JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat menilai, peredaran vaksin palsu sudah sangat meresahkan masyarakat. Karena itu, DPR akan membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, pembentukan pansus sangat penting karena diyakini ada mafia besar yang bermain di belakang kasus peredaran vaksin palsu ini.

Meski begitu, menurut Saleh, pansus baru akan dibentuk apabila pemerintah tidak dapat melakukan investigasi secara menyeluruh terkait dengan jaringan, distribusi dan produksi vaksin palsu. Kemudian, jika pemerintah tidak dapat memberikan jaminan dapat bertanggung jawab dan segera mengatasi permasalahan ini.

Untuk saat ini, kata Saleh, posisi DPR, khususnya Komisi IX adalah untuk memastikan peredaran vaksin palsu berhenti. Serta menarik seluruh vaksin palsu yang sudah tersebar di semua tempat. Langkah penanganan harus dipastikan juga oleh pemerintah, agar kedepannya kasus seperti ini tidak terulang.

Saleh menyayangkan langkah pemerintah yang sampai sekarang belum dapat memberikan gambaran khusus dan detail terkait penanganan serta jaringan vaksin palsu. "Sudah dari 22 Juni kejadian diketahui, masak baru kemarin dapat sample, jadi kita kasih waktu 3 hari untuk bertindak kalau gagal bisa pansus," ujarnya kepada gresnews.com, Selasa (28/6).

Dia juga mengaku sangat marah saat Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyatakan penyebaran vaksin palsu tidak begitu berbahaya karena kurang dari 1 persen. Menurut Saleh, meski sedikit, karena peredaran vaksin palsu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, tetap saja menimbulkan efek yang pasti sudah bertumpuk-tumpuk.

Mengenai hukuman untuk sindikat vaksin palsu, ia menyatakan, kasus ini jelas penipuan dan pemalsuan sehingga dapat dihukum melalui KUHP dan bisa ditingkatkan. "Kasus vaksin ini jelas di bawah naungan Dinkes, mereka harus ada klarifikasi," ujar Saleh.

Komisi IX juga akan menaruh perhatian tehadap korban vaksin palsu. Namun, kata Saleh, para korban juga sulit dideteksi jika pemerintah tidak serius untuk membuka data. Data tersebut berisi nama rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang telah menggunakan vaksin palsu. "Jika terbukti menyebabkan sakit parah atau berbahaya karena vaksin itu bisa didorong proses ganti rugi," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, rencana Menteri Kesehatan memberikan vaksin ulang terhadap anak-anak yang diduga menjadi korban vaksin palsu belum akan menyelesaikan masalah. Pasalnya, kata dia, dampak dari vaksin palsu bisa berjangka panjang dan fatal.

Karena itu, kata Tulus, tidak cukup hanya pelakunya yang diberikan sanksi pidana. Pemerintah sebagai regulator juga harus bertanggungjawab dan dikenai sanksi, mengingat begitu lamanya praktik pemalsuan vaksin dan sudah beredar ke seluruh Indonesia. "Kemenkes dan Badan POM bisa dikatakan tidak menjalankan fungsinya, sesuai kapasitas yang dimilikinya," tegas Tulus melalui pesan yang diterima gresnews.com, Selasa (28/6).

Penggunaan vaksin yang tidak bisa langsung digunakan masyarakat, tetapi melalui institusi dan tenaga kesehatan memperjelas bahwa institusi kesehatan mutlak untuk dimintai pertanggungjawaban, jika terbukti telah memberikan vaksin palsu pada pasiennya. Ini juga menunjukkan adanya pengadaan barang ataupun jasa yang tidak beres, tidak melalui proses tender yang benar, dan berpotensi adanya tindakan koruptif oleh pejabat pembuat komitmen di Kemenkes.

Tulus juga mengajak masyarakat untuk melakukan gugatan class action yang ditujukan kepada Kemenkes, Badan POM dan institusi terkait lainnya karena lalai tidak melakukan pengawasan sehingga masyarakat menjadi korban. Khususnya bagi orang tua yang anaknya dilahirkan pada kisaran tahun 2004 ke atas.

Karena anak dengan kelahiran 2004 dan seterusnya, berpotensi menjadi korban vaksin palsu. "YLKI siap memfasilitasi gugatan class action tersebut, guna memberikan pelajaran kepada pemerintah," tutupnya.

BPOM MAKSIMAL - Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tengku Bahdar Johan Hamid mengatakan, dalam kasus ini, pihaknya sudah bekerja secara maksimal. BPOM, kata Bahdar, tak berpangku tangan atas peredaran vaksin palsu di tanah air. Sejak menemukan kasus vaksin palsu pada 2008, lembaga ini terus memperketat pengawasan.


Tahun 2008 BPOM menemukan vaksin Anti Tetanus Serum (ATS) palsu. Namun temuan pada 2008 itu sedikit kasus ditutup. "Kami sebenarnya ketemu 2008. Temuan waktu itu ada ATS palsu. Tetapi waktu itu karena sedikit ditindaklanjuti dan kasus ditutup," kata Bahdar, Selasa (28/6).

Lima tahun kemudian, tepatnya 2013, BPOM kembali menemukan vaksin palsu. "Di 2013 ditemukan peredaran vaksin palsu dan diketahui vaksin palsu melalui sarana tidak berwenang. Bukan pedagang besar farmasi dan ini sudah kita masukkan ke dalam jalur hukum," jelas Bahdar.

Pada waktu, kata Bahdar, dilakukan pengejaran dan penangkapan. Ada dua orang yang diduga sebagai pelaku pembuatan vaksin palsu. Satu orang berhasil melarikan diri, satunya tertangkap. Namun Badan POM gagal menemukan barang bukti saat menggeledah rumah pelaku.

"Ada dua (pelaku) yang satu melarikan diri sedangkan yang lainnya orangnya tertangkap tetapi produk palsunya waktu kita geledah tidak ketemu dan sebenarnya vaksin dia itu palsu kalau dipengadilan kalau nggak ketemu nggak bisa maka waktu kita bawa ke pengadilan dia hanya dikenakan hukuman satu juta," papar Bahdar.

Menurut Bahdar, rentetan upaya pencegahan dan penangkapan itu merupakan bukti bahwa BPOM tidak tinggal diam atas terjadinya kasus penyebaran vaksin palsu. "Jadi pada 2013 itu kami sudah melakukan peringatan ada yang bilang BPOM diam saja, BPOM tidur di bawah selimut ya oke kami mengaku salah," kata dia.

Dia menegaskan, selama ini BPOM telah melakukan pengawasan ketat untuk produk vaksin mulai dari proses produksi hingga sampai ke masyarakat. Sebelum dipasarkan, semua vaksin terlebih dulu akan dievaluasi oleh BPOM. Bila dinyatakan lolos, maka vaksin tersebut boleh diedarkan.

"Yang lolos evaluasi hanya dapat beredar di Indonesia. Itu kami nilai keamanan khasiat dan mutunya," ucap Bahdar.

Kasus vaksin ini menurut Bahdar karena ada pelaku kriminal. Masalah kriminal ini tidak bisa ditangani sendiri oleh BPOM, perlu lembaga berwenang untuk menangkap pelaku pembuat vaksin ilegal ini. "Kamu mau menangkap (pelaku pembuatan dan pengedar vaksin) ilegal, kami pasti ajak kepolisian, kami tidak boleh nangkap orang," katanya.

BIO TERORISME - Sementara itu, pengamat ekonomi dan politik Salamuddin Daeng mengatakan, kasus peredaran vaksin palsu yang terjadi pada saat ini karena lemahnya tanggung jawab pemerintahan Jokowi terhadap masalah ketahanan dan keamanan nasional. "Vaksin Palsu dapat dikategorikan sebagai tindakan bio terorisme yang jahat dan pemerintah tidak melakukan pengawasan dengan ketat, karena tidak mampu atau sengaja melakukan pembiaran," kata Salamuddin kepada gresnews.com, Selasa (28/6).

Dia menegaskan, kasus pembuatan dan peredaran vaksin palsu ini merapakan kegiatan yang membahayakan. "Jika dibiarkan akan meracuni jutaan anak-anak hanya untuk uang. Ini merypakan serangan nasional untuk menghancurkan generasi muda," tegasnya.

Dia menyebutkan, kasus ini ada dugaan melibatkan sindikat yang besar di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan perusahaan farmasi yang selama ini menjadi "sekutu" Kemenkes. "Jadi mengubah Kemenkes menjadi toko obat," tegasnya.

Pada kesempatan terpisah, mantan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Zaenal Abidin mengatakan, pemalsuan vaksin merupakan tindakan yang sangat jahat dan merusak generasi muda Indonesia. "Ini sangat bahaya jika pemerintah tidak mengambil tindakan secara tegas, karena akan berdampak pada pertumbuhan anak-anak di Indonesia," kata Zaenal kepada gresnews.com, Selasa (28/6).

Dia meminta agar pemerintah memperketat pengawasan bersama instansi terkait, sehingga bisa mengurangi dampak terjadinya peredaran vaksin palsu. "Harus ada cara deteksi obat atau vaksin ilegal serta selundupan obat dari luar," ujarnya. (Gresnews.com/Agus Irawan/dtc)

BACA JUGA: