JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberadaan penyidik KPK Novel Baswedan dalam kasus penyidikan dugaan korupsi dalam penerbitan izin pertambangan di Sulawesi Tenggara, justru dijadikan "senjata" oleh sang tersangka Gubernur Sultra Nur Alam. Dalam sidang praperadilan terkait penetapan tersangka Nur Alam oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Nur Alam, mempersoalkan status Novel di KPK.

Dalam persidangan yang digelar hari Senin (10/10) pihak Nur Alam menghadirkan saksi ahli yaitu pakar hukum pidana Romli Atmasasmita. Romli menyatakan, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tidak pernah diatur melalui UU KPK. Hal itu diungkapkan Romli saat ditanya pihak Nur Alam, apakah penyelidik dan penyidik di KPK boleh berasal dari PPNS.

Menurut Romli, penyelidik dan penyidik di KPK hanya dari kepolisian dan kejaksaan. "PPNS tidak diatur dalam UU KPK," terang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu.

Romli menegaskan, penyelidik dan penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi mesti berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Di luar itu tidak pernah diatur melalui melalui UU KPK termasuk PPNS yang menjadi perdebatan antara pihak pemohon dan termohon.

Terkait dengan penyidik yang tersangkut kasus hukum, menurut Romli sebaiknya diberhentikan posisinya sebagai penyidik. Kalau dipaksakan melakukan tugas penyidikan, akan berdampak pada melemahnya kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah.

"Akan jadi persoalan soal kredibilitas, public trust, integritas dan etik. Kalau tersangkut kasus hukum pimpinan saja diberhentikan, maka penyidik juga demikian. Itu menyangkut equality before the law. Pasal 5 UU KPK soal asas-asas. itu dilanggar kalau itu dilakukan," kata Romli.

Dia menambahkan, terkait penyidik yang tersangkut kasus hukum maka perlu adanya langkah administratif oleh pimpinan KPK. Status itu, kata Romli, tidak hanya menyalahi soal etik dalam pemberantasan korupsi tetap juga melanggar asas-asas dalam UU KPK. "Sekurang-kurangnya dinonjobkan. Kama ketua KPK berwenang untuk itu," tukas Romli.

Selain itu, Romli juga memberikan penjelasan soal apakah calon tersangka perlu diperiksa sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Romli berpendapat, penetapan tersangka harus terlebih dahulu memeriksa calon tersangka. Pemeriksaan itu, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21.

"Harus mengikuti putusan MK. karena sifatnya final and binding. Kalau tidak mau dipanggil, ya itu tergantung KPK bagaimana siasatnya. Kan bisa juga didatangi," ujar Romli.

Sebelumnya, pihak Nur Alam mempersoalkan status Novel yang dinilai tak jelas sebagai penyidik. Maqdir Ismail mempersoalkan Novel Baswedan karena sempat diperkarakan oleh bekas institusinya yaitu Kepolisian RI, ketika dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.

Novel pernah dijadikan tersangka kasus penganiayaan tahanan. Kasus ini sempat bergulir hinga ke kejaksaan. Namun belakangan perkara Novel sendiri dihentikan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu.

Meski kasus Novel dihentikan, namun Novel yang sudah keluar dari institusi kepolisian tetap dipersoalkan oleh Maqdir. Menurut Maqdir pengangkatan penyelidik dan penyidik di KPK, seharusnya sesuai dengan Pasal 39 Ayat (3) yaitu diangkat dari Kepolisian dan Kejaksaan.

Adapun bunyi Pasal tersebut adalah: "Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi".

Atas dasar itulah, Nur Alam menggugat keabsahan penetapan dirinya sebagai tersangka. Dalam UU KPK, lanjut Maqdir tidak ada satu pasal pun yang membolehkan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik di KPK. "Pasal mana yang membolehkan penyelidik dan penyidik di luar Polri dan Kejaksaan," tanya Maqdir.

NOVEL BUKAN PENYIDIK KPK - Maqdir Ismail menegaskan, dengan berbagai alasan tadi, pihaknya berkesimpulan dalam kasus yang menjerat Nur Alam, Novel Baswedan tak bisa lagi menjadi penyidik di KPK. "Novel tak bisa lagi penyidik di KPK. Makanya argumen kami jangankan pegawai biasa PPNS saja tidak diakui UU KPK. Apalagi orang yang sudah diberhentikan," ungkap Maqdir.

Maqdir juga menambahkan soal penetapan tersangka harus dikembalikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP diatur, penetapan tersangka harus memeriksa calon tersangka terlebih dahulu. Sementara Nur Alam tak pernah diperiksa sama sekali selaku saksi. "Keputusan MK Nomor 21 itu tidak cuma kumulatif tapi imperatif, harus. Kecuali kita tidak mau pakai undang-undang ya silakan,"katanya.

Putusan yang dimaksud Maqdir di sini adalah putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Menurut Maqdir, UU KPK tidak mengatur tentang penetapan tersangka.

Dengan begitu, penetapan tersangka harus dikembalikan kepada KUHAP bukan ke undang-undang KPK. "Penetapan tersangka harus dikembalikan kepada KUHAP" kata Maqdir usai persidangan di PN Jakarta Selatan.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menganggap alasan pemohon yang mengembalikan penetapan tersangka yang mengacu pada putusan MK Nomor 21 tidak bisa dipakai pada kasus Nur Alam. Menurutnya tidak ada kaitan putusan tersebut dengan penetapan tersangka oleh KPK terhadap Nur Alam.

Pihak KPK bersikukuh bahwa penetapan tersangka tetap mengacu pada UU KPK bahwa tak mesti dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu calon tersangka. "Kami kan mengundang, selama yang bersangkutan tidak bisa hadir dalam proses penyelidikan kalau ditetapkan sebagai tersangka karena itu kewenangan KPK ya sudah," ujarnya.

Dia mengaku memiliki alasan kuat karena setelah dipanggil empat kali Nur Alam tak pernah menghadiri undangan KPK. Namun begitu, Setiadi tak mempermasalahkan jika pihak pemohon tetap berpandangan pada putusan MK Nomor 21. "Nanti kita akan sampaikan di kesimpulan saja ya," tegasnya.

Sebelumnya, KPK juga menghadirkan saksi ahli yaitu Adnan Pasylajja, pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Adnan dihadirkan untuk menjelaskan sah tidaknya penetapan tersangka tanpa pemeriksaan terlebih dahulu terhadap calon tersangka.

Kuasa hukum KPK menanyakan ahli, apakah sah penetapan tersangka apabila calon tersangka setelah diundang tidak pernah menghadiri. Menjawab pertanyaan ini, menurut ahli tidak ada kesalahan penetapan tersangka tanpa pemanggilan sekalipun. Menurutnya, bisa saja penetapan tersangka tanpa harus memanggil calon tersangka asalkan dua bukti permulaan telah dimiliki.

"Penetapan tersangka tidak mesti diperiksa terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka," kata Adnan selaku ahli saat memberikan keterangannya di PN Jakarta Selatan.

Nur Alam dijerat KPK dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Terkait Pasal yang dikenakan kepada Nur Alam, ahli menyatakan tidak harus dibuktikan dalam persidangan. Sebab pasal tersebut merupakan delik formal yang tak mesti ada akibat dari perbuatan pidananya.

"Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dengan berpotensi saja bisa dianggap sebagai tindak pidana karena tidak menunggu akibat. Frase "dapat" dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor itu kan delik formil maka dia tidak perlu dibuktikan," ungkap Adnan.

BACA JUGA: