JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tengah menguji keabsahan penetapan tersangka terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya Nur Alam mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dirinya menjadi tersangka dalam kasus suap pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).  

Nur Alam berdalih penetapan dirinya sebagai tersangka yang tanpa melalui pemanggilan dalam proses penyelidikan dinilai menyalahi ketentuan.Sementara pihak KPK mengklaim dalam menetapkan tersangka terhadap Nur Alam pihaknya telah sesuai KUHAP dan telah dengan dua alat bukti permulaan yang cukup. Selain itu KPK juga mengaku telah melakukan beberapa kali pemanggilan terhadap Nur Alam, hanya saja yang bersangkutan  tak pernah menghadiri.  

Dalam sidang hari ini, Jumat (7/10), pihak KPK menghadirkan saksi ahli Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Adnan Pasylajja, untuk menjelaskan sah tidaknya penetapan tersangka tanpa pemeriksaan terlebih dahulu terhadap calon tersangka. Kuasa hukum KPK menanyakan ahli, apakah sah penetapan tersangka apabila calon tersangka setelah diundang tidak pernah menghadiri. Menjawab pertanyaan ini, menurut ahli tidak ada kesalahan penetapan tersangka tanpa pemanggilan sekalipun. Menurutnya, bisa saja penetapan tersangka tanpa harus memanggil calon tersangka asalkan dua bukti permulaan telah dimiliki.

"Penetapan tersangka tidak mesti diperiksa terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka," kata Adnan selaku ahli saat memberikan keterangannya di PN Jakarta Selatan.

Nur Alam dijerat KPK dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Terkait Pasal yang dikenakan kepada Nur Alam, ahli menyatakan  tidak harus dibuktikan dalam persidangan. Sebab pasal tersebut merupakan delik formal yang tak mesti ada akibat dari perbuatan pidananya.

"Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dengan berpotensi saja bisa dianggap sebagai tindak pidana karena tidak menunggu akibat. Frase "dapat" dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor itu kan delik formil maka dia tidak perlu dibuktikan," ungkap pengajar Hukum ini.

PENYIDIK NOVEL DIPERSOALKAN - Tak hanya mempersoalkan belum adanya pemeriksaan terhadap Nur Alam saat ditetapkan tersangka. Kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail juga mempersoalkan keberadaan penyidik KPK, Novel Baswedan yangs empat diperkarakan oleh institusinya, saat ia menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu karena kasus penganiayaan tahanan. Namun belakangan perkara Novel sendiri dihentikan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan  oleh Kejaksaan Negeri  Bengkulu.

Menurut Maqdir pengangkatan penyelidik dan penyidik di KPK, seharusnya sesuai dengan Pasal 39 Ayat (3) diangkat dari Kepolisian dan Kejaksaan.

Adapun bunyi Pasal tersebut adalah : 3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun menurut pihak pomohon Novel yang merupakan terdakwa tak layak untuk menjadi penyidik di KPK. Oleh karena itu ia mempersoalkan keberadaan Novel sebagai penyidik di KPK, terutama lagi sebagai penyidik dalam kasus korupsi Nur ALam. "Pasal 39 ayat 3 tentang pengangkatan penyelidik dan  penyidik apakah boleh mengangkat penyelidik di luar Jaksa dan Polri? Mana pasalnya?," ungkap Maqdir di PN Jakarta Selatan.

Menurut Maqdir, penyelidik dan penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi hanya bisa diangkat dari Kepolisian dan Kejaksaan sesuai Pasal 39 Ayat (3) UU KPK. Dengan begitu, dasar hukum KPK untuk mengangkat penyidik di luar instansi Kepolisian dan Kejaksaan sama sekali tak memiliki dasar hukum yang jelas.

Dalam UU KPK, lanjut Maqdir tidak ada satu pasal pun yang membolehkan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik di KPK. "Pasal mana yang membolehkan penyelidik dan penyidik di luar Polri dan Kejaksaan," tanya Maqdir. Dua Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP Nomor 63 tahun 2003 dan PP 103 tahun 2012 tidak menyebut pembolehan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik di luar dua institusi tersebut.

Sementara itu, pihak kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Nur Chusniah justru berpendapat KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat penyelidik dan penyidik.

"Berwenang. Kan diangkat sebagai pegawai dulu nanti difungsikan kemana. Kebetulan Pak Novel diangkat menjadi penyidik," kata Nur Chusniah kepada wartawan disela-sela persidangan.

Nur Chusniah sendiri menyatakan saat ini Novel Baswedan merupakan pegawai tetap KPK yang diangkat menjadi penyidik di KPK. Novel mengundurkan diri dari kepolisian dan memilih menjadi pegawai tetap di lembaga antirasuah itu.

Menurut Nur Chusniah, KPK mengangkat penyelidik dan penyidik seperti Novel tak serampangan apalagi dengan tidak prosedural. Dia mengklaim, melalui Pasal 24, 25 dihubungkan dengan Pasal 45 menjadi alasan kewenangan KPK mengangkat penyelidik dan penyidiknya. Ketiga Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini menjadi dasar hukum bagi KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik.

Pasal 24 ayat (2) berbunyi : Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 25 ayat (1) ke 2 menyatakan : mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi;

Pasal 45,  menyebutkan penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Sehingga menurut kuasa hukum, pengangkatan Novel tak melanggar ketentuan dan menyalahi kewenangan KPK. 

BACA JUGA: