JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) siap membuka kembali kasus dugaan korupsi pelepasan aset berupa lahan milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang dilakukan oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan direksi Jakpro dan Direktur Utama PT Agung Wahana Indonesia (AWI) Fredie Tan sebagai tersangka.

Namun, hingga kini, perjalanan kasus tersebut mendadak tak jelas. Saban kali ditanyakan, pihak Kejagung menyatakan, tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus tengah menelitinya. Namun belakangan, pada Februari 2016, kasus yang diduga merugikan negara Rp68 miliar itu malah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejagung dengan alasan tidak cukup bukti.

Meski begitu, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah mengungkapkan, kasus yang dihentikan masih bisa dibuka kembali. "Bisa saja, kenapa tidak bisa. Kan perkara itu dihentikan tidak selamanya, jangankan perkara penyidikan dihentikan, putusan inkracht pun bisa dibuka kembali," kata Arminsyah di Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (11/8).

Arminsyah menyontohkan, sebuah kasus dihentikan karena saksi awalnya tidak mau memberikan keterangan. Namun belakangan setelah dihentikan datang dan menyatakan jika dirinya telah ditekan agar tidak memberikan kesaksian. Nah, keterangan saksi ini bisa dijadikan dasar untuk membuka kembali sebuah kasus meski sudah di-SP3.

Arminsyah mengingatkan, semua perkara yang dihentikan penyidikannya dapat dibuka kembali jika dalam perjalanannya ditemukan bukti baru. Termasuk SP3 kasus Jakpro beberapa waktu lalu. "SP3 itu tidak selamanya, jika ada fakta baru ya kita buka kembali, tentu melalui forum expose (gelar perkara)," kata Arminsyah.

Selain Fredie Tan, Kejagung juga telah menetapkan tersangka lain yakni mantan direksi Jakpro Ongky Sukasah dan I Gede Ketut Suwena. Ketiganya diduga melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan lahan aset Pemprov DKI seluas 5.000 meter persegi di Pluit, Jakarta Utara, yang dijual tanpa izin dari Gubernur DKI dan DPRD DKI. Lalu ketiganya juga tersangka kasus pelepasan aset milik Pemprov DKI di tempat lain.

SP3 kasus Jakpro sempat dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelapornya adalah anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Henry Yosodiningrat. Henry meminta KPK untuk mengambil alih. "Saya melihat ada yang tidak beres, ada aset lain yang nilainya tidak hanya Rp68 miliar tapi triliunan," kata Henry beberapa waktu lalu.

Henry mengatakan, dia juga telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar Jaksa Agung HM. Prasetyo mengusut tuntas kasus ini. Dia mengaku, Jokowi sudah membalasnya melalui jawaban Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Kemudian juga keluar pernyataan dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang mengatakan perkara ini akan ditindaklanjuti.

Henry juga mengatakan pihaknya pernah memanggil Jaksa Agung untuk mengklarifikasi kasus ini. Prasetyo ketika itu hanya menjawab banyak pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut. Pengacara senior ini menganggap ada hal yang tidak wajar dalam penanganan kasus. Selain itu ia mengklaim ada aset-aset lain di luar perkara ini yang juga hilang dan belum terungkap.

Salah satu ketidakberesan perkara yang dimaksud Henry tercermin dari tidak dilakukannya upaya penggeledahan. Padahal surat geledah di beberapa lokasi, dan hal inilah yang menjadi kecurigaan Henry mengenai ketidakberesan tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengeluarkan surat geledah atas permintaan Basrif Arief, tetapi yang terjadi HM Prasetyo yang menjadi suksesor justru tidak melakukan penggeledahan seperti di kantor PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (WAIP), rumah tersangka yaitu Fredie Tan atau Awi yang juga direktur perusahaan tersebut, serta kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara.

"Sekarang sudah salah satu contoh, minta izin geledah di pengadilan, sudah diizinkan pengadilan tapi tidak dilaksanakan oleh Jaksa Agung Prasetyo. Satgas sudah bekerja dan tersangka sudah dicekal, sudah minta izin geledah, digeledah juga tidak," ujarnya.

INDIKASI KORUPSI JELAS - Rencana kembali disidiknya kasus Jakpro bukan tanpa alasan. Belakangan diketahui, sejumlah aset milik Pemprov DKI banyak dijual ke pihak ketiga. Misalnya kasus pelepasan aset berupa Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial di Grogol Utara, Jakarta Selatan. Dugaan kerugian negara mencapai Rp150 miliar. Kasusnya ditangani Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam kasus Jakpro ditengarai sudah terang ada pidananya. Modus korupsi yang dilakukan dalam kasus Jakpro adalah dengan cara melakukan pelepasan aset berupa tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Pemprov DKI kepada PT AWI. Tanah-tanah yang diduga dialihkan ke PT AWI lalu diterbitkan hak guna bangunan (HGB). Kemudian dialihkan ke pihak ketiga untuk kepentingan bisnis properti. Bisa berupa pusat perbelanjaan, apartemen atau properti lain.

Kasus ini sendiri bermula dari aset milik Pemprov DKI Jakarta yang dilepas ke pihak ketiga yang berada di kawasan elite di Pluit, Jakarta Utara. Luas lahan yang dilepas kurang lebih 5.000 meter persegi. Lahan tersebut dijual dengan harga di bawah harga pasar.

Dari kasus pertama, tim penyidik juga tengah menyelidiki kasus baru. Objek kasusnya juga pelepasan aset di kawasan Pluit dengan lahann yang lebih luas. Modusnya hampir serupa, yakni melepas aset ke pihak ketiga tanpa ada persetujuan DPRD dan Gubernur DKI, saat itu, Fauzi Bowo. "Lahannya lebih banyak, ini hasil kerja Satgassus," kata Turin.

Kejagung menduga pelepasan aset yang dilakukan Jakpro selaku BUMD menyalahi prosedur antara lain tidak melalui izin dari DPRD dan Pemprov DKI. Diduga terdapat kongkalikong antara Jakpro, DPRD, dan Pemprov DKI. Dalam pengembangan kasusnya, penyidik berencana bakal menyita lahan yang dijual. Namun langkah tersebut belum direalisasikan. Hingga kini Kejagung masih menutupi siapa pihak swasta yang membeli aset tersebut.

Jika bukti baru ditemukan, korupsi Jakpro harus dibuka. Dan bukan kali ini saja, kasus SP3 dibuka kembali oleh Kejaksaan Agung. Salah satu kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya kemudian dibuka kembali adalah kasus kasus korupsi ruas jalan Tol Cawang-Tanjungpriok. Kasus ini dibawa ke persidangan dan terbukti.

Dalam kasus ini mantan Direktur Utama PT Marga Nurindo Bakti (MNB) Joko Ramiaji itu sempat dihentikan lewat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada September 1999 silam oleh Kejaksaan Agung. Alasannya, tuduhan kasus korupsi tadi tidak terbukti.

Namun setelah ada bukti-bukti baru yang dikumpulkan berupa penjualan Commercial Paper milik PT MNB, perusahaan konsorsium pembangunan jalan Tol Cawang-Tanjungpriok, kasus ini dibuka kembali. Tujuan penjualan CP itu adalah untuk menambah pembiayaan proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) dan Tol Harbour Road (Cawang-Priok). Sayang, upaya penjualan itu gagal lantaran tak laku di pasaran. Tapi belakangan, penggunaan CP tersebut bukanlah untuk pambangunan tol, melainkan dibagi-bagikan untuk kepentingan pribadi dan perusahaan.

PT MNB mendapat pinnjaman dana dari Bank Nasional Indonesia 1946 sebesar Rp290 miliar dengan jaminan PT Hutama Karya. PT MNB tak pernah mengeluarkan dana sendiri dalam pelaksanaan pembangunan jalan tol tersebut. Padahal mereka mengantongi hak konsesi pengelolaan selama 35 tahun.

"Jika ditemukan bukti baru, ya Kejagung harus berani buka kasus-kasus yang di-SP3 itu," kata Direktur Indonesia Justice Watch Akbar Hidayatullah kepada gresnews.com.

BACA JUGA: