JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pasca melakukan operasi tangkap tangan terhadap Deputi Bidang Hukum, Informasi dan Kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya penggeledahan di sejumlah tempat untuk memperkuat barang bukti yang telah dimiliki sebelumnya. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, setidaknya ada tiga lokasi penggeledahan yang disasar tim penyidik berkaitan dengan perkara ini.

Dua diantaranya di Kantor Bakamla dan satu lagi di Kantor PT MTI. Bakamla diketahui sebelumnya berkantor di Jalan DR. Sutomo, Jakarta Pusat meminjam Gedung milik TNI AL. Kemudian mulai Maret 2016 secara bertahap pindah ke Gedung Perintis Kemerdekaan.

"Dan dari penggeledahan di tiga lokasi ini, penyidik sudah menyita sejumlah dokumen, bukti-bukti yang diperlukan. Dokumen-dokumen itu, akan dipelajari lebih lanjut," kata Febri di kantornya, Jumat (16/12) malam.

Setelah itu, KPK akan memulai proses penyidikan secara intensif dengan memeriksa sejumlah saksi yang rencananya akan dilangsungkan pada Senin nanti dan seterusnya. Pemeriksaan saksi nanti, kata Febri diperlukan untuk melengkapi berkas perkara yang diperlukan para tersangka.

Saat ditanya apakah dalam penggeledahan ditemukan proyek lain yang diduga juga menjadi bancakan Eko Susilo Hadi, Febri enggan mengungkapkan hal tersebut. Alasannya, saat ini penyidik masih fokus terhadap kasus utama yang berkaitan dengan tangkap tangan.

"Belum dilihat lebih jauh. Saat proses penyitaan, semua dokumen yang dipandang terkait kasus ini dilakukan penyitaan," ujarnya.

Terkait perkara ini, KPK juga menggandeng Polisi Militer (POM) TNI. Febri mengatakan, saat ini tengah dilakukan pendalaman terhadap pihak militer yang terlibat dalam kasus tersebut. "Terkait oknum militer masih kita dalami tentu saja. Dan kami ingin sampaikan bahwa ada dua wilayah hukum yang berbeda antara peradilan umum dan peradilan militer dalam proses kasus ini. Dan KPK memang enggak bisa masuk ke sana," katanya.

"Jika pelakunya adalah dari pihak yang di peradilan militer, KPK tentu tidak bisa tangani itu sebagaimana KPK bisa tangani empat orang ini. Itu adalah salah satu alasan kenapa koordinasi dilakukan pihak-pihak POM TNI," tambah Febri.

Febri menegaskan, pihak POM TNI menyatakan akan mendukung dan bersedia bekerja sama dengan KPK terkait penelusuran kasus ini. Kegiatan yang dapat dilakukan, misalnya adalah pendampingan pengamanan dalam melakukan proses penyidikan.

Febri menyebut, koordinasi yang dilakukan antara KPK dan POM TNI adalah upaya memanggil anggota militer untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus ini. Febri memberi isyarat bahwa tidak menutup kemungkinan bila hal itu dilakukan.

"Itu (pemeriksaan anggota militer) salah satu poin yang harus kita perlu koordinasikan dengan pihak TNI," ujar Febri.

Menurutnya, koordinasi ini dilakukan secara intensif karena melibatkan 2 wilayah hukum yang berbeda, yaitu wilayah sipil dan militer. Termasuk bila nantinya ada oknum militer yang benar terlibat, Febri mengatakan KPK akan bekerja sama ketika sudah masuk dalam wilayah hukum peradilan militer.

"Tapi tentu saja kewenangan memanggil saksi itu ada di KPK, khususnya di penyidik. Namun karena ini melibatkan 2 wilayah hukum, maka kita perlu koordinasi agak intensif soal ini," ujar Febri.

"Koordinasi dilakukan untuk banyak hal, karena kita tahu Bakamla terdiri dari berbagai sumber pejabat dan pegawainya. Sehingga kalau dibutuhkan informasi atau dokumen-dokumen atau bukti-bukti sejenisnya. Dan itu bersinggungan dengan beberapa instansi, kita akan koordinasi intensif dengan TNI. Bahwa dalam pengembangan menemukan indikasi keterlibatan orang atau oknum di wilayah peradilan militer tentu kami juga akan dengan senang hati untuk kerja sama," sambung Febri.

DUGAAN MARK UP - Kasus korupsi ini sendiri berkaitan dengan pengadaan 5 unit monitoring satelit yang rencananya akan digunakan di 5 kota di Indonesia seperti Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta. Data ini diperoleh dari laman web bakamla.go.id.

Sementara dari laman lpse.bakamla.go.id, lelang telah selesai pada 7 September 2016 dengan nilai pagu anggaran sekitar Rp402,7 miliar dengan nilai harga perkiraan sendiri (HPS) senilai Rp402,273. Sumber dana proyek tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016.

Pemenang dari proyek ini adalah PT Melati Technofo Indonesia (MTI) dengan penawaran harga Rp400 miliar. Belakangan, Bos PT MTI, Fahmi Darmawansyah ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan dua pegawainya Muhammad Adami Okta serta Hardy Stefanus.

Wakil Ketua KPK Agus Rahardjo saat jumpa pers dengan wartawan di kantornya Kamis lalu mengatakan terjadi pemotongan anggaran untuk pengadaan monitoring satelit. Nilai proyek tersebut turun menjadi menjadi Rp200 miliar yang disebabkan adanya pemotongan anggaran di bidang kemiliteran.

Dalam kasus ini, pejabat Bakamla Eko Susilo Hadi merupakan pelaksana tugas Sekretaris Utama Bakamla, yang diberikan kewenangan sebagai kuasa pengguna anggaran. Penandatanganan perjanjian dilakukan oleh Direktur Data dan Informasi Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo yang sekaligus menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam perkara ini.

Ketua KPK Agus Rahardjo di sela kunjungannya ke Satpas SIM Daan Mogot, Jakarta Barat mengatakan pihaknya tidak akan berhenti mengusut perkara ini. KPK, kata Agus akan terus menelusuri keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut. "Tidak begitu (berhenti), selalu kita ikuti (jejak) tersangkanya," kata Agus, Jumat kemarin.

KPK dalam kasus ini juga menelisik kemungkinan adanya mark up atau penggelembungan harga proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). "Ada yang lebih penting yang harus didalami penyidik di luar perkara suapnya, yaitu kemungkinan terjadi mark up harga peralatan yang dibeli Bakamla," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Sabtu (17/12).

Alex menyebut biasanya lelang yang sudah diatur akan berdampak pada harga yang tidak wajar. Menurutnya, apabila itu berhasil diungkap penyidik KPK, maka kemungkinan nilai kerugian keuangan negara akan lebih besar dari angka suapnya.

"Lazimnya jika lelang sudah diatur dampaknya pada harga yang tidak wajar. Itu yang harus dikejar. Bisa jadi nilai kerugian keuangan negaranya jauh lebih besar dibandingkan dengan suapnya," jelas Alex.

PENGAWASAN LELANG ELEKTRONIK - Dari kasus ini sendiri KPK juga diminta tetap pengawasan operasional dalam proses lelang secara online. Kasus Bakamla ini menjadi contoh meskipun proses pengadaan barang dilakukan dengan sis e-lelang namun kasus suap tetap bisa terjadi.

Pengamat Pertahanan Susaningtyas Kertapati menilai, harus ada pengawasan operasional yang dilakukan meski lelang dilakukan secara online. "Ke depan memang tetap saja pengawasan operasional harus dilakukan manual yang dilakukan oleh pihak yang berkompeten secara profesional, obyektif dan jujur," kata Nuning, Sabtu (17/12).

Pengawasan dilakukan terutama untuk menghindari adanya niat-niat akal dari oknum yang mau mencari rezeki haram. "Hal ini menghindari adanya penyalahgunaan tekhnologi dan ´akal-akalan´ oknum untuk meraup rezeki haram dari situ," ujar Nuning.

Nuning menambahkan, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK harus didukung penuh. "Karena memang wilayah coast guard penjagaan keamanan laut memiliki celah untuk lakukan penyimpangan berupa korupsi itu," imbuhnya. (dtc)

BACA JUGA: