JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) menduga motif demonstrasi besar-besar yang dilakukan oleh para sopir taksi konvensional adalah, adanya korporasi angkutan besar yang ingin memonopoli bisnis angkutan taksi. Oleh sebab itu, HIPMI meminta agar Kementerian Perhubungan tidak asal memblokir angkutan berbasis aplikasi online itu.

"Seharusnya pemerintah malah mengakomodasi jenis angkutan tersebut," kata Ketua Bidang Industri Kreatif BPP HIPMI Yaser Palito di Jakarta, Selasa (15/3).

Dia mengatakan, berdasarkan arahan dari Presiden Jokowi, Kementerian Perhubungan harus mengakomodasi regulasi dari angkutan berbasis online saat kasus penutupan Go-Jek mencuat. Karena itu, ketika kemarin muncul demo besar-besaran dari sopir armada taksi konvensional, Yaser menduga ada korporasi angkutan besar ingin memonopoli bisnis angkutan taksi.

Menurutnya, praktik monopoli dan penguasaan pangsa pasar taksi kota sangat berbahaya bagi konsumen. Jika hal ini dibiarkan dan justru pemerintah menutup taksi online, maka selain konsumen yang menjadi korban adalah inovator-inovator start up. Dia menilai angkutan berbasi aplikasi seperti Grab, Uber dan Go-Jek dan sejenisnya merupakan evolusi angkutan umum dan perangkat teknologi informasi.

Yaser menilai saat ini taksi-taksi konvensional sudah terlampau mahal, terlambat, dan pelayanannya buruk. Misalnya, uang kembalian penumpang pun kerap disengaja tidak dikembalikan kepada penumpang oleh supir yang memiliki alasan bermacam-macam. Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang tidak adaptif dengan perkembangan teknologi akan digilas oleh kemajuan dan tidak memandang ukuran perusahaan kecil ataupun besar.

Dia mencontohkan perusahaan raksasa elektronik dari Jepang seperti Sony, Toshiba, hingga Panasonic dimana satu per satu tumbang dikarenakan terlambat melakukan adaptasi teknologi. Sementara, raksasa-raksasa elektronika Korea seperti Samsung dan LG semakin maju. Selain itu, salah satu brand mendunia di industri kamera yaitu Kodak.

Saat ini, produk Kodak hanya tinggal kenangan sebab terlambat melakukan innovasi tergilas dengan teknologi kamera digital. "Ini sebuah bagian dari evolusi dan inovasi moda transportasi dunia," kata Yaser.

Menurutnya kemajuan teknologi dan inovasi membuat taksi Uber dan jenis transportasi berbasis aplikasi online lainnya lebih efisien sehingga dia menawarkan harga yang lebih terjangkau. Sedangkan, tarif taksi konvensional semakin mahal dan tak mampu menurunkan tarif.

Dia menuturkan jika selama ini taksi berbasis aplikasi tidak melakukan proses perizinan, namun selain belum ada payung hukum, proses perizinan angkutan plat kuning pun terlalu lama dan memakan biaya tinggi.

Oleh sebab itu, dia meminta agar pemerintah segera mengakomodasi perijinan taksi dan angkutan berbasi aplikasi. Pemerintah juga seharusnya tidak boleh kalah cepat dari para inovator. Pemerintah harus menjemput bola dengan segera merevisi berbagai kebijakan yang sudah usang dan membuat regulasi-regulasi baru yang lebih adaptif dan mutakhir bagi perkembangan jaman.

"Bahkan negara-negara seperti Meksiko dan Filipina menjadi gambaran sudah menggunakan angkutan berbasis aplikasi," kata Yaser.

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai tarif taksi berbasis online tergolong murah dikarenakan tidak membayar pajak, asuransi dan uji KIR. Dia menambahkan pengusaha angkutan umum seharusnya patuh terhadap UU, tujuannya demi perlindungan kepada konsumen yaitu menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan penumpang.

Menurutnya transportasi umum sudah merupakan kebutuhan dasar layaknya pendidikan, kesehatan, perumahan, sandang dan papan. Oleh sebab itu, dia mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan agar dapat mendorong perusahaan taksi konvensional untuk menggunakan aplikasi, kemudian mengurangi pajak sehingga tarif bisa diturunkan dan memberi sanksi kepada perusahaan taksi yang tidak mau mengantar penumpang jarak dekat.

Kemudian, Kementerian Perhubungan jangan hanya berhenti dengan mengusulkan pemblokiran aplikasi sebagai pemenuhan tuntutan supir tetapi juga harus ada langka memenuhi tuntutan pengguna jasa taksi. Sebab, pengguna taksi juga menginginkan kemudahan dan memiliki tarif murah.

"Perlindungan terhadap pengguna jasa juga dapat diakomodasi. Pemerintah juga wajib hadir untuk melindungi pengguna jasa angkutan umum dan pengusaha angkutan umum resmi," kata Djoko kepada gresnews.com, Rabu (16/3).

TAK BISA ASAL DIBLOKIR - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sedang dilanda masalah yang tak mengenakkan. Di satu sisi, dia sudah dikirimi surat oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan agar memblokir aplikasi taksi online. Di sisi lain, Rudiantara juga seperti sulit mengabulkan permintaan itu, atas nama kebutuhan konsumen.

Usai mengikuti Rapat Terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Selasa (15/3) kemarin, Rudiantara mengaku, sudah melakukan pertemuan dengan Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, pengelola Grab Taxi, dan Uber Taxi. Namun demikian, Menkominfo mengatakan masih harus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak agar keputusan yang diambil tepat.

Rudiantara menegaskan, sebenarnya sudah ada aturan perundangan dalam kaitan beroperasinya taksi umum. Tetapi ia tidak ingin mengabaikan fakta dan aspirasi masyarakat yang menginginkan layanan transportasi umum yang lebih nyaman dan lebih terjangkau dari sisi biaya.

"Aplikasi online itu sesuatu keniscayaan, ya. Itu biar bagaimana pun akan datang, tidak bisa distop. Justru kita harus manfaatkan untuk proses yang lebih efisien," kata Rudiantara kepada wartawan.

Menurut Menkominfo, ada kesepakatan untuk menyelesaikan polemik ini dalam tatanan yang ada dengan angkutan berbasis online tetap bisa berjalan. Namun diakui Rudiantara, untuk itu masih ada permasalahan teknis yang mendalam.

Karena itu, kata Rudiantara, pihaknya sedang melakukan koordinasi dengan Kementerian UKM dan Koperasi untuk percepatan proses penyelesaian. "Saya menampung dari sisi taksi konvensional, taksi online, maupun masyarakat," tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa telah melaporkan hal ini kepada presiden, dan dalam waktu beberapa saat ini akan selesai. Menkominfo mengharapkan keputusan yang diambil masyarakat bisa menikmati layanan dengan baik, lebih nyaman dan lebih terjangkau.

"Hanya ini perlu waktu beberapa saat lagi untuk menyelesaikan antara yang saya sendiri harus ke Kementerian Koperasi, dengan Dinas Perhubungan DKI, dengan (Menteri) Perhubungan dan lain sebagainya. Dan dari (Menteri) Perhubungan juga tadi Pak Sekjen menyampaikan akan ada beberapa penyesuaian aturan-aturan di level atau di tingkat peraturan menteri agar bisa lebih, apa ya istilahnya, lebih menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi," jelas Rudiantara.

Rudiantara mengaku akan menyiapkan aturan baik dari sisi sektor regulasi dan undang-undang transportasi untuk mengantisipasi perkembangan masalah online ini.

"Tetapi di level yang bawah yang bisa dilakukan bersama Pak Jonan (Menhub) tentunya akan kami lakukan penyesuaian, itu yang pertama. Kemudian keberadaan dari pada OTT (over the top) internasional itu saya sudah sampaikan beberapa kali, insya Allah akhir bulan ini akan dikeluarkan kebijakan mengenai bahwa OTT internasional harus dalam BUT (Bentuk Usaha Tetap)," tambahnya.

Rudiantara mengatakan adanya BUT dibutuhkan untuk masalah costumer services, consumer protection, dan masalah level playing field dari sisi aspek legal maupun perpajakan. "Kita kan kadang-kadang masa OTT nasional bayar pajak OTT nasional tidak bayar pajak. Itu kira-kira dari konsep makro strategi, dari regulasi yang akan kita terapkan di Indonesia," pungkas Rudiantara.

PENGUSAHA TERUS MENGELUH - Operasi taksi online yang sulit dihentikan ini memang secara praktis membuat bisnis taksi konvensional terpukul. Ketua Umum Organisasi Angkutan Darat (Organda) Adrianto Djokosoetono mengungkapkan, rata-rata pendapatan operator taksi konvensional merosot hingga 20% per tahun sejak 2 tahun yang lalu.

Penurunan ini belum menghitung dari penurunan penumpang karena ojek online. Selain dirasakan perusahaan, penurunan ini otomatis berimbas pada terpangkasnya pendapatan dari pengemudi taksi sendiri.

"Secara umum promosi besar-besaran dari taksi online membuat pendapatan turun 20% per tahun, tapi nggak semua operator sama," katanya, Selasa (15/3).

Ardianto menjelaskan, penurunan paling besar atau lebih dari 20% dari omset normal harian, paling banyak dirasakan oleh pengelola taksi yang hanya memiliki sedikit armada. Selain taksi, merosotnya jumlah penumpang juga dirasakan pemilik angkutan bus, mikrolet, hingga bajaj.

"Yang paling terpuruk tentu yang memiliki kapasitas armada kecil, karena itu mereka sulit bersaing, kalau yang modal besar masih dampaknya bisa ditangani. Perkiraan kami 20% per tahun, ini juga termasuk bus kota besar, medium, dan kendaraan lingkungan (bajaj biru)," jelas Direktur Blue Bird Group ini.

Taksi online juga dinilai tak fair lantaran tak mematuhi regulasi dan kewajiban membayar pajak. Operator aplikasi taksi berbasis online seperti Uber dan GrabCar dianggap melakukan subsidi silang untuk mengoperasikan armadanya di lintas negara.

Adrianto mengatakan, tindakan itu merupakan salah satu bentuk predatory pricing atau membunuh pesaing bisnisnya dengan terus-terusan menggelontorkan tarif murah dengan promosi. "Tarif murah mereka bukan kategori promosi, tapi bisa masuk sebagai predatory pricing. Mereka sengaja nggak untung buat jatuhkan pemain lain. Kan mereka sendiri juga yang declare bahwa mereka rugi besar karena subsidi, subsidi dari negara lain yang operasinya sudah untung," ungkapnya.

Di luar itu, Adrianto meminta pemerintah memberlakukan regulasi yang sama pada semua pemain transportasi umum. Kewalahan dengan tarif promo, taksi konvensional masih harus bersaing dengan Uber dan GrabCar yang tidak memiliki kewajiban sebagaimana badan usaha lainnya.

"Kami hanya minta kesamaan aturan saja, baik yang online maupun tidak. Kita yang resmi harus bayar pajak, urus izin, BPJS, ada lagi Tapera yang harus kita penuhi sebagai perusahaan nasional. Kami minta penegasan saja," tandas Adrianto.

Adrianto melanjutkan, polemik yang dibawa operator taksi online, juga terjadi pada negara-negara lain, termasuk di negara asal. "Jadi ini fenomena kan juga terjadi di negara-negara lain, bukan hanya di kita, bahkan di negara asal mereka juga bermasalah. Konteks pelanggaran ini juga marak di lua negeri," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: