JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Kementerian Perhubungan bak orang linglung. Setelah Kamis (17/12) melarang beroperasinya transportasi berupa kendaraan pribadi, meliputi sepeda motor, mobil penumpang dan
mobil barang, dijadikan angkutan umum. Esok harinya, Jumat (18/12) Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan model transportasi tersebut dapat dioperasikan sementara sampai didapatkan tata kelola  transportasi yang baik.

Surat pelarangan Menhub dialamatkan kepada Kepala Kepolisian Negara Republika Indonesia (Kapolri) agar dapat diambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Awalnya Jonan beralasan pemanfaatan kendaraan bermotor bukan angkutan umum (sepeda motor, mobil penumpang dan mobil barang) dengan menggunakan aplikasi internet untuk mengangkut orang dan/atau barang dengan memungut bayaran adalah salah kaprah.

Tentu saja pada kenyataannya pelayanan seperti Uber Taxi, Go-Jek, Go-Box, Grab Bike, Grab Car, Blu-Jek, Lady-Jek telah membuat para operator angkutan umum ciut nyali. Mereka sulit bersaing dengan para pengusaha berbasis aplikasi tersebut. Terang saja lantaran bila dilongok badan hukum semisal PT Go-jek Indonesia adalah perusahaan IT bukan perusahaan transportasi. 

Dari sisi operasional saja perusahaan berbasis aplikasi ini menang jauh dari perusahaan transportasi operator angkutan umum. Go-jek, misalnya tak perlu pusing menanggung biaya cicilan motor atau mobil, biaya perawatan kendaraan, bahan bakar, gaji driver, pengurusan surat-surat kendaraan dan lainnya lantaran ditanggung mitra.

Mereka juga tak perlu punya kantor luas dan mentereng untuk menampung kendaraan toh mereka hanya perusahaan IT. Kendaraan tetap milik mitra dan disimpan dirumah masing-masing. 

Sejatinya langkah Jonan ini telah sesuai dengan aturan yang ada karena kendaraan bermotor memang bukan angkutan umum. Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan.

Namun masyarakat telah terlanjur "jatuh cinta" menggunakan angkutan berbasis aplikasi ini. Terlebih hingga kini masalah transportasi belum juga terselesaikan, dari soal kemacetan hingga kenyamanan penumpang yang menggunakan angkutan umum. Tekanan publik yang terus menguat membuat Presiden Jokowi langsung bereaksi sehingga Menhub pun langsung memberikan mencabut surat larangan.

Walaupun sesuai UU 22 tahun 2009, kendaraan roda dua tidak dimaksudkan  untuk angkutan publik, namun terdapat urgensi penggunaan kendaraan tersebut di masyarakat. "Realitasnya menunjukkan ada kesenjangan lebar antara kebutuhan transportasi publik dan kemampuan menyediakan angkutan publik yang layak dan memadai," ujar Jonan di Jakarta, Jumat (18/12).

Kesenjangan itulah yang selama ini akhirnya diisi oleh ojek, dan pada beberapa waktu terakhir dipermudah oleh layanan transportasi berbasis aplikasi online. Atas dasar itulah, ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak.

"Terkait dengan aspek keselamatan di jalan raya yang menjadi perhatian utama pemerintah, dianjurkan untuk berkonsultasi dengan Korlantas Polri," ujarnya.

Dalam keterangannya, khusus dialamatkan pada transportasi mobil pribadi seperti Uber Taxi atau Grab Car, tetap diperbolehkan beroperasi dengan catatan telah mengurus perizinan ke Kemenhub sebagai sarana transportasi berbayar.

TERJADI KETIDAKPASTIAN - Pengamat Transportasi dari Universitas Indonesia Ellen Tangkuding menjelaskan selama ini pemerintah seolah membiarkan saja fenomena penggunaan angkutan pribadi yang dijadikan transportasi publik. Sudah lama bermunculan mobil kendaraan plat hitam yang mengangkut penumpang di bandara maupun stasiun kereta api. Termasuk juga ojek motor yang mangkal di pojokan jalanan.

Tak pernah sekali pun muncul niatan pemerintah untuk membuatkan aturan yang jelas buat mereka tersebut. Begitu angkutan pribadi baik mobil maupun motor dikoordinasikan lewat layanan aplikasi internet baru pemerintah beraksi. Kemenhub langsung melarangnya dan dengan cepatnya dibatalkan kembali aturan pelarangan kendaraan pribadi untuk angkutan.

Hal ini pun dapat dijadikan gambaran betapa tak terkoordinasinya pemerintahan, dimana awalnya Jonan melarang pengoperasian namun Jokowi menolak. "Apalagi ada ketidakpastian penataan dan konsekuensi, ini tak boleh terlalu lama dibiarkan abu-abu tanpa penataan," katanya kepada gresnews.com, Jumat (18/12).

Jikapun kini pelarangan tersebut dibatalkan maka ia menyarankan adanya penataan dan konsekuensi yang jelas terlebih dahulu. Selain itu, harus ada payung hukum yang jelas dalam menaungi jenis transportasi ini.

"Memang ini dibutuhkan karena publik perlu transportasi yang baik, tapi saya tak setuju karena roda dua memang perlu diatur, " ujarnya.

MASALAH PAJAK - Satu lagi celah yang lolos dari perhatian pemerintah yakni masalah pungutan pajak. Sudah lazim bila ada perusahaan maka pemerintah mengutip berbagai pajak dan pungutan lewat berbagai perizinan yang dikeluarkan pemeritah.

Masalahnya perusahaan aplikasi berbayar ini adalah perusahaan IT tentu saja mereka tak akan membayar pajak dan pungutan sebesar perusahaan yang memang bergerak dibidang transportasi. Perusahaan aplikasi berbayar semacam Go-jek, Grabbike dan Uber tentu tak membayar pajak pendapatan para drivernya. Juga tak membayar pajak dan pengurusan izin pendirian usaha transportasi karena mereka perusahaan IT.

Ketua Perkumpulan Perusahaan Mobil Rental Indonesia (PPRI) Hendrick Kusnadi yang merupakan rekanan Taxi Uber menyatakan, pihaknya pada akhirnya menuruti persyaratan yang diajukan pemerintah seperti membuat izin kepada Dishub sebagai rental resmi sebagai syarat untuk bisa tergabung dalam aplikasi taksi online.

"Izin koperasi saya sudah hampir jadi. Kan sudah dibuka lampu hijau dari Pemprov DKI Jakarta, kalau izin sudah ok dan sesuai kriteria diperbolehkan," ujarnya kepada gresnews.com, Jumat (18/12).

Sebagaimana diketahui, terdapat implikasi dari status kemitraan uber dimana rekanan/partner Uber merupakan pengusaha atau pebisnis independen dan bukanlah karyawan uber. Intinya uber hanya memberikan kemudahan aplikasi pemesanan dan pembayaran, sehingga driver atau partner harus menghitung dan membayarkan pajaknya sendiri.

Artinya, pembayaran pajak tergantung bagaimana legalistas partener itu sendiri, apakah bentuknya PT, CV, koperasi, atau Surat Keterangan Usaha (SKU) dimana aturan pajaknya berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam soal PPRI, Hendric menyatakan driver di koperasinya sudah dibayarkan pajaknya lewat iuran tiap bulan.

Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo menyatakan fenomena ekonomi digital ini belum sepenuhnya bisa diatur. Contohnya saja selama ini para pendiri atau pengusaha aplikasi menyatakan hanya berjualan aplikasi semata. Dimana driver yang memakai aplikasi tersebut akan terkena sharing fee dengan sebelumnya menerima pembayaran langsung dari konsumen.

"Ini kan bisa disebut proses mengelak, nanti bisa tercipta kebocoran pajak," ujarnya kepada gresnews.com, Jumat (18/12).

Apalagi diketahui penghasilan para driver ini bisa dibilang besar, namun tak dipotong. Intinya driver langsung menerima penghasilan bersih, dan kesadaran membayar pajak tergantung pada masing-masing driver.

Ia mengusulkan perusahaan aplikasi langsung ditetapkan sebagai wajib potong. Untuk itu ketika sharing fee, perusahaan langsung memotong pajak driver dan menyetorkannya ke negara.

Mekanismenya, driver pemegang aplikasi diwajibkan NPWP yang dapat bekerja sama dengan Keminfo. "Tanpa mekanisme ini, kesadaran mereka kecil karena tak ada jaminan," ujarnya.

Maraknya fenomena aplikasi transportasi online seharusnya sekaligus dijadikan momentum pas membuat regulasi yang menaunginya. Sebab, dikhawatirkan apabila tak kunjung dibuat peraturan perpajakannya maka nantinya saat aplikasi ini membludak, pemerintah akan kewalahan menangani.

"Secara normatif aturannya ada. Tapi model bisnisnya berbeda sehingga dapat menimbulkan perbedaan pandangan yang bisa membuat kesenjangan terhadap objek pajak lain," jelasnya.

Sebab dengan jumlah penghasilan yang katanya mencapai lebih dari Rp5 juta dan tak dikenakan pajak akan membawa ketidakadilan dengan pekerja pabrik yang memiliki gaji di atas Rp3 juta dan terkena pajak. "Jangan
sampai fenomena pergeseran moda ekonomi menciptakan ketidakpatutan baru," katanya.

BACA JUGA: