JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus peredaran vaksin palsu yang berlangsung selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi,  membuat pengawasan peredaran obat dan payung hukumnya dipertanyakan.  Komisi IX DPR RI yang membawahi bidang ini pun menyatakan perlu ada revisi terhadap peraturan yang ada, terkait pengawasan obat.

Seperti diketahui sebanyak 14 rumah sakit telah menjadi tempat peredaran vaksin palsu. Hal ini menjadi bukti  ada kelalaian pemerintah dalam pengawasan obat-obatan ke masyarakat. Beberapa pihak bahkan menuding Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak bekerja maksimal.

Apalagi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 35 Tahun 2014, menyatakan pembinaan dan pengawasan terhadap apotek telah dilimpahkan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga halnya dengan Permenkes  Nomor 58 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan kefarmasian di rumah sakit dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Pelimpahan kewenangan ini juga dituding menjadi faktor penyebab lemahnya pengawasan obat.

"Fasilitas kesehatan dapat memasok obat-obatannya sendiri. Ini yang perlu dilihat revisinya," kata Ketua Komisi IX Dede Yusuf di Gedung DPR RI, Jumat (15/7).

Adanya peraturan tersebut,  berakibat BPOM tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengawasi apotek. Sehingga revisi pada peraturan menteri yang memonitoring kegiatan-kegiatan obat dan vaksin pada penyelenggara fasilitas kesehatan harus direview kembali.

"Yang menjadi pertanyaan mengapa pengawasannya tidak bisa maksimal? Bukan mengapa bisa berulang," kata Dede.

Baginya, dari permen tersebut, dapat diartikan BPOM memang tidak bertugas memeriksa obat-obatan yang berada di apotek dan RS, melainkan memeriksa di sisi hilir seperti di pasar bebas. Untuk itu, Dede menyatakan perlu ada pengawasan yang diperketat dari RS melalui apoteker.

"Kepala Dinas Kesehatan harus berfungsi sebagai pembina, serta pembinaan dari Dirjen Kefarmasian," usulnya.

Hal ini menurutnya, untuk menetralisir kesalahpahaman yang beredar di publik. Dimana seolah menyudutkan BPOM dalam kasus peredaran vaksin palsu ini. Sebab BPOM hanya melakukan pengawasan terhadap obat yang beredar di publik.

"Bukan obat yang beredar di rumah sakit! Jadi Komisi IX meminta sejumlah Permenkes direvisi, agar BPOM dapat dilibatkan dalam pemeriksaan obat-obatan di rumah sakit," katanya.

Dede menegaskan revisi ini perlu dilakukan agar tak ada kejadian serupa terulang kembali ke depan. Serta meminimalisir kealpaan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dalam mengawasi peredaran obat.

"BPOM memang institusi yang kerjanya melakukan uji sampling, atau uji lapangan terhadap obat-obatan yang beredar, jadi kan bisa di-back up BPOM," katanya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Barat, Waras Wasisto. Menurutnya  dapil pemilihannya, yakni Bekasi, merupakan daerah paling banyak diindikasikan sebagai tempat peredaran vaksin palsu. Ia bahkan menduga, jaringan internal rumah sakit terindikasi terlibat dalam peredaran.

"Peredaran vaksin palsu di 14 rumah sakit merupakan salah satu bukti lemahnya sistem pengamanan dan pengelolaan kesehatan," katanya dalam pesan yang diterima gresnews.com, Jumat (15/7).

Kecurigaan ini bermula dari peredaran yang selama 13 tahun tidak tercium oleh Kemenkes maupun aparat penegak hukum. Bahkan, ia menduga vaksin ini sudah beredar luas, bukan hanya di Bekasi saja. Untuk itu, ia mendesak agar Kementerian Kesehatan dan Kepolisian juga mengusut keterlibatan oknum-oknum rumah sakit yang selama ini bekerjasama dengan para pembuat dan pengedar vaksin palsu.

Partainya,  PDIP juga telah menyatakan siap bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan investigasi peredaran vaksin palsu. "Tidak cukup Menteri Kesehatan hanya mengumumkan data 14 rumah sakit tersebut. Tapi jauh lebih penting adalah mengusutnya hingga tuntas," kata Waras.

VAKSIN ULANG - Menindaklanjuti kasus beredarnya vaksin palsu Kementerian Kesehatan menyatakan akan melakukan pendataan ulang pasien yang telah divaksin  dengan vaksin palsu. Kemenkes memberikan vaksinasi ulang kepada anak-anak yang terdata mendapat vaksin palsu.  

Demikian siaran pers yang disampaikan Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, di Jakarta, Kamis (14/7) siang.

Keputusan itu disampaikan Menteri Kesehatan  Nila F. Moloek, di kantor Kemenkes, Jakarta, setelah melakukan  rapat Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu yang dipimpinnya. Dari informasi yang diperoleh Badan POM setelah melakukan penelusuran di seluruh wilayah, terdapat  37 fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di 9 Provinsi telah memperoleh pasokan vaksin dari sumber yang tidak resmi dengan jumlah sampel sebanyak 39 jenis.

"Badan POM sudah menguji sampel vaksin tersebut dan hasil menunjukkan dari 39 sampel ditemukan 4 sampel yang isinya tidak sesuai atau palsu, dan 1 sampel diduga palsu karena label tidak sesuai," kutip siaran pers setkab.go.id.

Selain itu, dari uji barang sitaan Bareskrim Polri sejumlah 15 produk, terdapat 5 produk yang terbukti kandungannya palsu, 1 produk vaksin yang kadarnya tidak sesuai, dan 1 produk labelnya tidak sesuai.

BACA JUGA: