JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setahun terakhir Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan tengah ngebut untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi yang ditanganinya. Dua perkara yang lumayan dikebut penuntasannya adalah kasus penjualan aset untuk lahan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) milik Pemda DKI Jakarta dan kasus korupsi proyek pembangunan trotoar. 

Kasus ini menjadi prioritas karena kerugian negara dari kedua kasus itu cukup besar, yaitu mencapai ratusan miliar rupiah. Lagipula, penuntasan dua kasus ini dinilai bisa sedikit menghapus rapor merah Kejaksaan dalam menangani perkara korupsi.

Untuk soal ini, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sarjono Turin cukup membanggakan capaian kinerja anak buahnya. "Terus proses, kasus trotoar telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Kasus-kasus korupsi lain kita usut tuntas," kata Turin saat ditemui di Kejaksaan Agung, Senin (5/12).

Turin mengatakan, dalam kasus korupsi trotoar pihaknya akan membidik pejabat level atas di Pemkot Jaksel. Dari penyidikan sementara atas tiga tersangka, diketahui ada aliran dana dari hasil korupsi proyek itu yang mengalir ke beberapa pihak. Dari situlah, Turin menduga, kasus ini juga mengandung unsur pencucian uang (TPPU). "Kita masih telusuri (TPPU), kalau ditemukan fakta di persidangan kita juga akan kembangkan," kata Turin. 

Informasi di lingkungan jaksa, kasus ini diduga melibatkan pejabat di jajaran Pemkot Jakarta Selatan saat itu. "Arahnya ke atas," kata jaksa yang meminta namanya dirahasiakan itu.

Untuk sementara, kata Turin, penyidik tengah fokus merampungkan pemberkasan milik dua tersangka yakni Cecep selaku PNS Sudin Bina Marga Jakarta Selatan serta Irfan Ardi Tasya. Sedangkan tersangka Perdana Marcos, penyidikannya masih belum rampung, lantaran yang bersangkutan diduga telah melarikan diri.

Untuk mengejar Marcos, Turin telah meminta tim intelijen Kejaksaan Agung menangkapnya. "Kita terus kejar, tim sudah bergerak mencari yangbersangkutan,"

Sementara kasus lain yang juga dikebut Kasus lain adalah penjualan aset berupa lahan fasos dan fasum milik Pemprov DKI Jakarta. Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp150 miliar. Turin mengatakan, berkas tersangka dalam pekara ini dalam tahap finalisasi untuk dilimpahkan ke pengadilan.

Selain itu, penyidik akan menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain. Hal itu sempat terungkap dalam pemeriksaan terhadap tersangka bernama Irvan. Kuasa hukum Irvan, Bambang Hartono mengatakan, Kejagung harus mengusut keterlibatan pihak lain. Seseorang berinisial F diduga menjadi penyandang dana penjualan lahan milik negara tersebut.

Kliennya hanyalah suruhan untuk mengaku sebagai ahli waris lahan tersebut. Bambang mengatakan, Irvan "dimodali" dana sebesar Rp5 miliar untuk mengurus lahan yang ternyata milik Pemprov DKI Jakarta seluas 2.975 meter persegi, di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Bambang juga mengatakan, dalam kasus ini ada suap yang mengalir ke oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) berinisial J. Melalui J inilah, Irvan yang diberi modal sebesar Rp500 juta membuat Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), membayar PBB, membayar pengurusan BPHTB dan sertifikat di BPN melalui J.

"Itu juga tidak semuanya. Kalau mau lihat fakta, jaksa harus melihat surat-surat sertifikat tersebut, siapa saja yang terdaftar dalam sertifikat itu. Pertanyaannya berani enggak menjadikan mereka tersangka," tantang Bambang.

Kasus ini terjadi pada tahun 1996 lalu. Saat itu PT Permata Hijau telah melaksanakan kewajiban penyerahan fasos (fasilitas sosial) fasum (fasilitas umum) terhadap lahan yang telah dibebaskan oleh PT Permata Hijau kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Penyerahan dilakukan melalui Pardjoko (alm) selaku Walikota Jakarta Selatan yang diketahui oleh Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan pada waktu itu yaitu (alm) Sungkono. Tanah yang dimaksud berupa sebidang tanah yang terletak di Jalan Biduri Bulan/Jalan Alexandri III RT.008 RW.01 Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jaksel.

Dengan telah diserahkannya kewajiban fasos-fasum yang termasuk sebidang tanah tersebut maka tanah tersebut menjadi aset Pemprov DKI Jakarta dan bukan milik perorangan. Namun pada Juni tahun 2014, di atas tanah tersebut diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Selatan kepada pemegang hak yaitu Rohani, cs.

Dengan diterbitkannya sertifikat HGB tersebut, aset yang tadinya milik Pemprov DKI statusnya telah beralih kepemilikan menjadi milik perorangan. Peralihan status ini mengakibatkan hilangnya aset Pemprov DKI Jakarta terhadap sebidang tanah tersebut.

Dan parahnya, ‎para pemegang hak yang namanya tertera dalam sertifikat HGB kemudian menjual sebidang tanah tersebut kepada seseorang bernama AH dengan harga Rp15 juta per meter. Yang jika ditotal kurang lebih nilainya mencapai Rp38 miliar. Penjualan itu dilakukan beberapa hari setelah terbit sertifikat HGB sehingga telah beralih pula kepemilikan tanah tersebut kepada AH. AH kembali menjual tanah tersebut lagi kepada pihak ketiga.

SELAMATKAN UANG NEGARA - Dalam perkara ini, Kejari Jaksel juga sudah memeriksa Wali Kota Jakarta Barat (Jakbar) Anas Effendi. Namun Anas mengaku dirinya tidak mengetahui soal penjualan itu. "Tanya saja ke penyidiknya. Dia tanya saya, saya bilang tidak tahu (soal pembelian lahan)," ujar Anas, beberapa waktu lalu.

Anas diperiksa karena pernah menjabat sebagai Wakil Walikota Jakarta Selatan. Namun, Anas mengatakan penjualan dilakukan pada 1996, dan saat itu dirinya masih bertugas sebagai camat di wilayah Cilandak, Jakarta Selatan. "Jadi kan saat itu saya tidak ada dan tidak melibatkan diri sebagai wakil wali kota," terangnya.

Turin mengaku akan mengusut tuntas kasus pelepasan aset milik Pemprov DKI ini. Tim penyidik tidak akan berhenti hanya pada dua orang tersangka, namun berkembang sesuai kepentingan penyidikan.

Turin menyatakan penyidikan kasus pelepasan aset ini akan menjadi pintu masuk membongkar permainan pelepasan aset milik negara tanpa prosedur yang semestinya. Tim penyidik Kejari Jaksel mengaku telah mengantongi bukti kuat para ´calo-calo´ tanah ini menyerobot aset-aset milik negara untuk kepentingan bisnis.

"Jika ditemukan fakta dan alat bukti baru, maka kami akan tetapkan tersangka. Siapa pun orang dan jabatannya," tegasnya.

Bisa jadi kasus pelepasan aset milik Pemprov DKI akan mengungkap kasus-kasus lain. Sebab berdasar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil pemeriksaan (LHP) Keuangan Daerah DKI 2015 terungkap setidaknya ada 50 temuan yang diduga telah merugikan negara Rp30,15 triliun.

Temuan tersebut diantaranya kerugian daerah senilai Rp41 miliar dan kekurangan penerimaan daerah Rp5,8 miliar. Selanjutnya masalah administrasi dengan potensi kerugaian daerah sebesar Rp30,11 triliun. Diantaranya, sebanyak Rp15,2 triliun tidak dapat diyakini kebenarannya dan aset lainnya yang belum validasi Rp14,5 triliun.

Kemudian pembelian alat berat di Dinas Bina Marga DKI yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp13,4 miliar.‎ Kemudian kasus pembelian lahan di Cengkareng Barat, dimana Pemprov DKI membeli lahan yang dimilikinya sendiri.

Terkait kinerja lembaga yang dipimpinnya, Turin mengatakan, sejauh ini, Kejari Jaksel berhasil menyelamatkan keuangan negara, dalam bentuk uang tunai sebesar Rp12 miliar yang telah disetorkan ke kas negara. Uang negara diselamatkan dari berbagai kasus korupsi yang berhasil dituntaskan. "Uang negara ini, kita selamatkan dari berbagai tindak pidana korupsi, yang kita tangani," kata Turin.

Menurut Turin, intitusinya juga telah menyita aset terkait berbagai tindak pidana korupsi, yang tengah ditangani senilai Rp81 miliar. Tercatat, Kejari Jaksel menangani kasus korupsi sebanyak enam di tahap penyelidikan, enam di tahap penyidikan dan 13 perkara di penuntutan serta 28 perkara di tingkat eksekusi.

"Kita terus dorong tim penyidik agar upaya pengembalian keuangan negara lebih optimal. Yang sekaligus akan mendorong peningkatan kinerja para jaksa," kata Turin.

BACA JUGA: