JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta membuat keputusan mengejutkan kepada salah satu terdakwa kasus korupsi yaitu Made Maregawa. Dalam amar putusan dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Khusus Pendidikan lnfeksi dan Pariwisata di Universitas Udayana tahun anggaran 2009, majelis hakim mengembalikan uang yang dinilai jaksa sebagai kerugian keuangan negara kepada Made sebesar Rp5,7 miliar.

Made merupakan Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek tersebut. Made memang terbukti melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Pasal 18 mengatur tentang pembayaran uang pengganti.

Tetapi, majelis menilai bahwa Made hanya menerima imbalan Rp10 juta pada saat pelaksanaan proyek. Uang itu diterima oleh istri Made dirumahnya dan menurut majelis berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Oleh karena itu ia diminta untuk mengembalikan uang tersebut tersebut ke negara sebagai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

Sedangkan uang imbalan yang diterimanya bersama rektor Universitas Udayana, serta panitia pengadaan sebesar 3-5 persen dari nilai kontrak sekitar Rp18,5 miliar dan Made mendapat sekitar Rp1 miliar menurut majelis tidak terbukti. Karena dalam proses persidangan, hanya ada satu saksi yang menyebutkan hal itu dan keterangan tersebut tidak didukung oleh keterangan lain di persidangan.

"Karena menurut keterangan saksi-saksi, yang satu menerangkan uang dikemas dalam paper bag, sedangkan saksi lain sebut uang diserahkan kepada Rosa (Mindo Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin-red) dikemas dalam kardus minuman atau kemasan aqua," kata Hakim Anggota Ugo, Rabu (20/1).

Uang yang dikemas dalam dua kemasan yang berbeda itu diletakan di ruang kerja Muhammad Nasir yang merupakan saudara kandung Nazaruddin. Setelah itu para saksi yang dihadirkan meninggalkan ruangan tersebut. Dan dalam persidangan, saksi yang dihadirkan tidak ada yang mengetahui apakah uang tersebut disampaikan atau tidak kepada Made.

"Dengan demikian, majelis berpendapat tidak dapat dijadikan sebagai bukti yang mendukung karena keterangan saksi tersebut tidak berkesesuaian satu sama lainnya, dan saksi tidak tahu apakah uang Rp1 miliar itu diterima atau tidak oleh terdakwa, sehingga harus dikesampingkan karena tidak memiliki kekuatan pembuktian," pungkas Hakim Ugo.

Sementara itu, kerugian keuangan negara sekitar Rp7,2 miliar dibebankan kepada Direktur PT Mahkota Negara, Marisi Matondang. Pada awalnya, dugaan jumlah kerugian keuangan negara hanya sebesar Rp5,7 miliar, tetapi dalam persidangan terungkap bahwa nilainya ternyata mencapai Rp7,2 miliar.

Marisi Matondang merupakan anak buah Nazaruddin. Ia menjadi kepanjangan tangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu dalam mengurus berbagai proyek yang dibiayai pemerintah, terutama dalam bidang kesehatan. PT Mahkota Negara merupakan salah satu anak perusahaan Permai Grup milik Nazaruddin.

"Bahwa pengembalian uang dari terdakwa yang diserahkan ke kas negara sebesar Rp5,74 miliar sudah sepatutnya dikembalikan kepada terdakwa setelah dikurangkan uang pengganti Rp10 juta yang dibebankan kepada terdakwa," imbuh Hakim Ugo.

KENA HUKUM 4 TAHUN - Meskipun uang yang disita sebanyak Rp5,7 miliar dikembalikan, tetapi majelis tetap menganggap Made bersalah dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selaku PPK, Made dinilai telah menyalahgunakan kewenangannya dalam pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Khusus Pendidikan lnfeksi dan Pariwisata di Universitas Udayana tahun anggaran 2009.

"Mengadili, menyatakan bahwa terdakwa Made Meregawa telah terbukti secra sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua," kata Ketua Majelis Hakim Sinung Hermawan.

Atas dasar itulah ia dihukum dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta. Jika denda itu tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan selama 2 bulan.

Hakim menuturkan bahwa Made terbukti telah melakukan pengaturan dalam proses pengadaan alat kesehatan agar dimenangkan oleh PT Mahkota Negara. Cara yang digunakan antara lain dengan mengarahkan panitia pengadaan untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) berdasarkan data dan harga dari calon peserta/pemenang lelang.

Kemudian Made juga menyetujui calon peserta atau pemenang menyusun spesifikasi barang/alkes yang mengarah pada merk/produk perusahaan tertentu, mengubah waktu pemasukan dokumen penawaran untuk kepentingan calon peserta/pemenang lelang serta melibatkan pegawai dari salah satu peserta lelang dalam tahap evaluasi penawaran.

Tak hanya itu, ia juga menyetujui pelunasan pembayaran padahal penyerahan barang belum sepenuhnya dipenuhi serta tidak membebankan denda atas keterlambatan pekerjaan. Hal tersebut kata hakim, bertentangan dengan pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

"Dari kesimpulan tersebut, majelis berpendapat bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan terdakwa," imbuh Hakim Ibnu.

Perbuatan Made tersebut dinilai telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

BEDA TANGGAPAN - Usai membacakan putusan, majelis hakim memberikan kesempatan kepada Made dan juga jaksa untuk menanggapinya. Dalam hal ini, kedua belah pihak memang mempunyai tiga alternatif pilihan yaitu menerima putusan, banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, ataupun memikirkan lebih dulu selama 7 hari.

Made, yang diberikan kesempatan pertama majelis hakim sempat berkoordinasi dengan para penasehat hukumnya. Beberapa saat kemudian, ia menyatakan menerima putusan ini. Made juga berharap tim penuntut umum KPK juga tidak mengambil langkah hukum berupa banding ke PT DKI Jakarta.

"Saya siap menerima, saya terima dan saya anggap ini nasib yang harus saya tanggung dan kepada hakim dan jpu ini hanya 1 kasus dan kasus lain akan berlanjut saya mohon ke jaksa saya ikhlas dan pasrah dan saya akan jalani saya mohon tim jpu jangan saya dibanding, terima kasih yang mulia hakim," tutur Made.

Made mengklaim bahwa dirinya sama sekali tidak berniat melakukan korupsi uang negara. Ia hanya mengaku senang bahwa Universitas Udayana mempunya rumah sakit beserta dengan alat kesehatannya. "Tapi barangkali ini nasib yang harus saya tanggung dan korban dari pelaksanaan lelang walau dalam kesaksian fakta persidangan dari sekian pledoi lelang bukan kami yang mengatur," ujar Made.

Usai sidang, Made pun sempat bercerita sedikit mengenai alasan dia tidak mengajukan banding, terutama perihal pengembalian uang sebesar Rp5,7 miliar. Pada awalnya, kerugian itu diketahui dari pemeriksaan BPK bahwa ada kerugian keuangan negara sebesar jumlah tersebut.

Kemudian, sejumlah petinggi universitas dipanggil Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dan meminta untuk mengembalikan uang tersebut. "Katanya kalau tidak dikembalikan akan diproses hukum," tutur Made.

Kemudian, ia pun berusaha mati-matian mengembalikan uang itu. Made menjual rumah dan tanah yang dimilikinya untuk mengembalikan uang tersebut. Bahkan, ia pun meminjam uang kepada sejumlah sanak family dan akhirnya terkumpul uang sebesar Rp5,7 miliar. Tetapi nasib berkata lain, Made akhirnya tetap diproses hukum oleh KPK.

Sementara itu, Jaksa KPK berkata akan berfikir lebih dulu selama 7 hari. Tetapi seusai sidang, salah satu jaksa yaitu Kiki Ahmad Yani mengakui pihaknya merasa kurang puas atas putusan tersebut. "Catatan masalah Rp1,01 miliar tidak dikabulkan kalau terkait fakta sidang sesuai dengan tuntutan kami," pungkas Kiki.

Meskipun begitu, ia juga mengakui bahwa Made saat ini memang tersangkut perkara lain yang juga berlokasi di Universitas Udayana, yaitu dalam hal pengadaan fisik gedung rumah sakit. Kasus ini sendiri saat ini masih dalam proses penyidikan.

Terkait uang Rp5,7 miliar Kiki mengatakan bahwa uang tersebut memang telah dikembalikan ke negara secara bertahap pada sekitar 2012-2014. Tetapi yang mengembalikan saat itu adalah bendahara pengeluaran Universitas Udayana yang mengatasnamakan PT Mahkota Negara. "Perhitungan kerugian awal Rp5,74 miliar dikembalikan 2012-2014 itu yang mengembalikan bendaraha pengeluaran Udayana atas nama PT Mahkota Negara," pungkas Jaksa Kiki.

BACA JUGA: