JAKARTA, GRESNEWS.COM – Maraknya angkutan umum roda empat berbasis online di Ibukota Jakarta telah membuat gerah para sopir angkutan umum berplat kuning. Pasalnya, keberadaan angkutan umum roda empat yang notabene berplat hitam alias kendaraan pribadi yang dijadikan angkutan umum lewat aplikasi online GrabCar dan Uber Taxi telah berdampak pada turunnya penghasilan atau pendapatan para sopir angkutan umum resmi yang beroperasi sesuai dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

Ketua Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) Cecep Handoko mengatakan, penolakan ribuan sopir armada transportasi angkutan darat kemarin bukan tanpa didasari oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Cecep, hingga saat ini para pengemudi atau sopir angkutan darat seperti taksi, kopaja, bajaj, dan lain sebagainya selalu taat dengan peraturan atau regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

"Kita ini angkutan resmi plat kuning. Kita membayar KIR, pajak angkutan umum, dan lain sebagainya. Tapi bagaimana dengan armada yang berplat hitam seperti GrabCar, Uber Taxi yang beroperasi mengangkut penumpang?" kata Cecep Handoko kepada gresnews.com di Jakarta, Senin (14/3).

Cecep menambahkan, kehadiran angkutan umum berbasis online yang tidak sejalan dengan regulasi dalam UU LLAJ bukan hanya berdampak pada penghasilan sopir angkutan darat semata. Hadirnya angkutan umum berbasis online juga telah berdampak pada pendapatan daerah dari pajak atau retribusi yang seharusnya didapat dari kendaraan angkutan umum.     

"Ini yang harus dijawab oleh pemerintah. Kenapa ada perbedaan antara angkutan umum resmi yang selama ini taat dengan regulasi dengan angkutan berplat hitam? Kalau Indonesia ini benar negara hukum, harusnya angkutan umum berbasis online itu dilarang dong beredar di jalan raya!" tegasnya.

Karena itulah, ribuan sopir angkutan umum yang didominasi oleh sopir taksi melakukan aksi unjuk rasa menuntut pemerintah bertindak tegas terhadap maraknya angkutan roda empat yang berbasis online. Cecep mendesak kepada pemerintah untuk menutup aplikasi online yang digunakan oleh GrabCar dan Uber Taxi.

"Pemerintah harus tegas dan berani menutup aplikasi online ubertaxi dan Grabcar karena merugikan pendapatan penghasilan para sopir angkutan darat yang legal," ujarnya.

TAK BERWENANG – Menanggapi aksi unjuk rasa ribuan sopir angkutan umum itu, Kepala Dinas Perhubungan Darat (Kadishub) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan perwakilan sopir kendaraan umum dan Paguyuban Pengemudi Angkatan Darat (PPAD). Ia mengakui bahwa keberadaan kendaraan umum berplat hitam yang berbasis online telah menyalahi aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Menurutnya, sesuai dengan ketentuan UU LLAJ kendaraan berplat hitam memang tidak dapat digunakan sebagai angkutan umum. Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa setiap angkutan umum beroda empat harus menggunakan plat kuning, membayar pajak kendaraan umum, lolos uji KIR, memiliki NPWP, dan memiliki pool khusus armada. Hal itu diatur guna memudahkan kontrol terhadap para pengguna maupun sopir pengendara angkutan umum tersebut.

Ia menambahkan, sepanjang tahun 2016 ini, pihaknya sudah menertibkan sekitar 65 kendaraan GrabCar dan Uber Taxi berplat hitam yang diduga menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia pun mengakui bahwa ada ketidakadilan dengan hadirnya praktik angkutan umum berbasis online yang tengah menjamur belakangan ini.

Pasalnya, angkutan berbasis online tersebut memang tidak dikenakan pajak angkutan atau kendaraan umum. Terlebih lagi, kendaraan umum berbasis online tersebut tidak memiliki badan hukum yang jelas sehingga pihaknya kesulitan mengkontrol beroperasinya kendaraan roda empat berbasis online itu. "Karena Uber Taxi dan GrabCar itu harusnya memiliki badan hukum yang jelas," kata Andri.

Meski dinilai melanggar, Andri mengatakan pihaknya tak berwenang menutup praktik bisnis angkutan umum berbasis online itu. Kewenangan itu, kata dia, ada di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). "Makanya kita juga sudah mengirimkan surat kepada Kominfo agar mereka menutup aplikasi angkutan umum berbasis online tersebut," tegas Andri.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memang sudah berkirim surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memohon agar Kominfo memblokir aplikasi angkutan umum roda empat berbasis online. Menhub menilai perusahaan tersebut melanggar Pasal 138 Ayat (3), Pasal 139 Ayat (4), Pasal 173 Ayat (1) UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Perusahaan tersebut menimbulkan keresahan dan konflik di kalangan pengusaha angkutan resmi dan pengemudi taksi resmi.

Ketika ditanya tanggapannya soal permohonan tersebut, Rudiantara mengaku belum membaca surat bernomor AJ.206/1/1/PHB 2016 yang berisi permohonan blokir aplikasi GrabCar dan Uber Taxi itu. Rudiantara berjanji akan segera menemui Jonan untuk mencari solusi dari polemik soal kendaraan umum roda empat berbasis online ini.

"Saya belum membaca surat dari Pak Jonan. Tadi pagi kan saya belum ke kantor. Nanti saya baca dulu dan segera temui dia untuk bahas masalah ini," kata Rudiantara seusai rapat kerja bersama Komisi I DPR RI di gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (14/3).

Rudiantara mengaku sependapat jika diperlukan suatu regulasi demi melindungi data pribadi konsumen. Hal itu karena perusahaan itu milik asing dan dapat berpotensi membahayakan keamanan negara.

Namun, dia belum mengetahui detail surat rekomendasi permintaan pemblokiran layanan aplikasi transportasi GrabCar dan Uber dari Kementerian Perhubungan. Lebih lanjut, dia mengatakan pihaknya tidak bisa menilai apakah GrabCar dan Uber menyalahi aturan atau tidak. "Itu merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan, karena kedua aplikasi ini melayani sektor transportasi," ujarnya.

REGULASI DAN PEMBENAHAN - Sementara itu anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David Tobing menilai, hadirnya teknologi angkutan umum online memang membuat masyarakat punya alternatif memilih kendaraan yang efisien, murah dan aman. "Dengan maraknya bisnis transportasi berbasis online yang menyentuh transportasi umum seperti taksi, maka konsumen pun mempunyai pilihan lain yang ternyata lebih baik," ujar David.

Menurutnya, aplikasi tersebut telah menjadi kebutuhan alternatif, yang dilengkapi teknologi yang mudah diakses dan terbukti dinikmati oleh konsumen. Karena itu dia menilai rencana pelarangan aplikasi online itu tak tepat.

"Jadi permasalahan besarnya, apakah tepat rencana pelarangan transportasi berbasis online tersebut? Apakah tidak sebaiknya diatur regulasinya? Dalam hal ini pemerintah harus lebih bijak menentukan kebijakan terhadap kendaraan roda empat yang digunakan sebagai kendaraan umum yang berbasis online," kata David.

Dengan adanya alternatif kendaraan berbasis online ini, David menyarankan, evaluasi dan inovasi menjadi salah satu solusi bagi perusahaan taksi konvensional agar tak tergerus perubahan zaman yang semakin dinamis.

"Ini juga menjadi evaluasi bagi perusahaan konvensional kenapa masyarakat banyak berpindah. Apakah karena memang sulit memesan taksi, sopirnya banyak yang tidak bisa dipercaya, atau harganya yang lebih mahal? itu bisa menjadi evaluasi, bukan malah menjadi atau dalam tanda kutip menggerakkan sopirnya untuk berdemo. Lakukan inovasi sehingga mereka tidak perlu khawatir untuk tersaingi," tutup David. (dtc)

BACA JUGA: