JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dalam perkara korupsi penerbitan izin pertambangan yang telah menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Penyidik memeriksa sejumlah pegawai sekaligus para petinggi PT Billy Indonesia yang mengerjakan tambang nikel di wilayah tersebut.

Para saksi yang diperiksa yaitu Distomy Lasmon selaku Direktur PT Billy Indonesia, Edy Janto dan Suharto Martosuroyo selaku karyawan PT Billy Indonesia. Kemudian ada pula Endang Chaerul selaku staf keuangan PT Billy Indonesia. Kemudian saksi lainnya yaitu Ahmad Nursiwan selaku Direktur Utama PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).

Kemudian ada dua saksi lainnya yang juga diperiksa yaitu Emi Sukiati Lasimon dan Widdi Aswindi. Mereka diketahui telah masuk dalam daftar cegah bepergian ke luar negeri yang diajukan KPK kepada Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM beberapa waktu lalu.

Terkait pemeriksaan terhadap para saksi dari PT Billy ini, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha enggan menjelaskan materi pemeriksaannya. Dia hanya menjawab diplomatis. "Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NA (Nur Alam)" tuturnya di kantor KPK, Jakarta, Kamis (1/9).

Priharsa menjelaskan, mereka dipanggil karena diduga mendengar ataupun mengetahui suatu tindak pidana yang sedang dalam proses penyidikan yang sedang ditangani KPK. Nur Alam sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka beberapa hari lalu terkait perizinan tambang di Sulawesi Tenggara.

PT AHB dan Billy Indonesia memang diduga erat berkaitan erat dengan perkara ini. Untuk AHB diketahui merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.‎‎ Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.

PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hongkong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$4,5 juta atau sekitar Rp60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hongkong.

Sayangnya, para pewarta tak bisa mengkonfirmasi soal itu kepada para terperiksa. Pasalnya, mereka memilih bungkam usai menjalani pemeriksaan. Edy Janto diketahui keluar lebih dulu sekitar pukul 16.30. Ia enggan berbicara banyak kepada wartawan terkait pemeriksaannya ini. "Enggak ada, sorry Pak, sorry," kata Edy seusai menjalani pemeriksaan, Kamis (1/9).

Edy bahkan sempat-sempatnya berdalih, ia bukanlah karyawan PT Billy yang dimaksud. Tetapi hal itu tidak membuat awak media percaya begitu saja, apalagi wajahnya sesuai dengan kartu pengenal yang ada di bagian penerima tamu KPK.  "Saya bukan orang penting Pak. Saya bukan Edy, saya bukan Edy. Saya bukan Edy Pak, salah Pak," tutur Edy yang coba mengelabui para wartawan.

Sama halnya dengan Widdi. Pria ini keluar dari gedung KPK sekitar pukul 17.12 WIB dengan menggunakan pakai jaket hitam, kemeja putih, tas gemblok hitam oranye, dan menenteng sebuah map warna coklat di tangan kanan.

Saat ditanya wartawan mengenai pemeriksaannya, Widdi juga irit berbicara. Meskipun begitu, ia mengakui diperiksa mengenai perusahaan yang dipimpinnya yaitu PT Billy Indonesia. "Iya PT Billy, makasih," tuturnya.

Emi Sukiati Lasimon juga melakukan hal yang sama. Ia bahkan sempat memesan taksi untuk menunggunya di depan Lobby Gedung KPK. Diduga tujuannya agar ia tidak banyak dicecar wartawan dan bisa langsung meninggalkan gedung.

Tapi sayang, taksi tersebut tidak bisa menunggu terlalu lama di depan lobby dan diminta petugas keamanan untuk mundur lagi. Mau tak mau Emi harus melewati para awak media yang menunggunya. Sambil berlari, Emi hanya berbicara kepada pewarta. "Tadi ditanya soal AHB," pungkas Emi.
KETERKAITAN PT BILLY - Keterlibatan PT Billy dalam kasus Nur Alam memang tidak terlepas dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan adanya transaksi mencurigakan ke rekening milik Nur Alam. Transaksi itu diketahui berasal Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong.

Kasus ini sendiri sempat disidik oleh Kejaksaan Agung pada 2014 lalu, meski belakanga kasus ini dihentikan dan Nur Alam tak lagi menjadi tersangka. Meski begitu, penyidik Kejaksaan Agung sempat menemukan dugaan transfer mencurigakan dari Richcorp ke Nur Alam.

Dari penyidikan diketahui, perusahaan asal Hongkong itu, mentransfer sejumlah dana kepada Nur Alam sebanyak empat kali secara tidak langsung. Diduga transfer dana itu merupakan modus suap dengan cara menerbitkan polis asuransi untuk Nur Alam. Pasalnya duit yang ditransfer Richcorp sebasar total US$4,5 juta ditransferkan ke PT AXA Mandiri.

Pada tahun 2010, Richcorp diketahui mentrasfer uang itu via Chinatrust Bank Commercial Hongkong. Dana ditransfer sebanyak empat kali. Pengiriman pertama dilakukan sebesar US$500 ribu. Kemudian ada dua kali transfer sebesar US$1 juta dan terakhir sebesar US$2 Juta. Semua trasfer itu dilakukan hanya dalam waktu beberapa bulan dari September hingga November 2010.
 
Dugaan modus suap dalam bentuk pembelian polis asuransi semakin menguat ketika pihak AXA Mandiri menerbitkan polis asuransi atas nama Nur Alam dengan nilai total encapai Rp30 miliar. Sementara sisanya ditransfer pihak AXA Mandiri ke rekening milik Nur Alam sebesar Rp10 miliar.

Bagaimana kaitan Richcorp dengan PT Billy? Diketahui dari penyidikan Kejaksaan Agung, Richcorp adalah pembeli nikel dari PT Billy Indonesia dari tambang mereka di Konawe. Pihak Kejagung sendiri sudah pernah terbang ke Hongkong menyelidiki eksistensi Richcorp, namun mereka pulang dengan tangan hampa karena perusahaan itu sudah ditutup tahun 1997.

Penutupan perusahaan itu juga dirasa janggal karena dari akte pendirian diketahui, Richcorp berdiri tahun 1992. Dengan penutupan itu, Richcorp diketahui hanya sempat beroperasi selama lima tahun.

KEJAGUNG IKUT CAMPUR - Kejagung sendiri menghentikan kasus itu dengan alasan Nur Alam sudah mengembalikan uang yang diterimanya kepada Richcorp pada tahun 2013 lalu sebesar Rp40,7 miliar. Namun setelah kasus ini disidik KPK, Kejagung malah membuka lagi penyelidikan baru.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum berdalih, pihaknya masih terus menyelidiki kasus tersebut karena masih kurang bukti untuk meningkatkan ke penyidikan. "Iya sudah diselidiki transaksi mencurigakan itu, waktu dilakukan penyelidikan tidak cukup bukti untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan," ujar Rum di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (26/8).

Rum berdalih penyelidikan yang dilakukan Kejagung berbeda dengan yang dilakukan KPK karena Kejagung tidak menyidik kasus korupsi berupa dugaan penerimaan suap tetapi terkait transaksi mencurigakan. "Jadi murni transaksi mencurigakan yang disampaikan PPATK pada kita," katanya.

Kejaksaan, kata Rum, akan menelusuri temuan transaksi mencurigakan dari PPATK dimana Nur Alam memiliki rekening gendut, dan melakukan transaksi yang diduga tidak sesuai dengan profilnya (pekerjaannya) sebagai Gubernur. Dalam penyelidikan yang lalu, kata Rum, para penyidik kejaksaan menyimpulkan transaksi-transaksi itu murni merupakan transaksi bisnis.

Karena itulah Kejaksaan Agung belum menaikkannya ke penyidikan. "Itu murni bisnis, setelah ditelusuri itu murni bisnis, kita tidak lanjutkan ke penyidikan," dalih Rum.

BACA JUGA: