JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap suami Inneke Koesherawati, Fahmi Darmawansyah dalam kapasitasnya sebagai pengusaha. Fahmi sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan proyek tersebut dianggarkan dari APBN-P 2016 dengan total sekitar Rp 200 miliar.

Upaya penahanan memang lazim dilakukan KPK terhadap tersangka kasus korupsi. Namun dalam kasus Fahmi ada pengecualian karena proses penahanannya yang tidak biasa. Fahmi sebelumnya disebut berada diluar negeri dua hari sebelum operasi tangkap tangan (OTT) berlangsung sehingga tak ikut digiring dalam operasi yang dilakukan KPK.

Ini adalah kali kedua KPK melakukan upaya penahanan seseorang yang dalam agenda pemeriksaan dijadwalkan sebagai saksi. Sebelumnya kejadian serupa dialami Hartoyo, Direktur PT OSMA. Penahanan Hartoyo bahkan dilakukan sebelum KPK mengumumkannya sebagai tersangka.

Fahmi sendiri baru hadir pada Jumat (23/12) kemarin dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk tersangka Eko Susilo Hadi, mantan Deputi Hukum, Informasi dan Kerjasama Bakamla. "Karena kemarin FD tidak datang dalam panggilan sebagai saksi untuk tersangka ESH (Eko Susilo Hadi)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jumat (23/12).

Tetapi meskipun sebagai saksi, ternyata hal ini tidak menyurutkan niat KPK untuk melakukan upaya penahanan. Hal ini pun menjadi pertanyaan tersendiri karena biasanya seseorang ditahan ketika ia diperiksa sebagai tersangka atas perkara yang menjeratnya sendiri. Saat ditanya mengenai proses ditahannya Fahmi, Febri tidak menjawab secara rinci.

"Penahanan FD diputuskan oleh proses yang ada gelar dan ditetapkan ditetapkan FD ditahan. FD bagian dari tersangka yang sudah ditetapkan setelah OTT dilakukan dan ketika penetapan tersangka dilakukan KPK cukup yakin bahwa empat orang tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana disangkakan," terangnya.

Febri hanya memberikan alasan seperti yang tertera pada Pasal 21 KUHAP tentang sifat objektif dan subjektif penyidik. "Ditegaskan jika terdapat dugaan kuat melakukan tindak pidana terkait kekuatan bukti dan info yang dimiliki penyidik dan sudah diputuskan memenuhi syarat FD dilakukan penahanan," pungkasnya.

"Alasan subjektif penyidik baik terkait bukti-bukti maupun terkait melarikan diri atau hal-hal lain yang menurut alasan penyidik FD dilakukan penahanan, pasal 21 mengatur alternatif dan menurut kami memenuhi syarat penahanan. Hal paling penting adalah equal treatment yang ditetapkan secara bersamaan selain keyakinan bukti dan equal treatment terhadap tersangka lain dari OTT," sambung Febri.

RENTAN DIGUGAT - Ahli Hukum Acara Pidana Adna Pasyladja saat dikonfirmasi gresnews.com berpendapat apa yang dilakukan KPK ini sangat rentan untuk digugat jika tersangka Fahmi mengajukan praperadilan atas penahanannya. Adnan meminta agar KPK berhati-hati dalam melakukan proses hukum terhadap seseorang agar tidak sering mendapat gugatan.

"Sebenarnya yang jadi masalah, ada beberapa hakim berpendapat seseorang bisa jadi tersangka kalau sudah diperiksa, apa pernah menjadi saksi, setelah itu ditahan enggak apa-apa. Yang jadi pertanyaan kalau dia belum pernah diperiksa, lalu ditahan itu yang jadi masalah," kata Adnan saat dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (25/12).

Menurut Adnan, hakim praperadilan yang biasanya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seringkali membuat keputusan mengejutkan bagi para penegak hukum. Oleh karena itu, KPK seharusnya lebih teliti dan cermat dalam memproses seseorang termasuk penahanan agar tidak ada celah bagi tersangka untuk melakukan gugatan.

"Jadi kalau diperiksa sebagai saksi untuk perkara lain kemudian pada hari yang sama dia diperiksa sebagai tersangka atas perkaranya sendiri diperoleh bukti yang cukup lalu dia ditahan tidak masalah, tapi itu bisa menjadi masalah oleh hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bisa jadi masalah kalau dia belum pernah diperiksa sebagai tersangka hanya dipanggil sebagai saksi untuk tersangka lain ada beberapa hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu tidak sah, riskan itu," pungkas Adnan.

Adnan memang cukup berpengalaman dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan khususnya dalam gugatan praperadilan. Sebabnya, ia beberapa kali menjadi saksi ahli KPK dalam menghadapi gugatan para tersangka korupsi tersebut. Terakhir kali, Adnan menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan yang digugat Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.

Dikonfirmasi terpisah, pengacara Fahmi, Maqdir Ismail mengaku keberatan dengan penahanan tersebut. Alasannya mereka telah berkomunikasi dengan tim penyidik sejak Selasa lalu untuk mendatangkan kliennya. Tetapi, hingga waktu yang ditentukan yaitu Kamis (22/12), pihaknya belum menerima surat panggilan.

"Saya coba komunikasi dengan kawan di KPK sejak Selasa. Ketika komunikasi dengan penyidik, pada Hari Kamis, kata penyidik dijadwalkan pemeriksaan Kamis, tapi kami belum terima panggilan. Disepakati pemeriksaan FD sebagai saksi dilakukan Jumat, pukul 10.00. Sesudah pemeriksaan, ternyata dia langsung ditahan," kata Maqdir kepada gresnews.com.

Maqdir mengaku bingung dengan alasan penahanan kepada kliennya karena kedatangan Fahmi ke KPK sebenarnya atas dasar niat baik sebelum surat panggilan diterima. "Tidak tahu alasan objektif dan alasan hukumnya serta kepentingannya. Itikad baik FD sebagai warga negara tidak dihargai," terang Maqdir.

Saat ditanya apakah ia akan menggugat penahanan ini melalui mekanisme praperadilan Maqdir pun tidak menutup peluang mengenai hal tersebut. "Kita lihat saja nanti dan tentu tergantung dari klien apa mau memaafkan kesalahan ini," ujarnya.

Usai menjalani pemeriksaan, Fahmi langsung mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK. Ia membantah jika selama ini melarikan diri seperti pemberitaan media massa. Fahmi menjelaskan sebenarnya ia baru kembali ke Jakarta pada 29 September 2016 nanti, tetapi karena masalah ini muncul maka ia mempercepat waktu kepulangannya untuk memberikan klarifikasi.

"Harusnya saya ke sini besok, yang jelas saya bukan buron, saya niat baik buat klarifikasi," tutur Fahmi.

Dia mengaku sebenarnya tidak mendapatkan surat pemanggilan dari KPK.

"Saya ke sini datang atas inisitaf saya sendiri," kata Fahmi sembari digiring ke mobil tahanan di KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (23/12).

Ia mengaku belum menerima surat panggilan untuk pemeriksaannya dari KPK. "Mau klarifikasi ternyata surat sudah kita cek di rumah, di kantornya semuanya tidak masuk. Niat baik saya ke sini, tapi kondisinya seperti ini," ujar Fahmi.

PEMBELAAN FAHMI - Dalam kasus ini Fahmi disangka menyuap Eko Susilo Hadi yang menjabat sebagai Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla. KPK pun telah menetapkan Fahmi dan Eko sebagai tersangka. Selain itu, dua karyawan PT MTI, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, juga telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut.Fahmi mengaku tidak kenal dengan Eko yang diduga sebagai pihak penerima suap dalam proyek pengadaan satelit pemantauan di Bakamla. Fahmi juga mengatakan kalau dirinya tidak mengetahui siapa yang berinisiatif memberikan suap.

"Saya eggak kenal sama yang pejabat itu. (Siapa yang berinisatif) saya enggak tahu. Saya enggak kenal itu," kata Fahmi sebelum masuk mobil tahanan di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (23/12).

Hal serupa dikatakan pengacara Fahmi, Maqdir Ismail. Maqdir mengatakan, kliennya tidak mengenal Eko Susilo. Menurutnya, suap yang terjadi ini menurutnya dilakukan oleh bawahan Fahmi. "Dia tidak kenal Eko. (Jadi inisiator juga) enggak, dia kenal Eko saja tidak. Yang berhubungan ini kan orang di bawah," kata Maqdir di lokasi yang sama.

Meski demikian, Maqdir tidak membantah bila Fahmi mengetahui adanya proyek pengadaan satelit senilai Rp 220 miliar yang bersumber dari APBN-P 2016 ini. Namun, ia mengatakan proses tender itu yang dimenangkan PT MTI itu dilakukan sebelum Fahmi resmi mengakuisisi. "Dia tahu (proyeknya). Yang saya tahu, ini perusahaan milik orang lain yang dia mau ambil alih. Proses tender itu kan pemegang perusahaan lama yang melakukan," kata Maqdir.

Dalam kasus ini, selain Fahmi dan Eko ada dua karyawan PT MTI yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Kamis (15/12) lalu. Keduanya bernama Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.

Mereka diduga memberikan suap kepada Eko agar PT MTI memenangkan tender proyek pengadaan satelit pemantauan tersebut. Dalam proyek itu, Eko berperan sebagai kuasa pengguna anggaran yang diduga berperan memenangkan PT MTI pada tender tersebut. Kini penyidik KPK masih terus menelusuri kasus ini. (dtc)

BACA JUGA: