JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus Yayasan Supersemar memasuki babak baru. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memenangkan gugatan Yayasan Supersemar yang mengklaim tidak pernah menerima sumbangan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap Kejaksaan Agung.

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 29 Juni 2016 lalu mengabulkan sebagian gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Yayasan Supersemar terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai pengacara negara yang mewakili Presiden Jokowi Widodo. Dalam perkara Nomor 783/PD.G/2015/PN JKT.SEL diputuskan bahwa Supersemar tidak pernah menerima sumbangan dari bank-bank milik negara dalam bentuk mata uang dolar Amerika seperti yang disebutkan dalam putusan Mahkamah Agung.

Dalam putusan MA, Yayasan Supersemar disebut menerima dana dari sejumlah bank BUMN senilai US$420 juta dan Rp185,9 miliar. Dana tersebut kemudian tidak dialirkan dengan benar, sehingga negara dirugikan US$315 juta dan Rp139,2 miliar. Namun majelis hakim PN Jakarta Selatan memutuskan bahwa selama 1978-1998 Supersemar hanya menerima sumbangan dana dari bank BUMN senilai Rp309 miliar dan atau sampai Rp706,2 miliar tanpa ada sumbangan berbentuk dolar.

"Iya sudah diputus, tanggal 29 Juni lalu. Gugatan Yayasan Supersemar dikabulkan," kata Humas PN Jaksel Made Sutrisna kepada gresnews.com, Selasa (19/8).

Tentu ini menjadi persoalan baru dalam proses eksekusi aset Yayasan Supersemar. Pasalnya, ‎Yayasan Supersemar sudah dikalahkan oleh Mahkamah Agung (MA) dan diwajibkan membayar kerugian ke negara sebesar US$135 juta dan Rp139 miliar atau sebesar Rp44 triliun dengan kurs rupiah saat ini.

Namun saat dilakukan eksekusi atas putusan MA tersebut, Yayasan Supersemar kembali melayangkan gugatan perdata. Kuasa hukum Yayasan Supersemar Bambang Hartono mengatakan jika Yayasan tidak pernah menerima uang jutaan dolar Amerika Serikat dari BUMN. Yang diketahuinya sesuai audit Kejaksaan Agung, Yayasan Supersemar menerima Rp309 miliar periode 1979-1998. Lainnya Yayasan Supersemar tidak menerima dan dana sebesar itu telah dikeluarkan untuk beasiswa hingga 2014.

Kuasa hukum Yayasan Supersemar lainnya, Denny Kailimang menegaskan tidak ada aliran dana selain yang disebutkan dalam putusan PN Jakarta Selatan. Sebab Kejaksaan Agung pernah melakukan audit itu.

"Jadi dia sudah audit tahun 2000, tapi yang diajukan ke MA lain lagi," terang Denny kepada media.

Dia hanya menegaskan bahwa dengan adanya putusan tersebut menunjukan ada kekeliruan dalam hasil audit kejaksaan yang digunakan dalam putusan MA. Namun, dia menyerahkan sepenuhnya sikap dari Kejagung selaku pengacara negara dan PN Jakarta Selatan selaku eksekutor terkait putusan MA.

SIKAP KEJAGUNG - Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi selaku Jaksa Pengacara Negara akan melakukan banding atas putusan PN Jaksel.

"Kita banding. Perkara sudah inkracht kok dibuat putusan lain. Ada apa ini?" kata Bambang di Kejaksaan Agung.

Namun Bambang berharap PN Jaksel segera lakukan sita eksekusi atas putusan MA sebab putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap. Bambang menyerahkan sepenuhnya eksekusi aset Yayasan Supersemar ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Kita tergantung pengadilan. Pengadilan kasih penetapan ya kita bayar, tetap eksekusi. Pengadilan menunda atau nggak ya terserah dia," kata Bambang.

Untuk biaya eksekusi senilai Rp 2,5 miliar telah disiapkan seperti yang dimintakan PN Jaksel. "Jadi soal eksekusi kita serahkan ke mereka, kan mereka eksekutornya, uang eksekusinya sudah diproses," jelasnya.

Sementara Made tak ingin mengaitkan putusan gugatan Yayasan Supersemar dengan rencana eksekusi, apakah akan tetap dilakukan atau menunggu upaya banding yang dilakukan JPN. "Itu kebijakan Ketua PN, tak bisa dikait-kaitkan," kata Made.

Seperti diketahui, Yayasan Supersemar diketahui merupakan yayasan yang bergerak dalam dunia pendidikan. Hingga saat ini Yayasan Supersemar telah memberikan beasiswa kepada ribuan anak-anak di Indonesia. Karenanya pihak Yayasan meminta keadilan atas putusan tersebut karena dana yang dimiliki yayasan disalurkan untuk beasiswa.

Kasus ini berawal ketika HM Soeharto melalui Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1976 tanggal 23 April 1976 jo Keputusan Menteri Keuangan RI no 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Presiden (penggugat) memerintahkan Bank-Bank Milik Pemerintah menyetir 50% dari 5% dari laba bersih ke Yayasan Beasiswa Supersemar. Namun kenyataannya, dana yang diperoleh Supersemar tidak digunakan sesuai tujuannya sehingga mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sebesar US$420 juta dan Rp185 miliar.

Dalam gugatan Kejaksaan Agung, dana yang terkumpul Yayasan Supermar mengalir ke sejumlah perusahaan yang diduga milik keluarga dan kroni Soeharto. Diantaranya, US$125 juta diberikan kepada PT Bank Duta pada tahun 1990 dan kemudian sebesar US$19 juta dan US$275 juta hanya dalam waktu empat hari.

Dana itu juga mengalir PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutn Tanaman Industro sebesar Rp12 miliar pada 1982 hingga 1993. Juga diketahui mengalir ke kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp10 miliar pada 28 Desember 1993.

Presiden melalui Jaksa Pengacara Negara menggugat Yayasan Supersemar. Setelah melalui proses panjang, MA dalam putusan PK pada 8 Juli 2015, Yayasan Supersemar diharuskan membayar US$315 juta dan Rp139,2 miliar kepada negara atau totalnya sebesar Rp4,4 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Putusan diambil oleh ketua majelis Suwardi, Soltoni Mohdally dan Mahdi Sorinda setelah mengabukan PK yang diajuka Negara cq Presiden RI.

BACA JUGA: