JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Agung memang membuat keputusan mengejutkan dengan mengabulkan sebagian upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Angelina Patricia Pinkan Sondakh. Dia merupakan terdakwa kasus korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tampak berang atas keputusan ini. Salah satu komisionernya Laode Muhammad Syarif mengatakan bahwa hal ini sebagai bentuk inkonsistensi Mahkamah Agung (MA) dalam pemberantasan korupsi khususnya dalam perkara ini.

"KPK menyesalkan putusan MA yang tidak konsisten," kata Laode saat dihubungi gresnews.com, Kamis (31/12).

Pernyataan Laode ini memang bisa dipahami. Sebab dalam putusan sebelumnya pada tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis hukuman penjara 12 tahun. Ia juga dijatuhi membayar uang pengganti sebesar Rp12,58 miliar dan US$2,35 juta. Jika tidak membayar maka diganti kurungan selama 5 tahun.

Sedangkan pada putusan PK, wanita yang kerap disapa Angie itu hanya dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Kemudian, MA juga memangkas hukuman denda kepada Angie baik dalam bentuk rupiah dan dollar Amerika.

Mantan Putri Indonesia ini hanya diminta membayar denda sebesar Rp2,5 milar dan US$1,2 juta. Jumlah ini jauh lebih rendah dari yang diputuskan MA dalam majelis kasasi sebelumnya yaitu Rp12,58 miliar dan US$2,35 juta.

KPK TAK MELAWAN - Meskipun hukuman Angie dipangkas sangat besar, tetapi KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab dalam aturan perundang-undangan, penegak hukum tidak bisa mengajukan PK, yang berhak mengajukan upaya hukum luar biasa itu hanyalah terdakwa atau ahli waris.

"Tapi KPK tidak akan ´melawan´ putusan PK di MA. Karena tidak diperbolehkan oleh hukum yang berlaku sekarang," imbuh Laode.

Pada Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Namun dalam perkembangan praktik peradilan sekarang, terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan PK yaitu ahli terpidana, ahli waris atau kuasa hukum terpidana.

Tetapi dalam kasus dengan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto yang melakukan pembunuhan berencana terhadap aktivis Hak Asasi Manusian (HAM) Munir, ada terobosan hukum tersendiri. Pada Pengadilan negeri, ia dihukum selama 14 tahun.

Kemudian saat kasasi, Pollycarpus divonis bebas oleh MA. Jaksa pun tidak terima atas hal tersebut. Kemudian mereka mengajukan PK ke MA dan dikabulkan. Pollycarpus akhirnya dihukum penjara selama 20 tahun.

Sayangnya, Agus mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dijadikan yurisprudensi bagi KPK dalam perkara ini. Sebab, yang pertama melakukan upaya PK adalah Angie, dan lembaga antirasuah ini tidak bisa membalas dengan mengajukan PK kedua. "Itu beda perkaranya, PK diatas PK tidak bisa," terang Laode.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa dalam praktek peradilan saat ini, PK tidak hanya dilakukan oleh para terpidana, ahli waris, maupun kuasa hukum. Tetapi para penegak hukum juga seringkali mengajukan PK dan dikabulkan MA.

Tetapi dalam perkara Angie, KPK tidak bisa melawan putusan MA itu. Meskipun, PK yang diberikan kepada Angie oleh MA terkesan kontroversial. Jika dikonversi dengan nilai rupiah, maka hukuman membayar uang pengganti Angie didiskon lebih dari Rp26 miliar.

"Putusan PK sebagai putusan terhadap upaya hukum luar biasa seharusnya final and binding. Terlepas pro kontranya putusan PK," tutur Indriyanto kepada gresnews.com, Kamis (31/12) malam.

MA MENEPIS TANPA PERTIMBANGAN – Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menepis anggapan lembaganya telah memperingan hukuman terhadap politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh itu tanpa pertimbangan hukum yang jelas. Menurutnya, semua putusan yang diambil oleh hakim agung MA pasti mengacu pada pertimbangan-pertimbangan tertentu.

"Tak mungkin majelis menurunkan begitu saja tanpa ada pertimbangan apapun dan apa sebabnya diturunkannya dendanya," kata Hatta Ali saat menggelar konfrensi pers capaian kinerja MA sepanjang tahun 2015 di Gedung MA, Jakarta Pusat, Rabu (30/12).

Ketika diminta untuk memperjelas pertimbangan putusan majelis hakim yang telah memangkas hukuman terpidana kasus korupsi proyek pembangunan wisma atlet Hambalang itu, Hatta pun berdalih bahwa selaku hakim agung dirinya tidak dapat mengomentari putusan PK yang telah diputuskan oleh tiga hakim agung MA yang memegang perkara mantan Putri Indonesia itu dengan alasan melanggar kode etik hakim.

"Saya tidak boleh komentar, sebab memang sudah kode etik hakim kita tidak boleh komentari putusan. Kita aja nggak boleh komentari putusan sendiri, apalagi putusan teman. Jadi ini saya tidak mau komentar dulu," kata Hatta Ali menanggapi desakan awak media di gedung Mahkamah Agung (MA).

Hanya saja, ia tidak menepis bahwa tiga hakim agung MA telah mengabulkan PK yang diajukan oleh Angie dengan hukuman yang lebih ringan dari putusan sebelumnya. "Yang jelas kalau dari segi amar putusan dari 12 tahun menjadi 10 tahun penjara, dendanya dari Rp12,58 miliar menjadi Rp2,5 miliar. Semua turun," tegasnya.

Pada kesempatan lain, Juru Bicara MA Suhadi juga membenarkan bahwa MA telah mengabulkan upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh. Dalam amar putusannya, kata Suhadi, hakim Agung MA telah menyatakan bahwa Angelina Sondakh terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan melanggar Pasal 12a jo Pasal 18 UU Tipikor No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.

"Surat putusan perkara PK bernomor No.107K/Pid.Sus/2015 telah dikeluarkan pada hari Selasa 29 Desember 2015. Dan benar telah ada pengurangan hukuman seperti yang tadi disampaikan," tutupnya menegaskan.
PASANG SURUT HUKUMAN ANGIE – Siapa yang tak kenal wanita berparas cantik istri dari (Alm) Adjie Massaid? Wanita kelahiran Australia 38 tahun lalu itu sempat populer di dunia model dan fashion sekitar tahun 90an hingga pada tahun 2001 ia berhasil menyandang gelar Putri Indonesia? iya, Angelina Patricia Pingkan Sondakh alias Angelina Sondakh.

Nama Angelina sejak lama menjadi perhatian publik, Angelina dikenal sebagai salah satu artis yang masuk dalam lingkaran politik sekitar tahun 2003 di Partai Demokrat. Pada tahun 2004, Angie pun berhasil masuk ke Senayan dan resmi sebagai salah satu anggota dewan (DPR RI) dari fraksi partai berlambang mercy itu.

Karier politik Angie pun dengan cepat melejit di partai besutan Mantan Presiden RI keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga ia berhasil kembali terpilih sebagai anggota legislatif pada priode 2009 – 2014 lalu.
Tidak tanggung-tanggung, Angie pun sempat dipercaya oleh Partai politik yang telah mengantar SBY berkuasa selama dua periode itu untuk menduduki posisi sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Banggar DPR RI adalah sebuah posisi yang sangat strategis dalam membahas sekaligus menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) baik untuk kebutuhan internal lembaga legislatif, maupun eksekutif dan kementerian.

Tapi sayangnya, nasib karier politik Angie tidak sebagus kariernya di dunia aktris dan model. Pada tahun 2011, Angie tersandung kasus skandal korupsi mega proyek pembangunan sarana dan prasarana wisma atlet Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora RI) yang merugikan uang Negara ratusan miliar rupiah. Angie dapat dikatakan sebagai generasi awal bersama Mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang digarap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ditetapkannya Angie sebagai tersangka oleh lembaga AntiRasuah tahun 2011 lalu sontak saja mengagetkan publik, pasalnya wanita yang memiliki satu orang putra dari alm.Adjie Massaid itu dikenal sebagai seorang wanita yang sangat supel oleh masyarakat pemilihnya. Ternyata, sebagai anggota Banggar DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Angie juga terbukti sangat supel di gedung parlemen sehingga mampu menggolkan mega proyek pembangunan wisma atlet bersama Nazaruddin, dan dalam kasus ini pun KPK tidak hanya menetapkan status tersangka kepada dirinya semata, melainkan meringkus tersangka lain yang berasal dari Partai PDI Perjuangan yaitu, I Wayan Koster.

Tidak hanya itu, ditangkapnya Angie oleh penyidik KPK juga telah berdampak pada prahara politik untuk internal Partai berlambang Mercy itu. Sebab, dari tindak kejahatan korupsi di lingkungan Kemenpora ini, KPK juga menyikat Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Malarangeng dan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Kasus yang melibatkan Angie dan sejumlah elit politik partai Demokrat ini lah yang digadang-gadang sebagai tsunami politik untuk Partai Demokrat yang berimbas pada kekalahan pada Pemilu 2014 lalu.

Perjalanan proses hukum Angie pun memiliki dinamika yang cukup menarik. Angie awalnya sempat divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Vonis hakim Tipikor itu sangat tergolong ringan, padahal Angie disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara 3 pasal alternatif tersebut, Pasal 12 huruf a memuat ancaman hukuman paling berat.

Tidak terima dengan vonis hakim yang tergolong ringan, KPK pun kemudian mengajukan banding, dan upaya banding KPK pun berbuah pahit untuk artis yang sempat dikabarkan dekat dengan salah seorang penyidik Mabes Polri Kompol Raden Brotoseno usai wafatnya Adjie Massaid itu.

Pada tingkat Banding tahun 2013 silam, Hakim MA yang ketika itu dipimpin oleh Artidjo Kautsar telah memvonis Angie dengan hukuman pidana 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp500 juta rupiah. Dan Angie pun diwajibkan membayar uang pengganti kepada Negara sebesar Rp12,58 miliar dan USD 2,35 juta (sekitar Rp27,4 miliar). Putusan Artidjo Kautsar pun disambut baik oleh para pegiat anti korupsi ketika itu. Sebab, vonis untuk Angie itu jauh lebih berat dibanding vonis sebelumnya yang hanya memvonis 4 tahun 6 bulan penjara.

Dalam pertimbangannya, Hakim Artidji Alkaotsar menilai Angie memiliki peran aktif bersama Mindo Rosalina Manulang dalam upaya menggolkan proyek di Kemenpora yang menyebabkan kerugian Negara ratusan miliar rupiah ini. Dan Hakim pun mengenakan Angie dengan Pasal 12 huruf A yang menyatakan, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, dianggap melakukan tindak pidana korupsi. Ancamannya, pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun ditambah denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Tak terima dengan hukuman yang sangat tinggi, Angie pun kembali melakukan upaya hukum yang lebih tinggi yaitu Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum luar biasa yang diajukan Angie berbuah manis. Pada tanggal 29 Desember 2015, Majelis Hakim Agung MA yang diketuai Syarifuddin dan Ketua Muda MA bidang pengawasan dengan anggota hakim Andi Samsan Nganro, dan hakim adhoc tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi Syamsul Rakan Chaniago telah mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana wanita yang akrab dengan sebutan Angie itu dengan memberikan hukuman pidana 10 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp2,5 miliar dan US$1,2 juta. Dengan keluarnya putusan PK itu berarti Angie kembali bisa bernafas lega karena vonis Hakim Agung MA telah memangkas kewajiban yang harus diganti oleh Angie kepada negara. (Rifki Arsilan)

 

BACA JUGA: