JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keterlibatan pihak lain dalam kasus suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) lambat laun menemui titik terang. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI sebelumnya telah menetapkan Laksamana Pertama Bambang Udoyo sebagai tersangka.

Direktur Data dan Informasi Bakamla ini diduga menerima uang suap dalam proyek tersebut. Sayangnya, berapa nominal pemberian dan siapa yang memberi tidak diungkapkan oleh Komandan Puspom (Danpuspom) TNI Dodik Wijanarko dalam konferensi pers di kantornya, pekan lalu.

"Dengan melihat keterangan saksi dan alat bukti yang sudah kami dapatkan, penyidik polisi militer TNI dari hasil penyelidikan yang kami sudah laksanakan kajian, maka penyelidikan akan kami tingkatkan menjadi penyidikan. Kami akan panggil laksamana TNI BU dengan jabatan Direktur Data dan Informasi Bakamla TNI sebagai tersangka," ujar Dodik dalam konfrensi pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (30/12).

Selain Bambang, ada dugaan nama lain yang diduga terlibat dalam perkara ini. Yang mengungkapkan hal itu adalah pengacara Fahmi Darmawansyah, Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, kliennya tidak pernah bernegosiasi langsung dengan pihak Bakamla terkait proyek ini melainkan melalui seseorang bernama Fahmi Habsyi atau Ali Fahmi.

"Itu nggak ada dengan Bakamlanya, yang itu dengan orang lain. Orang lainnya itu (Fahmi Habsyi). Lebih bagusnya tanya ke penyidik aja deh yah. Iya dia kenal," kata Maqdir saat ditemui wartawan di kantor KPK, Jumat (6/1).

Ketika ditanya apakah peran Fahmi Habsyi sebagai perantara, Maqdir tidak membantahnya. "Yah salah satu yang disebut itu Pak Fahmi Habsyi itu," terangnya.

Maqdir mengklaim jika selama ini kliennya tidak pernah langsung berhubungan dengan pihak Bakamla, tetapi lebih banyak berkomunikasi dengan Fahmi. Namun sayang ia enggan menjelaskan lebih jauh mengenai hal ini. "Lebih baik tanya penyidik deh ya," tuturnya.

Fahmi Habsyi atau Ali Fahmi setidaknya telah dua kali dipanggil KPK dalam kapasitasnya sebagai saksi atas perkara ini. Dalam dua panggilan tersebut Fahmi pun hadir memenuhi pemeriksaan tim penyidik.

"Posisi adalah swasta di salah satu perusahaan yang diduga terkait dalam rangkaian peristiwa yang sedang diusut. Peran yang bersangkutan didalami lebih jauh," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Jumat (6/1) petang.

Saat ditanya apakah Fahmi berperan sebagai perantara suap, Febri enggan mengungkapkan secara rinci. Meskipun begitu, mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini tidak membantah adanya indikasi yang mengarah ke hal tersebut.

"Tentu kami mendalami hal tersebut, ada indikasi selain empat tersangka (di KPK) dan satu tersangka yang ditetapkan POM TNI kami juga mendalami peran perantara, siapa saja pihak itu kami belum bisa sampaikan. Tapi benar ada indikasi perantara," terangnya.

Peran Fahmi Habsyi sebagai perantara diduga tidak hanya mempertemukan antara Fahmi Darmawansyah dan pejabat Bakamla. Tetapi ia juga terindikasi mengatur proyek yang bernilai Rp220 miliar tersebut.

"Benar ada, posisinya selain mempertemukan juga punya peran-peran lain yang masih terus didalami lebih lanjut tapi benar ada perantara di sini," jelas Febri.

Dia mengatakan, KPK pasti dalami perantara kasus suap ini. "Soal siapa saja, belum bisa disampaikan saat ini, tapi benar indikasi keberadaan perantara dalam kasus suap ini," jelas Febri.

APRESIASI POM TNI - Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka, yaitu Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta, dan Eko Susilo Hadi. Tiga orang nama pertama merupakan pemberi suap, sedangkan nama terakhir menjabat Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla.

Dalam proyek bernilai Rp220 miliar ini, Eko menjabat sebagai kuasa pengguna anggaran. Sedangkan pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek itu adalah Laksamana Pertama (Laksma) TNI Bambang Udoyo, yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Pusat POM TNI.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan apresiasinya terhadap pihak POM TNI yang telah menetapkan Laksamana Pertama Bambang Udoyo sebagai tersangka. "Kami yakin bahwa TNI sebagaimana Polri akan sejalan dengan nilai-nilai yang diusung oleh KPK dalam mendorong perubahan di negara kita," kata Saut.

Saut menambahkan, komitmen pemberantasan korupsi ini sudah dibangun jauh sebelum adanya kasus suap proyek ini. Selain itu, Saut mengaku KPK sudah melakukan pembahasan berbagai isu bersama Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

"KPK jauh sebelum kasus Bakamla sudah koordinasi dengan Panglima TNI membahas hal-hal yang strategis dan taktis. Jadi koordinasi KPK-TNI ini bukan proses yang tiba-tiba," ungkap Saut.

Sebagaimana aturan yang berlaku, Bambang sebagai seorang tentara akan tunduk pada peradilan militer. Sehingga, Bambang yang menjabat sebagai Direktur Data dan Informasi Bakamla pun akan terus ditangani oleh pihak militer.

Terkait hal itu, Saut tidak mempermasalahkan. Menurutnya dalam penegakan hukum, hal yang paling penting adalah konsisten pada peraturan yang berlaku dan dilakukan secara berkelanjutan.

"Yang paling utama, apapun yang kita lakukan dalam penegakan hukum harus sesuai dengan hukum atau UU. Sedang bagi pelanggar, yang utama ialah yang bersangkutan diadili apakah lewat koneksitas atau peradilan umum atau peradilan militer," ucap Saut.

"(Pilihan-pilihan) ini sama-sama (upaya) penegakan hukum. Yang penting konsisten dan berlanjut," tambah Saut.

Bambang yang dalam proyek ini berperan sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) diduga menerima suap. Sebelumnya tersangka yang diduga menerima suap adalah Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi.

Eko dalam proyek ini berperan sebagai kuasa pengguna anggaran. Eko yang berprofesi sebagai jaksa, proses hukumnya ditangani oleh KPK. Dia diduga menerima uang dalam pecahan dolar AS dan dolar Singapura yang nilainya setara Rp 2 miliar.

Sementara untuk Bambang, Puspom TNI telah melakukan penggeledahan terhadap perwira tinggi itu. Komandan Puspom TNI Mayjen Dodik Wijanarko mengatakan ada barang bukti berupa uang dolar Singapura sebanyak Sin$80 ribu dan US$15 ribu yang diduga sebagai uang suap. Dodik mengatakan uang tersebut telah digunakan sehingga jumlahnya berkurang.

Pihak KPK menyebut, komitmen awal suap tersebut adalah sebesar 7,5 persen dari total proyek Rp 220 miliar. Suap itu diberikan agar tender proyek satelit itu dimenangkan kepada PT Melati Technofo Indonesia (MTI). Bambang dan Eko berperan dalam pengaturan pemenangan tender tersebut.

Sebagai pihak penyuap, penyidik KPK telah menetapkan status tersangka kepada 3 orang dari pihak swasta. Yaitu 2 karyawan PT MTI bernama Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta. Seorang lainnya ialah seorang pengusaha bernama Fahmi Darmawansyah yang berperan sebagai penyokong dana untuk PT MTI. (dtc)

BACA JUGA: