JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai lamban melindungi warganya dari ancaman peredaran vaksin palsu di masyarakat. Pemerintah lamban bereaksi meski peredaran vaksin palsu ini ternyata sudah berlangsung selama 13 tahun lamanya. Hal ini terungkap setelah Direktoran Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri membongkar jaringan pembuat vaksin palsu tersebut beberapa waktu yang lalu.

Sejumlah 15 pelaku jaringan ini telah diamankan polisi. Para pelaku ini diketahui mengorganisir jaringannya dengan sangat baik. Jaringan yang telah beroperasi sejak tahun 2003 ditaksir telah meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah perbulannya, vaksin palsu dibanderol dengan harga Rp200 ribu sedangkan harga vaksin asli mencapai Rp900 Ribu. Sehingga wajar kalau vaksin palsu ini sangat laris manis di pasaran.

Ketua Komisi IX Dede Yusuf mengatakan peredaran vaksin palsu yang berlangsung cukup lama ini telah menimbulkan keresahan karena belum jelas seberapa bahaya efek vaksin palsu yang telah lama beredar itu jika digunakan melakukan vaksinasi. Dia menilai, dampak dari peredaran vaksin tersebut sangat merugikan para orang tua.

"Kita belum mengetahui dampaknya secara pasti, karena itu kita minta pemerintah melakukan penelusuran," ujar Dede Yusuf di sela-sela rapat kerja dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di gedung DPR, Senin, (27/6).

Dalam rapat tersebut, DPR meminta klarifikasi dampak beredarnya vaksin palsu tersebut. Selain itu DPR juga menegaskan pemerintah lalai, tidak melakukan fungsi pengawasan terhadap obat dan vaksin secara benar, sehingga vaksin palsu dapat beredar selama belasan tahun yang mencakup jutaan pemakai. "Pertanyaan kami, apakah vaksin ini berbahaya buat kesehatan anak-anak kita?" ungkap Dede.

Rapat tersebut sejak awal berlangsung cukup panas. Anggota DPR secara terbuka menunjukan kekecewaannya terhadap kinerja pemerintah. Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay meminta agar pemerintah segera bertanggung jawab. "Tidak perlu bertele-tele, yang kita butuhkan adalah tanggung jawab pemerintah," tegas Saleh di gedung DPR, Senin,(27/6).

Pemerintah diminta untuk menjelaskan kepada masyarakat terkait bahaya yang terkandung di dalam vaksin palsu. Pemerintah juga harus menjelaskan apa saja campuran yang dipakai hingga jenis vaksin apa saja yang telah dipalsukan. Pemerintah juga dituntut untuk memberikan informasi rumah sakit atau pusat kesehatan masyarakat mana saja yang selama ini terindikasi menggunakan vaksin palsu.

Saleh menegaskan, informasi itu dirasa perlu sebab peredaran vaksin palsu tersebut harus segera diantisipasi. Apabila dibiarkan atau lamban dalam memberikan tindakan dikhawatirkan negara-negara lain dengan mudah menjadikan Indonesia pasar vaksin palsu dan dengan seenaknya memasukan vaksin palsu atau virus berbahaya ke dalam negeri.

Dia menyayangkan, pemerintah seperti menganggap enteng kasus ini. Saleh mengaku keberatan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek melalui twitter yang masyarakat tidak merasa terganggu ataupun resah. Menkes juga  menyebut peredaran vaksin palsu di DKI dan Jawa Barat hanya 1 persen. "Ini jawaban yang tidak tepat. Bagaimana kalau 1 persen itu membuat banyak anak meninggal dunia?"tanya Saleh.

Saleh juga meminta kepada BPOM Agar menarik semua merk vaksin yang telah dipalsukan untuk menghentikan peredarannya. Dari hasil survei Cakupan Imunisasi pada 2008 oleh Universitas Indonesia menunjukkan, sebagian besar imunisasi di Indonesia dilaksanakan di Posyandu dan Puskesmas (88,1 persen) dan hanya 11,9 persen yang dilaksanakan di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan swasta.

Menurut Saleh, persoalan ini menjadi sangat serius karena untuk dapat membedakan vaksin palsu dengan yang asli bukanlah sebuah perkara mudah. Kemenkes sendiri tidak mempunyai cara untuk membuktikan keaslian vaksin kecuali melalui uji laboratorium. Saat ini ada beberapa vaksin yang diketahui telah dipalsukan antara lain, Havrix yang berisi vaksin untuk hepatitis A. Lalu Pediacel (kombinasi vaksin PBT, HIB, dan polio), Tripacel (berisi BPAT), Tuberkulin, dan Biocef.

Sementara itu, anggota Komisi IX Irma Suryani curiga ada mafia di balik peredaran vaksi palsu yang sudah berlangsung selama 13 tahun ini. "Saya curiga ada mafia bermain dari pembuat, pemasok sampai user. Ini rapi dan tidak terbongkar dari 2003. Saya tidak yakin paramedis tidak bisa membedakan vaksin asli dan palsu karena harganya beda sekali," katanya.

Dia menilai, kasus ini seharusnya bisa dibongkar sejak lama, karena ada kejanggalan misalnya dari sisi harga. "Dari sini (harga) saja, RS dan paramedis harusnya tahu kalau ini palsu. Tapi mengapa bisa sekian lama tidak diketahui," ujarnya heran.

Anggota F-Nasdem Amelia Anggraini meminta agar rekening para pelaku ditelusuri. Kejahatan ini dianggap sudah keterlaluan sehingga dia ingin DPR membuat pansus. "Ini bentuk genosida. Perlu ditelusuri rekening pelaku. Apa ada kemungkinan keterlibatan pemerintah, direktur RS, puskesmas. Saya ingin adanya pansus vaksin palsu," lanjutnya.

PROGRAM IMUNISASI NASIONAL AMAN - Sementara itu dalam rapat tersebut Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan, pihaknya tak menoleransi pemalsuan obat termasuk vaksin yang berbahaya pada kesehatan. Nila mengatakan, rumah sakit dan dokter yang terlibat akan ditindak pidana.

"Kalau RS dan dokter terlibat, itu ke pidana. Kalau tahu itu palsu dan tetap memberikan, itu kriminal. RS bisa dituntut, dokter dicabut izinnya (kalau tahu vaksin palsu dan tetap memberikan)," kata Nila dalam rapat kerja dengan Komisi IX di Gedung DPR, Senin (27/6).

Nila menuturkan pihaknya selalu bekerja dengan kepolisian dan BPOM. Termasuk soal kandungan dari vaksin palsu ini. "Kita sudah koordinasi dengan BPOM, IDAI, yang kami mintakan adalah konten dari vaksin ini apa? Kami hanya dengar dari media. BPOM akan periksa uji lab apa isinya," paparnya.

Langkah yang akan dilakukan Kemenkes dalam waktu dekat adalah melacak anak-anak yang mendapat vaksin palsu dan melakukan vaksin ulang. Itu karena anak-anak tersebut membutuhkan kekebalan lewat vaksin. "Kita mengejar untuk melakukan kekebalan ke anak yang terkena tersebut. Itu langkah yang akan kita lakukan," ujar Nila.

Polisi telah menangkap 15 orang dalam kasus ini. Antara lain mereka ditangkap di Jakarta, Bekasi, Tangsel, dan Semarang. Mereka berperan sebagai produsen, distributor, dan pembuat/pencetak label dan logo vaksin. Harga vaksin palsu lebih miring Rp200 ribu-Rp400 ribu dibandingkan harga vaksin asli yang mencapai Rp900 ribu. Pembuat vaksin palsu meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Sebelumnya, Menkes juga menegaskan program imunisasi nasional dijamin aman. Nila mengatakan, ketersediaan vaksin untuk program imunisasi tersebut terjamin ketersediaan dan keamanannya. Vaksin tersebut disediakan oleh pemerintah, diberikan kepada Provinsi dan didistribusikan kepada Kabupaten/Kota sampai ke Posyandu.

"Vaksin untuk program imunisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat dimanfaatkan oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas pemerintah maupun swasta," ujar Menkes.

Meski begitu, Menkes meminta agar dalam penyelenggaraan imunisasi, seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, diimbau agar melakukan kontrol ketat dalam pengadaan vaksin dari produsen dan pedagang besar farmasi (PBF) resmi. Menkes juga mengimbau untuk melakukan pengelolaan vaksin yang baik, mulai dari pengadaan, pencatatan, penyimpanan, dan penggunaan sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku sehingga dapat dilakukan penelusuran balik (mampu telusur).

Menkes juga meminta pihak terkait melaporkan kepada Badan POM di Halo BPOM 1500-533, jika ditemukan adanya dugaan penyimpangan. "Kepada masyarakat, silakan tetap melakukan imunisasi di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai upaya memberikan kekebalan bagi buah hati terhadap penyakit," terang Nila Moeloek.

Dari hasil penyelidikan sementara, diketahui isi vaksin palsu merupakan campuran antara cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik) dan setiap imunisasi dosisnya 0,5 CC. Dilihat dari isi dan jumlah dosisnya, vaksin palsu ini dampaknya relatif tidak membahayakan.

Namun karena vaksin palsu dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kemungkinan menimbulkan infeksi dan gejala infeksi ini bisa dilihat tidak lama setelah diimunisasikan. "Jadi kalau sudah sekian lama tidak mengalami gejala infeksi setelah imunisasi dapat dipastikan aman," kata Menkes.

HUKUM BERAT - Terkait peredaran vaksin palsu yang akan sangat merugikan anak-anak ini, Koordinator Divisi Pengenalan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Erlinda meminta agar aparat kepolisian menghukum berat pelaku yang terlibat. Mereka juga diharapkan dapat mengusut tuntas dugaan keterlibatan oknum tempat pelayanan kesehatan untuk mengedarkan vaksin palsu tersebut.

Menurut Erlinda, penegakan hukum tegas dapat memberikan efek jera dan membangun kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah. KPAI sendiri menegaskan siap bersinergi dengan lembaga terkait termasuk Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan untuk memutus mata rantai peredaran vaksin palsu.

"Masyarakat jangan resah karena Menteri Kesehatan sudah mengatakan akan ada pengulangan pekan imunisasi ulang dan komitmen untuk pengawasan peredaran vaksin palsu," katanya dalam pesan kepada gresnews.com, Senin (27/6).

Untuk diketahui vaksin melalui imunisasi merupakan hal dasar utama untuk memastikan kesehatan bayi sampai anak usia 18 tahun. Pada usia tahun pertama bayi, imunisasi dasar lengkap wajib diberikan untuk melindungi bayi yang kadar imunitas tubuhnya sangat rentan dari penyakit, kecacatan sampai kematian.

Adapun lima Vaksin Dasar yakni, Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HB, Campak dan dapat diberikan delapan Imunisasi tambahan. "Kami berharap masyarakat segera melaporkan apabila ada gejala atau hal yang buruk pada Balita atau anak pasca pemberian vaksin," ujarnya.

Erlinda meminta agar masyarakat yang anak-anaknya mengikuti program imunisasi nasional tidak perlu khawatir karena keaslian dan keamanan vaksinnya dijamin pemerintah. Dia juga mengimbau agar masyarakat bisa melakukan vaksinasi ulang terlepas dari adanya kasus peredaran vaksin palsu ini. "Jadi bagi yang khawatir, dapat mengikuti imunisasi ini di posyandu dan Puskesmas," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: