JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menghukum PT National Sago Prima (PT NSP) terkait gugatan perdata perkara kebakaran hutan di Riau seharusnya menjadi pintu masuk untuk melakukan koreksi total atas penegakan hukum terhadap kasus-kasus serupa di Indonesia. Aparat penegak hukum, terutama jaksa dan polisi, sebaiknya meninjau kembali proses hukum terhadap kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), baik terhadap kasus yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan, maupun yang sudah dihentikan penyidikannya (SP3/Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

BACA: KASUS NSP SAMPOERNA AGRO: Awasi Banding Perdata, Kasasi Pidana, SP3 Pembakaran Hutan

Proses penegakan hukum --- terutama pidana --- kasus karhutla selama ini dinilai tidak transparan. Penegak hukum kerap enggan mempublikasikan proses hukum yang tengah berjalan.

Salah satu indikasi tidak transparannya proses hukum dalam penanganan kasus karhutla adalah dihentikannya penyidikan terhadap 15 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan oleh Polda Riau. Selain itu, menurut informasi yang diperoleh gresnews.com, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri juga tengah menangani kasus pidana terhadap tiga perusahaan terkait karhutla. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama ketiga perusahaan itu sudah diterbitkan oleh Polri dan diterima oleh Kejaksaan Agung. Namun proses hukum kasus itu cenderung tertutup.

"Belum tahu saya, nanti saya cek dulu," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad saat dikonfirmasi soal perkara kebakaran hutan dan lahan oleh korporasi yang ditangani Bareskrim Polri tersebut, Minggu (14/8).

Secara keseluruhan, pada 2015, kejaksaan telah menerima 51 SPDP kasus karhutla dari kepolisian. Sebanyak tiga SPDP dari Bareskrim Polri, 10 SPDP dari Polda Kalimantan Tengah, 13 SPDP dari Polda Kalimantan Barat, dua SPDP dari Polda Kalimantan Timur, 15 SPDP dari Polda Sumatera Selatan, dan delapan SPDP dari Polda Jambi.

"Ada yang sudah ke pengadilan, ada juga yang masih di penyidik," kata Noor. Namun mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) itu mengaku belum bisa menjelaskan secara rinci kasus-kasus tersebut. "Saya tidak hafal satu per satu," ujarnya.

Sementara itu, Polri mengklaim penegakan hukum dalam kasus karhutla berjalan dengan baik. Bahkan, kasus yang terjadi pada 2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan pada 2015.

Sepanjang 2016, Polri menangani 105 laporan kasus karhutla dari seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 42 diantaranya telah memasuki tahap penyelidikan, tahap 1 ada 13 perkara. Lalu 43 berkas kasus karhutla telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan dan tiga kasus dinyatakan SP3,

"Jumlah tersangka 134 orang, ini seluruhnya perorangan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Agus Rianto, di Jakarta, belum lama ini.

Dibandingkan dengan tahun lalu, Polri telah menangani 275 perkara karhutla dengan jumlah 166 tersangka. Sementara sebanyak 28 kasus telah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh kepolisian.

TRANSPARANSI - Kendati demikian, klaim bahwa Polri telah menyidik puluhan kasus karhutla belum sepenuhnya bisa diacungi jempol. Malah di sisi lain, penegakan hukum kasus karhutla patut dipertanyakan.

Catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau seperti disampaikan oleh Direktur Eksekutifnya, Riko Kurniawan, terdapat 18 perusahaan yang telah dijadikan tersangka kasus karhutla pada 2013. Namun, hanya dua kasus yang berlanjut ke persidangan. Kemudian, pada 2014, terdapat 12 perusahaan dinyatakan tersangka kasus serupa. Namun dari jumlah itu, hanya tiga kasus yang sampai ke meja hijau.

Bahkan ada perusahaan yang dijadikan tersangka selama empat tahun berturut-turut, tapi tidak pernah disidangkan kasusnya. Lalu pada 2015, sejumlah perkaranya masih di polisi, bahkan ada yang kasusnya dihentikan penyidikannya.

Namun Polri menampik tudingan proses hukum yang tak transparan itu. Menurut Agus, penegakan hukum kasus karhutla didasari atas alat bukti. Bahkan dalam kasus karhutla yang ditangani oleh Polda Riau, proses hukum untuk menentukan ada tidaknya unsur pidana telah melibatkan para ahli.

Di Riau sendiri, polisi hanya menangani 18 laporan kasus karhutla. Dua kasus telah proses persidangan, satu kasus masih penyidikan, dan 15 kasus yang melibatkan perusahaan dihentikan (SP3).

"Dalam proses penegakan hukum, kami utamakan alat bukti untuk dukung proses pembuktian, kalau nggak ada pemilik (perusahaan), siapa yang harus diproses pidana?" dalih Agus.

BACA JUGA: