JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tak kunjung melakukan eksekusi sita aset Yayasan Supersemar kendati telah lewat sembilan bulan dari tenggat waktu eksekusi yang diberikan PN Jaksel setelah melalui sidang teguran (Aanmaning). Padahal rincian aset yang harus disita sudah ada di tangan juru sita PN Jaksel.

Kendalanya untuk eksekusi dibutuhkan dana yang tak kecil. PN Jaksel meminta dana ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk proses eksekusi sebesar Rp2,5 miliar. Kejaksaan rupanya tak bisa menyiapkan dana sebesar yang diminta juru sita.

"Dibutuhkan biaya sebesar Rp2,5 miliar untuk mengeksekusi sita aset itu, tapi tak ada dana yang dipegang Jamdatun. Sudah kami ajukan untuk ada penambahan dana yang dimasukkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi di Kejaksaan Agung, Senin (30/5).

Bambang mengatakan ketiadaan biaya menjadi penghalang bagi lembaga adhyaksa untuk menyelesaikan eksekusi sita aset Supersemar. Juru sita yang dibentuk PN Jaksel telah memberikan seluruh rincian aset Supersemar yang siap dieksekusi saat ini.

Untuk mempercepat dana tersebut, Bambang tengah mengupayakan untuk meminta biaya langsung ke pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Permintaan biaya langsung ke pemerintah diperbolehkan karena Kejagung memiliki posisi sebagai jaksa pengacara negara (JPN) dalam perkara Supersemar.

Hingga saat ini Kejagung telah mencatat 113 rekening giro dan deposito atas nama Supersemar yang siap dieksekusi. Selain itu, ada dua bidang tanah/bangunan serta lima kendaraan roda empat yang juga siap disita. Walaupun data aset sudah dikantongi, namun penyitaan belum dapat dilakukan hingga pemenuhan biaya keperluan sita dilakukan Kejagung.

Bambang berkata, juru sita pada PN Jakarta Selatan saat ini tinggal menunggu pemenuhan biaya sebelum melakukan eksekusi atas aset Supersemar. "Biaya tidak bisa dibayar sesudah sita dilakukan. (Biayanya) harus dibayar dulu baru penyitaan berjalan," katanya.

Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna membenarkan adanya biaya yang dibutuhkan untuk menyita aset milik Supersemar. Menurut Made, biaya untuk melakukan penyitaan pada perkara perdata wajar adanya.

"Memang dalam setiap penyitaan itu ada biayanya. Sepanjang yang saya tahu, misalnya, untuk penyitaan tanah itu tergantung luasnya, jaraknya dengan lokasi pengadilan. Kemudian ada berapa titik yang harus dilakukan penyitaan? Ada biaya yang dibutuhkan juru sita untuk itu," kata Made dikonfirmasi media, Senin (30/5).

TERUS DILACAK - Meskipun hingga saat ini aset Yayasan Supersemar belum dilakukan eksekusi sita, jaksa masih terus melakukan pelacakan aset Yayasan Supersemar lainnya hingga jumlahnya mencapai nominal denda yang harus dibayar lembaga tersebut sebesar Rp4,4 triliun. "Nanti kami akan terus cari untuk memenuhi jumlah itu. Kami berharap sih bisa mencapai jumlah itu ya. Kalau sekarang kami belum tahu (estimasi aset Supersemar) berapa. Nanti kami minta bantuan auditor lah untuk lebih pasti angka-angkanya," katanya.

Sita eksekusi aset Yayasan Supersemar sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/PDT/2015 hingga kini tidak jelas. Putusan MA itu menyebutkan Yayasan Supersemar harus membayar US$315 juta dan Rp139,2 miliar atau setara Rp4,4 triliun.

Yayasan Supersemar tak bisa mengelak putusan MA yang diwajibkan membayar Rp4,4 triliun kepada negara. Pihak yayasan menyampaikan akan taat hukum. Hanya saja kuasa hukum Yayasan Supersemar Bambang Hartono mengatakan Yayasan tidak memiliki uang sebanyak dalam gugatan. Malah Bambang mempertanyakan besaran angka yang harus dibayarkan kepada Negara.

Menurut Bambang, Yayasan tidak pernah menerima uang jutaan dolar Amerika Serikat dari Pemerintah. Bila sesuai audit Kejaksaan Agung, Yayasan Supersemar menerima US$309 miliar periode 1979-1998. Lainnya Yayasan Supersemar tidak menerima dan dana sebesar itu telah dikeluarkan untuk beasiswa hingga 2014. "Kami hargai putusan itu, akan tetapi kami minta keadilan," kata Bambang.

Yayasan Supersemar diketahui merupakan yayasan yang bergerak dalam dunia pendidikan. Hingga saat ini Yayasan Supersemar telah memberikan beasiswa kepada ribuan anak-anak di Indonesia. Karenanya pihak Yayasan meminta keadilan atas putusan tersebut karena dana yang dimiliki yayasan disalurkan untuk beasiswa.

Kasus ini berawal ketika HM Soeharto melalui Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1976 tanggal 23 April 1976 jo Keputusan Menteri Keuangan RI no 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Presiden (penggugat) memerintahkan Bank-Bank Milik Pemerintah menyetir 50% dari 5% dari laba bersih ke Yayasan Beasiswa Supersemar. Namun kenyataannya, dana yang diperoleh Supersemar tidak digunakan sesuai tujuannya sehingga mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sebesar US$420 juta dan Rp185 miliar.

Dalam gugatan Kejaksaan Agung, dana yang terkumpul Yayasan Supermar mengalir ke sejumlah perusahaan yang diduga milik keluarga dan kroni Soeharto. Diantaranya, US$125 juta diberikan kepada PT Bank Duta pada 1990 dan kemudian sebesar US$19 juta dan US$275 juta hanya dalam waktu empat hari.

Dana itu juga mengalir PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutn Tanaman Industro sebesar Rp12 miliar pada 1982 hingga 1993. Juga diketahui mengalir ke kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp10 miliar pada 28 Desember 1993.

Presiden melalui Jaksa Pengacara Negara menggugat Yayasan Supersemar. Setelah melalui proses panjang, MA dalam putusan PK pada 8 Juli 2015, Yayasan Supersemar diharuskan membayar US$315 juta dan Rp139,2 miliar kepada negara atau totalnya sebesar Rp4,4 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Putusan diambil oleh ketua majelis Suwardi, Soltoni Mohdally dan Mahdi Sorinda setelah mengabulkan PK yang diajukan Negara cq Presiden RI.

BACA JUGA: