JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri tengah menelusuri keterlibatan dokter lain dalam kasus penjualan vaksin palsu di sejumlah rumah sakit. Keterangan yang diperoleh pihak kepolisian dari dokter Indra Sugiarno Sp.A yang telah ditetapkan sebagai tersangka, diyakini akan mempermudah penyidik untuk membuka keterlibatan dokter dan suster lain.

Dari 23 tersangka, memang ada tiga orang yang berprofesi sebagai dokter termasuk dr Indra. Dua lainnya adalah dr H (praktik di RSIA Sayang Bunda) dan dr AR (dokter praktik di Palmerah).

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Pol Agung Setya mengungkapkan, data dokter dan suster yang diduga terlibat telah ada di tangan penyidik. Itu berdasarkan sejumlah keterangan tersangka. Namun penyidik tak akan buru-buru menyeret keterlibatan dokter dan suster lain.

"Kita menganut asas praduga tak bersalah kepada siapa saja, yang harus kita temukan fakta dan buktinya," kata Agung dalam keterangannya di Mabes Polri usai mendampingi Presiden Joko Widodo meninjau vaksin ulang bayi di Ciracas, Jakarta Timur, Senin (18/7).

Kata Agung, informasi keterlibatan dokter lain masih didalami penyidik. Keterlibatan dokter lain tengah diklarifikasi dengan data-data lain. Sejumlah dokter hari ini telah diperiksa oleh penyidik di bareskrim sebagai saksi. Sementara, Tim Satgas Vaksin Palsu juga akan bergerak ke sejumlah titik untuk mendalami kasus vaksin palsu ini.

Penyidik sendiri tengah rampungkan berkas ke-23 tersangka kasus vaksin palsu. "Kita akan segera tuntaskan, beberapa sudah bisa diselesaikan minggu ini," kata Agung.

Terkait adanya dugaan keterlibatan dokter lain dalam kasus ini, kuasa hukum dr. Indra, Fahmi Rajab memastikan hal tersebut. Menurutnya, dr. Indra mendapatkan vaksin palsu dari sales berinisial S yang juga menawarkan vaksin palsu tersebut kepada dokter spesialis anak lainnya di RS Harapan Bunda.

"Ya hampir semua karena sales ketemu dokter, mereka juga gunakan, cuma masalahnya kenapa dokter Indra saja," kata Fahmi di Bareskrim Polri, Senin (18/7).

Fahmi menegaskan, kliennya juga korban. Sebab dr Indra tidak mengetahui vaksin yang digunakan itu adalah vaksin palsu. Bahkan dr. Indra juga memberikan vaksin tersebut ke cucunya dan sanak kerabatnya. Dr. Indra juga tidak melakukan klarifikasi terkait masalah itu.

Terseretnya dr. Indra berawal saat RS tempatnya praktik kehabisan vaksin pada Januari 2016. Ada sejumlah pasien yang mencari vaksin, namun di RS kosong. Saat itu dr. Indra berinisiatif mencari sales dari perusahaan yang biasa distribusi obat. Dan diketahui vaksin yang disuplai bukan dari perusahaan tapi dari sales pribadi.

Dan dr Indra mengaku telah menanyakan keaslian vaksin tersebut. Dan S menjawab vaksinnya asli. "Dokter ini punya kewenangan kalau ada pasien cari obat, dokter perlu membantu," kata Fahmi soal inisiatif dr Indra menghubungi tersangka S.

Karenanya Fahmi meyakini dr Indra tak terlibat. Hal senada juga ditegaskan kakak kandung dr Indra, Darmayanti. Menurutnya, adiknya hanya korban dari produsen dan distributor vaksin palsu. Sebab dr Indra juga memberikan vaksin ke cucunya. "Bagaimana mungkin seorang kakek akan menyuntikkan racun kepada cucunya, darah dagingnya sendiri," kata Darmayanti.

UNGKAP AKTOR INTELEKTUAL - Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Ilham Oetama Marsis menyatakan, terhadap dokter yang terlibat langsung peredaran vaksin palsu IDI tidak akan memberikan pendampingan hukum. IDI sendiri mendukung penegakan hukum oleh Bareskrim Polri dalam kasus vaksin palsu.

"Untuk tindak pidana umum, IDI tak akan memberikan pendampingan (hukum) kepada anggota. Bantuan hukum menjadi kewajiban institusi dimana yang bersangkutan bekerja," kata Ilham dalam keterangan resminya, Senin (18/7).

Ilham menegaskan, jika yang bersangkutan memiliki praktik mandiri atau perorangan, maka tanggung jawab dilakukan oleh dokter itu sendiri. Dia menegaskan dokter yang berada pada rumah sakit atau klinik spesialis, seharusnya tidak terlibat dalam proses pengadaan obat maupun alat kesehatan lainnya.

Namun demikian, IDI menyatakan dugaan keterlibatan dokter itu juga harus dipertanyakan apakah memang dilakukan secara sengaja atau justru menjadi korban juga. Karena itu, IDI meminta Bareskrim melihat kasus tersebut secara menyeluruh demi kepercayaan masyarakat pada dokter-dokter Indonesia.

Bareskrim, kata Ilham, harus mencari aktor intelektual dalam kasus ini. "Mari kita bersama-sama mencari aktornya. Ada benang tipis hal ini dengan masalah kesehatan ke depan. Jangan hanya yang ditangkap dokter-dokter, bidan-bidan saja. Harus dicari siapa aktornya," tandasnya.

Ilham juga menyebut pengawasan pengadaan vaksin oleh otoritas yang berwenang selama ini masih lemah. "Kita ingin ada proses-proses evaluasi. Ingin agar Bareskrim melihat secara menyeluruh kasus ini," tuturnya.

Menurut Ilham, pihaknya bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan Bareskrim Polri dalam kasus vaksin palsu. Jika ada anggota IDI yang terbukti terlibat dalam kasus tersebut, maka Ilham akan memberikan sanksi. Meski begitu, kata Ilham, pihaknya menegaskan, dokter, tenaga kesehatan lain atau fasilitas kesehatan adalah korban dari oknum pemalsu vaksin.

"Karena itu, IDI meminta kepada pemerintah untuk tidak membiarkan dokter, tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan tanpa ada jalan keluar yang ditetapkan pemerintah," ujarnya.

IDI yang membuat pernyataan bersama dengan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) dan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) juga mendesak Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk bertanggung jawab atas terjadinya implikasi negatif yang terjadi akibat tidak baiknya protokol penanganan vaksin palsu.

IDI juga meminta pemerintah secepatnya memulihkan situasi tidak kondusif ini dengan membuat protokol yang baik. "Sesegera mungkin menyampaikan kepada publik jalan keluar terhadap anak-anak yang telah terbukti mendapat vaksin palsu," tegas Ilham. (dtc)

BACA JUGA: