JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap Kementerian Kesehatan yang tidak mau membuka data terkait rumah sakit mana yang menggunakan vaksin palsu menuai gugatan. Gugatan tersebut dilayangkan warga Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (13/7).

Dalam gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 376/PDT.G/2016/JKT.PST. itu, duduk sebagai tergugat adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai tergugat I dan Kementerian Kesehatan sebagai tergugat II. Sementara pihak penggugat adalah Zentoni, warga Bojong Gede, yang juga berprofesi sebagai pengacara.

Dalam gugatannya, Zentoni meminta agar majelis hakim menghukum para tergugat untuk bersama-sama mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh tergugat I, termasuk namun tidak terbatas pada nama-nama 37 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang mendapatkan vaksin dari sumber yang tidak resmi secara transparan dan detail.

"Tergugat I selaku institusi pemerintah bidang pengawasan obat dan makanan telah melanggar asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati dalam penelitiannya yaitu dengan tidak memberikan hasil yang transparan mengenai nama 37 Fasyankes yang mendapatkan vaksin dari sumber yang tidak resmi tersebut," ujar Zentoni dalam berkas gugatannya.

BPOM sendiri seperti dikutip dari website resminya pada 12 Juli 2016 pukul 16.08 WIB menegaskan telah melakukan penelusuran di seluruh wilayah dan terdapat 37 Fasyankes yang berada di 9 Provinsi yang mendapatkan vaksin dari sumber yang tidak resmi dengan jumlah sampel sebanyak 39 jenis. BPOM hanya mempublikasikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian akan tetapi mengenai nama 37 Fasyankes tersebut tidak diumumkan.

Akibat tidak diumumkan nama-nama rumah sakit, Zentoni mengalami kerugian berupa rasa takut dan khawatir akan akibat yang akan ditimbulkan dari vaksin palsu yang diberikan kepada anak-anaknya. Sementara Kemenkes dinilai telah abai karena tidak mencabut izin ke-37 fasyankes yang menggunakan vaksin palsu itu.

"Menghukum Tergugat II untuk segera mencabut izin-izin 37 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang mendapatkan vaksin dari sumber yang tidak resmi tersebut," kata Zentoni dalam gugatannya kepada Kemenkes.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (13/7), memang tetap menolak membeberkan nama-nama rumah sakit yang diduga mengedarkan dan menggunakan vaksin palsu. Padahal dalam rapat raker sebelumnya (27/6), Komisi IX DPR RI telah memberikan tenggat waktu dua minggu untuk Menkes membeberkan hasil investigasinya.

Bungkamnya Menkes dalam membeberkan investigasi membuat Komisi IX DPR RI menunda rapat kerja, hingga informasi tersebut dapat dibeberkan. "Kami telah memperingatkan dari dua minggu yang lalu agar membuka nama-nama rumah sakit yang berlangganan vaksin palsu," ujar Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf.

Nila menjelaskan, alasan penolakan pemberian informasi detail vaksin palsu ini karena masih dalam proses penyelidikan untuk mengungkap pemain utama di belakang peredarannya. Sebelumnya Menkes sempat memberikan laporan bahwa ada sekitar 37 Fasilitas Kesehatan yang terindikasi menggunakan vaksin palsu.

Satgas Pemberantasan Vaksin Palsu juga menyatakan telah mengantongi 14 nama rumah sakit yang berlangganan vaksin palsu. Selain rumah sakit, indikasi peredaran vaksin palsu terdapat pada dua klinik, dua apotek dan satu toko obat yang tersebar di wilayah Jawa dan Sumatera.

Dede dalam hal ini menyatakan sangat menyayangkan tidak dibukanya informasi rumah sakit yang mempergunakan vaksin palsu. "Masyarakat butuh kepastian dari pemerintah bahwa rumah sakit yang mereka pergunakan selama ini aman," katanya.

Selain itu, ia menyatakan informasi ini harus dibuka kepada publik agar masyarakat mengetahui bahwa pemerintah telah bekerja untuk memberantas vaksin palsu. Rapat pada esok hari yang rencananya juga mengundang Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akan membahas detail sanksi yang akan diberikan terhadap rumah sakit yang berlangganan vaksin palsu. "Perlu dijelaskan juga mekanisme pemberian vaksin ulang, bagaimana penggunaannya?" tanya Dede.

Dede juga mempertanyakan efektivitas pemberian vaksin ulang, sebab diketahui pemberian vaksin biasanya diberikan kepada anak mulai dari usia 0 sampai dengan 9 bulan. Terlebih, identifikasi anak anak yang harus diberikan vaksin ulang agaknya terlalu menyulitkan.

WAJIB DIBUKA - Sebelumnya Mabes Polri juga telah menyatakan terdapat 197 anak yang terindikasi terpapar vaksin palsu akan divaksin ulang secara gratis. Kepolisian juga sudah menetapkan 18 orang sebagai tersangka. Menilik dampaknya, Dede menegaskan, Kemenkes harus membuka identitas rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu tersebut.

"Kami sadar, penyembunyian identitas 14 rumah sakit itu untuk penyelidikan dalam upaya menangkap pelaku yang lebih besar, tapi masyarakat sebagai pengguna jasa rumah sakit juga menunggu kepastian," kata Dede.

Anggota Komisi IX lainnya yang juga mantan Menkes periode Presiden SBY, Ribka Tjiptaning, berpendapat sama. Dia bahkan mencurigai terdapat sindikat yang dilindungi.

Untuk diketahui, Komisi IX juga telah membentuk Satgas Penanganan Vaksin Palsu untuk mempercepat investigasi kasus agar tak terjadi kegaduhan akibat dari peredaran vaksi palsu. Distribusi vaksin palsu sendiri tersebar di sekitar Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Semarang, Banten, Medan, Aceh, dan Padang. "Jadi Bu Menkes harus buka identitas 14 rumah sakit ini," ujar Ribka.

Sementara komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda menyatakan akan mendukung tindakan tegas apapun yang akan dilakukan pemerintah. Terkait sikap Kemenkes yang belum mau membuka informasi rumah sakit pengguna vaksin palsu, Erlinda mengatakan, harus ada jalan tengah agar masyarakat tidak dirugikan.

"Kalau tidak dibuka secara umum Kemenkes harus membuka data tersebut paling tidak secara terbatas, ini untuk melihat berapa jumlah anak yang terkena vaksin palsu," ungkap Erlinda kepada gresnews.com, Kamis (14/7).

Setelahnya, kata dia, pemerintah harus menjemput bola untuk memberikan vaksin ulang agar masyarakat yang menjadi korban dapat mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban. Dan negara pun hadir secara bertanggung jawab untuk memperbaiki kelalaian tersebut. "Paling tidak masyarakat tidak menjadi resah," ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah juga harus melihat strata masyarakat secara bijak terkait kasus vaksin palsu ini. Jika para korban dalam arti kata masyarakat ekonomi sederhana, maka harus ada pemberian kompensasi selain vaksin ulang gratis.

Misalnya, kata Erlinda, paling tidak difasilitasi cek kesehatan secara gratis terlepas korban tersebut punya BPJS atau tidak. "Yuk sama-sama mengedepankan apa yang terpenting untuk anak," tutupnya.

JANJI BERI SANKSI - Meski tak membuka data rumah sakit yang diduga menggunakan vaksin palsu, Menkes Nila Moeloek tetap berjanji akan memberi sanksi kepada oknum di RS yang sengaja membeli vaksin palsu. "Kalau RS apakah itu manajemennya atau sampai direkturnya acc untuk membeli, atau oknum. Ini yang kami harus lihat. Jadi kalau oknum apakah kita akan menutup RS ini yang kami lihat. Kalau betul direkturnya meng-acc terlibat, itu berarti dia akan kena hukuman," kata Nila.

Nila juga akan terus berkoordinasi terkait kasus ini dengan Bareskrim Polri. Dia belum bisa memastikan kapan daftar nama RS yang terdapat vaksin palsu akan dibuka.

"Kita lihat dari Bareskrim, karena dia penyelidikan. Saya tetap menganggap kita selalu praduga tidak bersalah. Kalau tidak dibuktikan sudah memang diserahkan jadi Bareskrim tidak perlukan pendataan ini agar jaringan itu bisa terbuka," ujar Nila.

Dia juga berjanji untuk terus menyelidiki RS mana saja yang pernah terdistribusi vaksin palsu. Dia tak terima dengan adanya kasus yang sudah ada sejak 13 tahun lalu ini terulang kembali.

Selain itu, Nila juga menjanjikan program vaksinasi ulang. "Kami tengah mencari data penerima vaksin palsu terhadap anak-anak untuk dapat dilakukan pemeriksaan kondisi anak dan penjadwalan vaksinasi ulang sesuai pedoman imunisasi," imbuh Menkes. (dtc)

BACA JUGA: