JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung mempertanyakan langkah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang belum juga melakukan sita eksekusi aset Yayasan Supersemar sesuai dengan putusan Mahkamah Agung dengan nomor 140 PK/PDT/2015. Putusan Mahkamah Agung (MA) itu menyebutkan Yayasan Supersemar harus membayar US$315 juta dan Rp139,2 miliar atau setara Rp4,4 triliun.

Harusnya eksekusi dilakukan pada akhir Januari 2016. Namun hingga saat ini eksekusi tak kunjung dilakukan. Padahal Jaksa Pengacara Negara (JPN) telah menyerahkan daftar aset yang harus dieksekusi. Jaksa Agung Mohammad Prasetyo meminta publik menanyakan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku eksekutor.

"Jangan tanya saya. Kami sudah menyiapkan data-data dan sudah diserahkan kepada mereka. Tanya kepada mereka (PN Jaksel)," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (12/3).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto menyampaikan, JPN telah mempertanyakan perkembangan eksekusi aset Yayasan Supersemar tersebut. Pada 1 Februari, JPN telah berkirim surat permohonan eksekusi aset yang disertai dengan daftar aset.

Di antaranya berupa 113 rekening (deposito, giro) yang tersimpan di berbagai bank. Kemudian dua bidang tanah seluas 16 ribu meter persegi. 8000 meter persegi di Jakarta dan 8000 meter persegi di Bogor serta 6 unit kendaraan roda 4. Namun aset-aset tersebut belum juga dieksekusi karena dokumen tak lengkap.

Amir meminta pengadilan untuk segera eksekusi. Jika informasi kurang, pengadilan bisa meminta kembali informasi ke JPN. "Mestinya kan kalo memang belum terperinci bisa dikirim surat, perlu ini dan ini, jadi secara resmi JPN belum memperoleh informasi tersebut," kata Amir.

Sementara Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Made Sutrisna mengaku eksekusi aset Yayasan Supersemar memang belum dilakukan. Saat ini sita eksekusi masih menunggu persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"(Sekarang) masih di meja ketua pengadilan. Ketua pengadilan kebetulan sibuk banget," kata Made dikonfirmasi media, Jumat (12/3).

Made menegaskan sita eksekusi akan dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi.

MINTA KEADILAN - Kuasa hukum Yayasan Supersemar Bambang Hartono menyampaikan jika Yayasan tidak memiliki uang sebanyak dalam gugatan. Malah Bambang mempertanyakan besaran angka yang harus dibayarkan kepada Negara. Sebab menurut Bambang Yayasan tidak pernah menerima uang jutaan dolar Amerika Serikat dari Pemerintah.

Yang diketahuinya sesuai audit Kejaksaan Agung, Yayasan Supersemar menerima 309 miliar periode 1979-1998. Lainnya Yayasan Supersemar tidak menerima. Dan dana sebesar itu telah dikeluarkan untuk beasiswa hingga 2014.

"Kita hargai putusan itu, akan tetapi kita minta keadilan," kata Bambang.

Seperti diketahui, dalam putusan PK pada 8 Juli 2015 Yayasan Supersemar diharuskan membayar US$ 315 juta dan Rp139,2 miliar kepada negara atau totalnya sebesar Rp4,4 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Putusan diambil oleh ketua majelis Suwardi, Soltoni Mohdally dan Mahdi Sorinda setelah mengabukan PK yang diajukan negara cq Presiden RI.

Kasus ini berawal ketika HM Soeharto melalui Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1976 tanggal 23 April 1976 jo Keputusan Menteri Keuangan RI No 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Presiden (penggugat) memerintahkan Bank-Bank Milik Pemerintah menyetir 50% dari 5% dari laba bersih ke Yayasan Beasiswa Supersemar. Namun kenyataannya, dana yang diperoleh Supersemar tidak digunakan sesuai tujuannya sehingga mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sebesar US$420 juta dan Rp185 miliar.

Dalam gugatan Kejaksaan Agung, dana yang terkumpul Yayasan Supermar mengalir ke sejumlah perusahaan yang diduga milik keluarga dan kroni Soeharto. Diantaranya, US$125 juta diberikan kepada PT Bank Duta pada tahun 1990 dan kemudian sebesar US$19 juta dan US$275 juta hanya dalam waktu empat hari.

Dana itu juga mengalir PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutn Tanaman Industro sebesar Rp12 miliar pada 1982 hingga 1993. Juga diketahui mengalir ke kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp10 miliar pada 28 Desember 1993.

Dengan putusan MA itu, Yayasan Supersemar akan menagih dana yang diterima lembaga tersebut untuk dibayarkan ke negara. Sebab yang tersebut melanggar hukum adalah aliran dana ke pihak ketiga bukan aset milik Yayasan Supersemar.

"Aset Supersemar tidak bisa disita karena dalam gugatannya itu, uang perbuatan melanggar hukum itu uang yg dipinjam-pinjamkan kepada beberapa perusahaan. Jadi uang yang ada di perusahaan yang minjem itu kami tagih dulu, baru bayar putusan. Dalam pertimbangan hukumnya begitu," kata Bambang.

BACA JUGA: