JAKARTA, GRESNEWS.COM – Tingginya jumlah gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) yang saat ini sudah terdaftar ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu bukti bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak pada 9 Desember lalu meninggalkan berbagai persoalan. Dari money politik, dugaan keterlibatan oknum penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon tertentu, hingga dugaan melibatkan pegawai negeri sipil (PNS) oleh pasangan calon yang notabene sebagai petahana atau incumbent telah mendominasi alasan dilayangkannya gugatan PHPKada oleh pasangan calon yang kalah ke MK.

Jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2015 tentang penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, MK hanya akan melakukan pemeriksaan terhadap gugatan yang memiliki selisih suara maksimal dua persen, bukan gugatan yang berlandaskan pelanggaran Pilkada seperti halnya kebanyakan yang diajukan oleh para penggugat, yaitu pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Lalu, bagaimana nasib ratusan gugatan PHPKada yang saat ini sudah terdaftar di MK?

Direktur Riset Setara Institute Ismail Husaini mengatakan, jika mengacu pada alasan itu, kemungkinan besar banyak gugatan sengketa pilkada yang kini terdaftar di MK akan gugur lantaran tidak memenuhi syarat formil atau legal standing sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Calon Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota (UU Pilkada).

"Hasil riset Setara Institute hanya sekitar 21 gugatan saja yang akan diterima dan diperiksa MK, sementara sekitar 100 lebih gugatan yang masuk ke MK akan dipastikan gugur karena berbenturan dengan syarat formil selisih perolehan suara yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada," kata Ismail, Sabtu, (26/12).

Menurutnya, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang telah mengacu pada ketentuan perolehan selisih suara itu membuat kandas ratusan gugatan yang diajukan pasangan calon yang merasa dirugikan oleh pesaingnya pada kontestasi Pilkada serentak beberapa waktu lalu. Dengan demikian, lanjut Ismail, sebaiknya pemerintah memberikan perhatian khusus perihal gugatan yang kemungkinan besar akan digugurkan oleh MK itu.

Berikut ini adalah ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang dijadikan batas selisih perolehan suara oleh MK :
(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; dan
d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dan
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.


ABAIKAN PRINSIP JURDIL – Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, PMK Nomor 4 Tahun 2015 telah mengabaikan prinsip pemilu yang Jujur, Adil, Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Jurdil dan Luber). Pasalnya, dalam PMK tersebut MK hanya sekedar menterjemahkan secara ala kadarnya Pasal 158 UU Pilkada tanpa mempertimbangkan kondisi penyelenggaraan Pilkada yang saat ini masih jauh dari harapan publik.

Ia menambahkan, dengan ditetapkannya batas maksimal selisih suara sesuai dengan pasal 158 UU Pilkada, artinya MK telah menutup mata terkait masih maraknya pelanggaran pemilu yang terjadi di Indonesia. Sebab, dalam pelaksanaan pemilu, lanjut Titi, tidak menutup kemungkinan selisih perolehan suara pilkada lebih dari batas maksimal dua persen suara.

“Syarat selisih itu sebenarnya bisa saja diterapkan dengan syarat proses pilkada sudah berjalan dengan jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia (Jurdil dan Luber). Dan juga sudah ada jaminan dari Mahkamah bahwa perjalanan pemilu di Indonesia sudah tidak ada kejahatan dalam proses pemilu,” kata Titi Anggraini kepada gresnews.com melalui sambungan seluler, Minggu (27/12).

Sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan perselisihan suara dalam pilkada, lanjut Titi, seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) berpatokan pada Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan calon Gubernur, Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan Wakil Walikota harus berjalan dengan Jurdil dan demokratis. Dengan demikian, MK harusnya dapat mengabaikan Pasal 158 UU Pilkada tentang selisih suara pasangan calon yang kemungkinan besar diperoleh dengan cara yang tidak sehat atau dengan kata lain penuh dengan kecurangan dan kejahatan.

"Jadi Mahkamah Konstitusi (MK) harus bisa tidak semata-mata tunduk dengan pasal 158 UU Pilkada itu. tetapi betul-betul sebagai pengadilan pemilu yang bertugas menegakan dan pelaksanaan pilkada dengan jurdil dan demokratis," ujarnya.

Ia pun tidak menafikan bahwa saat ini pihaknya memperoleh informasi terkait dengan adanya pemufakatan jahat antara pasangan calon dengan pihak penyelenggara pemilu di sejumlah daerah sehingga proses pilkada 9 Desember lalu berjalan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi sebagaimana mestinya. Sehingga, ia pun menyarankan kepada para penggugat untuk dapat membuktikan dugaan pelanggaran yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mempersiapkan berbagai alat bukti, saksi-saksi, serta argumentasi yang dapat mematahkan syarat formil yang telah ditetapkan oleh MK dalam PMK Nomor 4 Tahun 2015 terkait dengan batas maksimal selisih perolehan suara.

"Kami meminta Mahkamah agar dapat membebaskan diri dari ketentuan Pasal 158 ini, dan dapat melihat suatu permohonan itu agar lebih substansial, karena bisa jadi selisih suara melampuiPasal 158 dan diperoleh dari kecurangan pilkada yang TSM," ujarnya.


MEMPERSOALKAN TSM – Anggota Careteker Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert Jojo Rohi mengaku, sejak awal tidak setuju dengan batasan maksimal dua persen selisih atau pelanggaran tersebut. Sebab, belajar dari pilkada lalu, pelanggaran diatas dua persen itu sangat sering terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi pada pilkada serentak akhir tahun ini.

Ia pun menilai, PMK Nomor 4 Tahun 2015 yang menjadikan Pasal 158 UU Pilkada sebagai syarat formil dalam mengajukan gugatan tersebut akan membuka ruang konflik di lapangan. Ia menyayangkan, PMK yang seharusnya dapat menyaring atau meminimalisir konflik di lapangan, justru secara tidak langsung mengharapkan konflik terjadi di lapangan dengan membuat batasan selisih hasil suara tersebut.

"Terjadi kecurangan, sebagaimana TSM itu kan lebih dua persen. Kalau dibatasi dua persen maksimal berarti ini menutup seolah-olah tidak mungkin terjadi pelanggaran diatas dua persen, maka Artinya, electoral justice itu kan dikasih palang pintu dengan adanya ketentuan ini. Ini tidak ada kanalisasinya, karena tidak ada kanalisasinya potensi konflik di daerah itu menjadi sangat rawan. Salah satu fungsi MK itu adalah sebagai lembaga yang dapat menyerap konflik yang kemungkinan terjadi dari proses pemilu ini, dengan begini kan tidak ada yang bisa menyerap konflik," ujarnya.

Sebagaimana diketahui hingga hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima sekitar 147 gugatan PHPKada. Gugatan ke MK masih didominasi dengan temuan pelanggaran pemufakatan jahat yang diduga melibatkan peserta calon dan pihak penyelenggara pemilu di berbagai daerah, sehingga kebanyakan pemohon gugatan PHPU mempersoalkan tindak pelanggaran pemilu terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).

Diantara pasangan calon yang mempersoalkan TSM adalah, calon walikota Tangerang Selatan (Tangsel) Ichsan Modjo dan Li Claudia Chandra, calon nomor urut 1 itu merasa menjadi korban dari oknum penyelenggara Pemilu di Kota Tangsel yang secara langsung atau pun tidak langsung telah membiarkan pasangan calon nomor urut 3, Airin Rachmy dan Benyamin Davnie melakukan kecurangan yang berdampak pada kekalahan bagi Ichsan – Claudia.

Kuasa hukum Paslon Ichsan – Claudia, Habiburrahman mengakui, salah satu alasan pihaknya mengajukan gugatan ke MK lantaran telah memiliki sejumlah bukti pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) yang dilakukan oleh lawan politiknya yang notabene sebagai calon incumbent di Kota Tangsel. Ia mengaku memiliki sekitar 30 bukti pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon yang telah ditetapkan sebagai pemenang di Kota Tangsel, yaitu Airin Rachmy – Benyamin Davnie.

Menurutnya, pasangan incumbent itu telah menggunakan program daerah sebagai ajang kampanye terselubung, dan hal itu, menurutnya telah dibiarkan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Tangsel. "Padahal pelanggaran yang dilakukan secara TSM itu sudah kami laporkan ke Panwaslu, tapi tidak ditindaklanjuti. Makanya kita melakukan langkah (gugatan) ini," ucap Habiburrahman saat ditemui usai mengajukan gugatan PHPKada di Gedung MK beberapa waktu lalu.

Namun jika mengacu pada hasil rekapitulasi suara KPUD Tangerang Selatan, perolehan suara yang didapatkan pasangan nomor urut 1 itu memiliki selisih lebih dari dua persen selisih suara dengan pasangan calon nomor urut 3, Airin Rachmy Diany dan Benyamien Davnie. Hasil rekapitulasi perolehan suara Pilwalkot Tangsel, KPUD Tangsel menyatakan bahwa Pasangan calon nomor urut 1, Ichsan Modjo – Li Claudia Chandra memperoleh suara 42.074 suara, sementara pasangan calon nomor urut 3, Airin Rachmy – Benyamin Davnie unggul jauh dengan memperoleh suara 305.322 suara dari total 502.128 suara sah, sedangkan suara yang tidak sah ada 16.978, total sekitar 529.106 suara yang berpartisipasi di pilkada 9 Desember lalu, dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) 934.674 daftar pemilih.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah satu tim sukses pasangan calon walikota Lampung, Tobroni Harun – Komaru Nizar, Ridwan Thalib. Ia mengatakan, pihaknya telah menemukan bukti pelanggaran yang dilakukan oleh calon incumbent yang bertarung dalam Pilkada serentak 9 Desember lalu. Ia mengaku, ada mobilisasi pegawai yang dilakukan oleh calon incumbent mulai dari tingkat Kecamatan, kelurahan, RW, bahkan hingga tingkat RT.

"Jadi memang ada pelanggaran TSM. Selain itu para tahanan di Lembaga Pemasyarakatan juga tidak mendapatkan hak pilih. Kita sudah melaporkan ini tapi tidak ditindaklanjuti, makanya kita tetap menempuh jalur ini sekarang," ungkap Ridwan. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: