GESNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa pada KPK mencecar mantan Bupati Buton Syafei Kahar terkait surat rekomendasi penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi untuk PT Anugerah Harisma Barakah (AHB). Dia dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan terdakwa Nur Alam.

Awalnya, jaksa menanyakan tentang kehadiran Kabid Pertambangan Umum Dinas ESDM Provinsi Sultra Burhanuddin di kantor Syafei. Kedatangan Burhanuddin saat itu membawa konsep surat untuk rekomendasi penerbitan IUP dari Bupati.

"November 2009, tanggalnya nggak ingat, staf melapor kepada saya bahwa ada dari dinas pertambangan provinsi. Tidak banyak dia bicara sama saya. Saya tidak perhatikan suratnya, tapi dia bilang ada surat," kata Syafei menjawab pertanyaan jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/1/2018).

Syafei menyebut surat itu ia didisposisikan ke Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Buton saat itu, Radjlun, yang juga menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya selama menjabat sebagai bupati, surat-surat yang masuk biasanya tidak diantarkan langsung.

"Itu saya serahkan ke (dinas) pertambangan. Biasanya surat itu ke meja saya melalui bagian umum," ujarnya.

Menanggapi itu, Radjlun membenarkan kedatangan Burhanuddin membawa surat ke kantor bupati. Ia pun langsung mengurus surat rekomendasi untuk penerbitan IUP eksplorasi bagi PT AHB yang konsepnya telah dibawa oleh Burhanuddin.

"Waktu itu saya dipanggil pak bupati untuk datang ke ruang beliau. Di sana ada salah satu pegawai dari dinas ESDM provinsi bernama Burhanuddin, membawa surat untuk permohonan IUP untuk PT Harisma," ucapnya.

Rekomendasi dari Bupati Buton disebut Radjlun dibutuhkan untuk penerbitan IUP eksplorasi yang dikeluarkan Gubernur Sultra. Hal itu diperlukan, karena lokasi pertambangan berada di wilayah Kabupaten Buton.

Radjlun pun menyebut surat rekomendasi yang dikeluarkan menyebut belum bisa dikeluarkan IUP karena wilayah yang dimohonkan berada dalam lokasi kontrak karya PT International Nickel Indonesia (INCO). Ia juga menyebut ada hutan produksi dalam lokasi yang dimaksud sehingga diperlukan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Hutan produksi saja, hutan lindung tidak ada. Harus minta izin Menteri Kehutanan untuk izin pinjam pakai," sambungnya.

Sebagai informasi, Nur Alam disebut melakukan korupsi dengan modus menerbitkan surat izin usaha pertambangan yang dibikin seolah-olah sesuai prosedur, padahal tidak. Izin itu diberikan karena adanya surat permohonan pencadangan wilayah pertambangan 3.024 Ha kepada Nur Alam selaku Gubernur Sultra yang mana lokasi dimohonkan PT Anugerah Harisma Barakah sebagian berada di lokasi yang sama dengan lokasi kontrak karya PT International Nickel Indonesia pada blok Malapulu di Pulau Kabaena.

Atas perbuatannya, Nur Alam didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2.781.000.000 dan korporasi PT Billy Indonesia Rp 1.593.604.454.137. Jaksa juga menyebut negara mendapatkan kerugian sebesar Rp 4.325.130.590.137 atau Rp 1.593.604.454.137. (dtc/mfb)

BACA JUGA: