JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam berupaya meloloskan diri dari jeratan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Upaya itu dilakukan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu dengan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Langkah itu dibenarkan salah satu pengacara Nur Alam, Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, pihaknya telah mendaftarkan gugatan praperadilan itu pada Jumat (16/9), dengan registrasi Nomor: 127/Pid.Prap/2016 PN.Jkt.Sel.

"Alasan praperadilan berkenaan dengan penerbitan IUP yang dipersangkakan oleh KPK telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor," kata Maqdir dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (16/9).

Penetapan izin tersebut, menurut Maqdir, pernah digugat oleh PT Prima Nusa Sentosa (PNS) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam putusannya, Mahkamah Agung memutuskan bahwa penerbitan IUP tersebut sesuai dengan kewenangan dan prosedur dalam penerbitan. "Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 37 huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, menjadi kewenangan gubernur untuk penerbitan izinnya," ujarnya.

Selain itu, hingga saat ini KPK juga belum secara pasti memiliki perhitungan kerugian keuangan negara atas dugaan perbuatan pidana yang dilakukan kliennya itu. Padahal, kerugian keuangan negara, menurut Maqdir, merupakan salah satu elemen pokok dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006.

"Bahwa dalam perkara ini, ketika Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka tanggal 15 Agustus 2016, tidak ada perhitungan kerugian keuangan negara yang jumlahnya nyata dan pasti serta dilakukan oleh ahli yang berwenang menurut UU yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," tuturnya.

Alasan lain, menurut Maqdir, KPK tidak diperkenankan melakukan proses penyelidikan ketika ada lembaga lain yang sedang melakukan hal yang sama dengan subjek yang sama. Ini sesuai dengan UU KPK Pasal 6,7 dan 8. Selain itu, juga bertentangan dengan nota kesepahaman antara KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

"Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para pihak," kata Maqdir mengutip bunyi nota kesepahaman itu.

Ia menambahkan, saat ini Kejaksaan Agung sedang melakukan penyelidikan berdasarkan surat perintah yang diteken Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dengan Nomor: Print-04/F.2/Fd.1/01/2013 tanggal 15 Januari 2013.

Selain itu, juga dianggap bertentangan dengan surat yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI No. R-391/F.2/Fd.1/08/2015 tertanggal 24 Agustus 2015 yang ditujukan kepada Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menariknya, dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Kejaksaan Agung tidak bisa menaikkan status Nur Alam ke penyidikan karena tidak memiliki bukti yang cukup.

KPK dinilai melakukan penyelidikan perkara yang sama dengan perkara yang sedang diselidiki Kejaksaan Agung RI, berdasarkan surat perintah penyelidikan tanggal 15 Januari 2013. Abibatnya ada duplikasi penyelidikan.

"Ini adalah pelanggaran terhadap UU KPK dan MOU KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penyelidik KPK," imbuhnya.

Lalu, alasan lainnya, Nur Alam belum pernah memberi keterangan dalam proses penyelidikan yang dilakukan tim KPK. Dalam Surat Permintaan Keterangan (SPK) yang diteken Direktur Penyelidikan (Dirlidik) Herry Mulyanto, juga terdapat ancaman yang ditujukan kepada kliennya.

"Surat ini adalah Surat Terakhir yang disampaikan KPK kepada Saudara terkait perihal yang sama. Apabila Saudara tidak dapat menghadiri kembali, kami akan melanjutkan proses penyelidikan tanpa keterangan/klarifikasi dari saudara," kata Maqdir mengutip SPK itu.

Maqdir menganggap, pernyataan tersebut adalah upaya paksa yang dilakukan tim penyelidik terhadap kliennya dan dianggap melanggar UU KPK. Sayangnya Maqdir tidak menjelaskan dalam pasal berapa atau UU yang mana pelanggaran itu dilakukan.

Buktinya, lanjut Maqdir, kurang dari sebulan kemudian, tepatnya tanggal 15 Agustus 2016, KPK benar-benar mengakhiri proses penyelidikan tanpa ada keterangan dari Nur Alam. Bahkan proses perkara dilanjutkan ke tingkat penyidikan dengan mengeluarkan Sprindik tertanggal 15 Agustus 2016. "Bahkan seketika itu pula menetapkan Nur Alam menjadi tersangka," ujarnya.

KPK PUNYA DUA BUKTI - Dikonfirmasi terpisah, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati menyatakan menghormati langkah gugatan tersebut. "Praperadilan adalah hak tersangka dan KPK menghormatinya," terang Yuyuk saat dikonfirmasi.

Meskipun begitu, Yuyuk berkeyakinan bahwa pihaknya sudah sesuai prosedur dalam menetapkan Nur Alam sebagai tersangka. Selain itu, ia juga percaya penyidik mempunyai minimal dua alat bukti yang cukup untuk menjerat Nur Alam sebagai tersangka KPK.

Sebelumnya Nur Alam disangka telah memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan menyalahgunakan wewenangnya dalam memberikan izin pertambangan. "Dalam pengembangan penyelidikan kita menemukan unsur Tindak Pidana Korupsi dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara periode 2009-2014. Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti dan menetapkan NA (Nur Alam) Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di kantornya, Selasa (23/8).

Syarif lebih rinci menjelaskan mengenai sangkaan terhadap Nur Alam. Ia diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam menerbitkan beberapa Surat Keputusan (SK) terkait IUP di dua kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Buton dan Bombana kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) yang melakukan penambangan nikel di dua lokasi tersebut.

SK yang dimaksud meliputi Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi.

Atas perbuatannya tersebut, Nur Alam disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 99 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.

BACA JUGA: