JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejahatan obat dan makanan terlarang atau ilegal kian berkembang menggunakan modus baru. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memasukkan kejahatan ini sebagai perkara penting. Pemerintah melalui BPOM, Kepolisian dan Kejaksaan memberikan peringatan keras kepada pelaku kejahatan ini dengan cara memberikan hukuman maksimal.

Seperti baru-baru ini dalam kasus pembuatan dan pendistribusian vaksin palsu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bekasi menuntut hukuman 12 tahun penjara kepada terdakwa vaksin palsu. Bahka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan sejumlah terdakwa yang sama bakal segera disidang setelah JPU menyatakan lengkap (P21) kepada penyidik Polri.

Jaksa Agung M. Prasetyo menyampaikan kejahatan obat dan makanan terlarang adalah kejahatan serius. Pihaknya pun mengaku telah menunjukkan sikap serius untuk membuat jera pelaku kejahatan ini.

"Tuntutan maksimal bagi para pelaku kejahatan pembuat dan pengedar vaksin palsu yang kita ajukan baru-baru ini, merupakan peringatan dan pesan kepada sindikat kejahatan tersebut agar tidak lagi main-main dan berspekulasi melanjutkan praktek kejahatan dan perbuatannya," kata Prasetyo saat melakukan video conference Sosialisasi isi nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan Badan POM di Kantor Kejaksaan Agung, Selasa (14/3)

Prasetyo meminta Jaksa Penuntut Umum di kejaksaan untuk konsisten dan tidak mengenal kompromi kepada para pelaku kejahatan di bidang obat dan makanan. Diharapkan akan memberikan efek jera (deterrence effect) untuk mencegah oranglain melakukan praktek kejahatan yang sama.

Pada Senin (6/3) Jaksa penuntut umum (JPU) telah membacakan tuntutan terhadap para terdakwa pembuat dan pengedar vaksi palsu. Dalam tuntutan JPU para terdakwa dituntut dari 5 hingga 12 tahun penjara.

Terdakwa Seno dituntut 9 tahun penjara dengan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. Terdakwa Manogu Elly Novita dituntut 10 tahun dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Terdakwa Irnawati dituntut 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. Terdakwa Thamrin alias Erwin dituntut 9 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider kurungan 3 bulan. Kemudian, terdakwa Kartawinata alias Ryan dituntut 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Terdakwa lainnya, yaitu H. Syafrizal dan Iin Sulastri dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. Terdakwa Nuraini dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider kurungan 3 bulan. Kemudian, terdakwa Sugiyati alias Ugik dituntut hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp50 juta, subsider 2 bulan kurungan.

Berikutnya lagi ada terdakwa Nina Farida yang dituntut 10 tahun penjara, terdakwa Suparji dituntut 10 tahun penjara, terdakwa Agus Priayanto dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 10 bulan kurungan. Kemudian, terdakwa M. Syahrul Munir dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp1 Miliar subsider 10 bulan kurungan. Kemudian ada terdakwa Sutarman bin Purwanto yang dituntut 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 10 bulan kurungan.

Lalu Pasutri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp300 juta, terdakwa Mirza dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Terakhir, terdakwa Sutanto bin Muh yang dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Bekasi, Andi Adikawira mengatakan, terdakwa Rita dan Hidayat dituntut 12 tahun, yang merupakan tuntutan tertinggi diantara terdakwa karena dianggap dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. Keduanya dinilai telah melanggar dakwaan primer Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

KEJAHATAN PENTING - Data BPOM menyebutkan, kerugian ekonomi dari peredaran Obat dan Makanan ilegal di Indonesia mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Jika pada 2015 nilai ekonomi peredaran obat terlarang mencapai Rp222,520 miliar, pada 2016 turun menjadi Rp209,615 miliar.

Hanya saja menurunnya tingkat nilai ekonomi peredaran obat dan makan ilegal ini tak berarti kejahatan di bidang Obat dan Makanan ikut turun. Hasil analisis Badan POM justru menunjukkan bahwa kejahatan di bidang Obat dan Makanan semakin berkembang menggunakan modus baru yang mampu menyasar berbagai aspek, sehingga menciptakan dampak negatif secara masif baik langsung maupun jangka panjang terhadap aspek kesehatan, ekonomi, hingga sosial masyarakat.

Kepala BPOM Penny K. Lukito menyampaikan, potensi ancaman kejahatan Obat dan Makanan tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan, tetapi juga berdampak terhadap ekonomi negara akibat hilangnya pemasukan pajak dan bea masuk serta menekan daya saing dunia usaha. Lebih jauh, potensi ini dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk ketahanan bangsa bila tidak dilakukan langkah antisipasi.

Untuk itu, BPOM terus meningkatkan sinergi dengan semua pemangku kepentingan lainnya, utamanya dengan aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung. Setelah menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan Kepolisian RI pada tahun 2016 lalu, tahun ini Badan POM menandatangani Nota Kesepakatan dengan Kejaksaan RI terkait Kerja Sama Dan Koordinasi Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi.

"Dengan adanya kesepakatan bersama ini, penanganan tindak pidana Obat dan Makanan dikategorikan sebagai Perkara Penting (PK-Ting)", kata Penny K. Lukito dalam acara yang sama.

Oleh karenanya dibutuhkan upaya dan kerja lebih giat dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM dalam mengungkap modus operandi, motif kejahatan, luas jaringan, serta aktor intelektual kejahatan ini dengan dukungan penuh aparat Kejaksaan di seluruh Indonesia. Kepala BPOM juga mengutarakan optimismenya, bahwa dengan adanya kesepakatan bersama ini, segala macam permasalahan terkait penegakan hukum bidang Obat dan Makanan baik yang bersifat teknis maupun non-teknis hendaknya dapat diselesaikan dengan baik.

Terlebih dengan dukungan penuh dari Kejaksaan Agung untuk memperkuat penegakan hukum di bidang pelanggaran Obat dan Makanan. Selama tahun 2015 BPOM mengaku telah menangani 211 perkara tindak pidana pelanggaran di bidang Obat dan Makanan. Dari jumlah itu, 18 kasus diantaranya telah mendapat putusan pengadilan.

Putusan tertinggi adalah pidana penjara 2,5 tahun bagi pelaku yang mengedarkan kosmetik tanpa izin edar/ilegal di Serang, serta penjara 4 bulan 15 hari dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan bagi pelaku yang mengedarkan obat tradisional (OT) ilegal di Makassar. Sementara tahun 2016, BPOM menangani 205 perkara tindak pidana pelanggaran di bidang Obat dan Makanan, dimana 29 diantaranya telah mendapat putusan pengadilan.

BACA JUGA: