap pengadaan royek satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla), semakin kuat. Hal itu terlihat dari kerjasama yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pihak Polisi Militer (POM) TNI dalam menangani kasus ini.

Dugaan adanya keterlibatan petinggi dari institusi militer itu sendiri diakui Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Saut mengatakan, saat ini pihaknya masih terus menjalin koordinasi dengan POM TNI dalam menyelesaikan perkara suap Bakamla. Saut berharap dengan cara tersebut penanganan kasus korupsi ini bisa dilakukan lebih efektif dan efisien hingga bisa cepat diselesaikan.

"Koordinasi sudah kita lakukan dan mudah-mudahan bisa cepat dan tidak berhenti, kita harap bisa cepat. Saya pribadi mengatakan itu harus cepat, karena KPK di UU-nya selalu mengatakan efisien karena memang betul kita butuh dua bukti dan koordinasi sudah kita lakukan dan sudah kita lihat bagaimana koordinasi dan debat koneksitas itu soal teknis saja lah, yang paling penting bagaimana menegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, itu saja," kata Saut di kantornya, Rabu (21/12).

Saat ditanya lebih rinci mengenai koordinasi yang dimaksud, Saut enggan menjelaskannya. Sebab menurut mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) ini hal tersebut hanyalah masalah teknis yang nantinya akan diambil keputusan lebih lanjut. Ia pun mencontohkan mengenai kasus korupsi pengadaan helikopter M17 yang terjadi beberapa tahun silam.

"Ada banyak model, kalau ingat kasus helikopter MI17 itu kan koneksitas kejaksaan dengan ini, model itu personal nanti kita akan buat tapi yang penting penegakkan keadilannya, model itu bisa kita buat kok," terang Saut.

Kasus korupsi helikopter M17 yang terjadi sekitar 2006 lalu menyeret sejumlah petinggi TNI. Pada proses penyidikan, perkara ini dikerjakan secara koneksitas oleh Kejaksaan Agung dan juga POM TNI. Para penyidik yang terlibat antara lain Brigjen Djiwa Pradja, Brigjen Heru Cahyono, Kolonel Jauhari (keseluruhan pangkat ketika itu), Ranu Mihardja, Jaksa Azwar, dan Jaksa Pantono. Salah satu unsur Kejaksaan Agung, Ranu Mihardja saat ini bertugas di KPK dan menjabat sebagai Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM).

Koneksitas atau tim gabungan ini tidak hanya berlanjut pada tingkat penyidikan saja tetapi juga pada proses persidangan. Para pengadil terdiri dari dua unsur yaitu sipil dan militer serta dipimpin Hakim Agung Raharjo dan Kolonel CHK Anton Saragih. Pada pengadilan tingkat pertama ini mantan Direktur Pelaksana Anggaran Direktorat Jenderal Perencanaan Sistem Pertahanan Departemen Pertahanan, Brigjen (Purn) Prihandono divonis 4 tahun penjara. Tetapi Prihandono tidak terima dan langsung mengajukan banding.

Soal dugaan keterlibatan petinggi TNI dalam kasus Bakamla ini juga dikatakan oleh Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Dia mengatakan, ada indikasi kuat oknum TNI terlibat dalam perkara suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla. Dugaan inilah yang mendasari kehadiran Danpuspom TNI Mayjen TNI Dodik Wijanarko ke kantor KPK untuk melakukan koordinasi.

"Koordinasi dengan Puspom berarti ada indikasi keterlibatan unsur-unsur dari dua wilayah peradilan," kata Febri di gedung KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (20/12).

Dalam koordinasi antara Dodik dan pimpinan KPK, juga terjadi pertukaran informasi hasil penyidikan sementara. Mengingat TNI memiliki peradilan khusus bagi anggotanya, yakni Peradilan Militer, yang bukan merupakan kewenangan KPK. Dalam kasus suap di Bakamla, KPK hanya mengurusi pelaku dari sipil yang dihakimi melalui peradilan umum.

Dalam Pasal 42 UU KPK juga telah dijelaskan mengenai penanganan terpisah antara KPK dan TNI. KPK dalam hal ini mengkoordinasikan penanganan perkara tersebut kepada pihak TNI atau Peradilan Militer. "Jadi KPK berproses kasus ini pada saat yang tepat akan diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi," ujarnya.

Febri enggan mengungkap siapa oknum TNI yang terindikasi terlibat kasus suap Bakamla itu. Ia mengaku belum mendapatkan nama oknum TNI tersebut dari penyidik. "Soalnya kami belum dapatkan informasi, namun ini adalah kasus suap diduga memang ada keterkaitan dari lintas yurisdiksi tersebut," ujarnya.

Sejauh ini penyidikan yang dilakukan KPK terkait dengan hubungan dan rangkaian peristiwa penerimaan suap. Sumber dana dan siapa pun yang terindikasi menerima aliran dana juga akan diselidiki. "Kita akan lihat sejauh mana perkara ini dikembangkan, baik ruang lingkup perkaranya ataupun dikembangkan aspek pihak yang terlibat," kata Febri.

KEHADIRAN DANPUSPOM TNI - Koordinasi antara KPK dan TNI dalam penanganan kasus ini memang semakin terlihat dengan kedatangan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Mayjen TNI Dodik Wijanarko, Selasa (20/12) kemarin. Sayangnya tersiar kabar usai berkoordinasi dengan KPK, Dodik tidak keluar melalui pintu depan seperti pada umumnya tamu-tamu lain.

"Kami melakukan kordinasi penanganan kasus Bakamla. Sekarang mereka (Puspom TNI) sedang presentasi di atas sehingga kami mencarikan jalan paling baik untuk kasus ini," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (20/12).

Syarif mengakui adanya dugaan keterlibat petinggi militer dalam kasus ini. Sejauh ini, KPK belum memeriksa perwira tersebut. Syarief menyatakan, pihaknya perlu berkoordinasi dengan Puspom TNI terkait perwira tersebut. "Kami sedang kordinasi menangani kasus yang melibatkan anggota TNI," katanya.

Syarif mengaku belum mengetahui secara pasti kelanjutan penanganan keterlibatan perwira TNI dalam kasus ini. Tak menutup kemungkinan kasus yang menjerat perwira tersebut nantinya ditangani Puspom TNI.

"Ini yang sedang kita bicarakan. Belum bisa kami bicarakan. Nanti setelah dibicarakan dan gelar perkara nanti Danpom yang umumkan kalau itu betul ada tersangka," jelasnya.

Kasus korupsi ini sendiri berkaitan dengan pengadaan 5 unit monitoring satelit yang rencananya akan digunakan di 5 kota di Indonesia seperti Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta. Data ini diperoleh dari laman web Bakamla.go.id.

Sementara dari laman lpse.bakamla.go.id, lelang telah selesai pada 7 September 2016 dengan nilai pagu anggaran sekitar Rp402,7 miliar dengannilai harga perkiraan sendiri (HPS) senilai Rp402,273. Sumber dana proyek tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016.

Pemenang dari proyek ini adalah PT Melati Technofo Indonesia (MTI) dengan penawaran harga Rp400 miliar. Belakangan, Bos PT MTI, Fahmi Darmawansyah ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan dua pegawainya Muhammad Adami Okta serta Hardy Stefanus.

KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla yang dibiayai APBN-P tahun 2016. Keempatnya, yakni Deputi Informasi‎ Hukum dan Kerja Sama sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Utama Bakamla Eko Susilo Hadi, pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, serta Direktur Utama PT MTI Fahmi Darmawansyah.

Oleh KPK, Eko sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sementara Adami, Hardy, dan Fahmi selaku pemberi suap disangka dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.

Adapun, penetapan tersangka ini merupakan hasil OTT yang dilakukan Tim Satgas KPK di dua lokasi berbeda di Jakarta. Dalam OTT itu diamankan empat orang, yakni Edi, Adami, Hardy, dan Danang Sri Raditiyo. Dari pemeriksaan 1x24 jam, tiga diantaranya jadi tersangka, sementara Danang yang merupakan pegawai PT MTI masih berstatus saksi. Sedangkan, Fahmi jadi tersangka usai KPK memeriksa terhadap mereka yang diamankan Tim Satgas dalam OTT tersebut. (dtc)

BACA JUGA: