JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus suap kepada para hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan berbuntut panjang. Perkara ini menjadi asal muasal penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung penetapan tersangka Patrice Rio Capella, politisi Partai NasDem, partai yang sama dengan Jaksa Agung H.M Prasetyo.

Kasus PTUN berawal dari pemanggilan Pelaksana harian Sekretaris Daerah (Sekda) Sabrina dan juga Kepala Biro Keuangan Pemprov Sumatera Utara Ahmad Fuad Lubis sebagai terperiksa kasus korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB) dan juga Dana Penyertaan Modal BUMD.

Nah, dari sinilah kasus ini muncul, sebab dalam pemanggilan tersebut tertera mereka diperiksa dengan tersangka Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Padahal, perkara ini masih dalam proses penyelidikan.

Mendengar hal itu, Gatot terlihat panik. Ia lantas mendiskusikan hal ini bersama pengacaranya, Otto Cornelis Kaligis. Tak lama kemudian diadakanlah pertemuan di suatu rumah makan yang dihadiri oleh Ahmad Fuad Lubis, Gatot dan istrinya Evy Susanti, serta Sabrina.

Dari pertemuan itu, OC Kaligis meminta Fuad dan Sabrina memenuhi panggilan Kejaksaan Agung. Ia juga meminta kepada Gatot dan Evy untuk menggugat ke PTUN Medan atas panggilan tersebut.

"Saya dan istri sebenarnya tidak menyetujui, tapi karena terus diminta Pak Kaligis, akhirnya kita menyetujuinya," kata Gatot saat menjadi saksi dengan terdakwa Syamsir Yusfan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada Kamis (22/10).

Tetapi Evy Susanti tampak tidak puas, ia meminta OC Kaligis juga ikut mengamankan perkara tersebut di Kejaksaan. OC Kaligis pun menyanggupinya dengan syarat, biaya yang akan dikeluarkan oleh Evy akan jauh lebih besar.

"Bapak (OC Kaligis) mau jamin amankan supaya itu tidak dibawa ke gedung bundar (markas Kejaksaan Agung). Jadi kalau itu (PTUN) sudah menang enggak akan ada masalah katanya di gedung bundar pak," kata Evy dalam transkip percakapan dengan orang dekat Gatot, Mustafa.
LOYALITAS GANDA - Transkip percakapan Evy Susanti mengenai kesanggupan OC Kaligis mengamankan perkara di Gedung Bundar yang identik dengan Kejaksaan Agung menjadi pertanyaan tersendiri mengenai independensi Jaksa Agung HM Prasetyo.

Masalahnya ketika itu OC Kaligis merupakan Ketua Dewan Kehormatan Partai NasDem yang menjadi tunggangan Prasetyo ketika menjadi anggota DPR RI. Terlebih lagi, Patrice Rio Capella yang juga menjabat Sekjen Nasdem telah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus pengamanan perkara di Kejaksaan Agung.

Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Anam mengatakan bahwa Prasetyo sepertinya mempunyai beban politik tersendiri dalam mengemban tugas. Kemampuannya mengomandani Kejaksaan Agung diragukan meskipun ia merupakan mantan Jaksa Agung Tindak Pidana Umum (Jampidum), tetapi ia telah menjadi kader Parta Nasdem.

"Jadi saya ragukan sekarang, jangan-jangan loyalitasnya ke parpol bukan ke presiden," kat Chairul dalam sebuat diskusi di Jakarta, Sabtu, (24/10).

Untuk itu menurutnya Jaksa Agung semestinya berasal dari internal Kejaksaan itu sendiri sehingga tidak mempunyai beban politik. "Lebih baik, jaksa agung itu orang karir, profesional. Kebebasan sekarang bisa dihambat kalau parpol kuat mempengaruhi pimpinan. Artinya, betul-betul harus independen," sambung Chairul.

Hal senada dikatakan oleh Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Donal menegaskan bahwa kasus dana bansos mengkonfirmasi apa yang dikuatirkan selama ini tentang indepedensi Jaksa Agung yang berasal dari partai politik. ICW mengkuatirkan telah terjadi loyalitas ganda.

"Kejadian akhir-akhir ini mengkonfirmasi apa yang kita kritisi. Jaksa Agung dan Menkumham. Adanya pertemuan di Partai Nasdem terkait kasus bansos, tentu ada relasi antara Rio Patrice Capella (PRC) dan Jaksa Agung sebagai kader partai. Dalam kondisi ini, muncul apa yang kita sebut loyalitas ganda," ujar Donal.

KINERJA MINIM JAKSA AGUNG - Sementara itu, peneliti ICW lainnya Lalola Easter pun mengungkapkan banyaknya catatan negatif terkait kinerja Kejaksaan Agung terutama perihal pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor). Diantaranya, pendirian Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Tipikor yang hingga kini tak jelas hasil kerjanya.

Prasetyo juga dianggap tidak memiliki inovasi, sehingga kinerjanya akhir-akhir ini tidak memuaskan. Perkara bansos pun hingga saat ini belum ada tersangka, padahal ketika itu Gatot menyebut surat panggilan kepada anak buahnya untuk diperiksa dengan tersangka Gubernur Sumatera Utara.

"Seperti yang saya sampaikan tadi, apa yang sudah dikerjakan merupakan hasil kerja Jaksa Agung sebelumnya," ujar Lola, Minggu (25/10).

Selain itu, eksekusi aset Yayasan Supersemar milik keluarga cendana sebesar Rp4,4 triliun juga belum dilakukan. Padahal, kasus ini sendiri sudah diputus Mahkamah Agung sejak beberapa bulan lalu.

BPK juga memiliki catatan piutang Kejagung dari eksekusi uang pengganti. Menurut catatan sebesarnya Rp11 triliun, US$215,762 juta dan SGD 34,9 ribu. Itu menunjukan kerja kejaksaan terhadap aset recovery tidak maksimal.

"Bahkan mereka tidak punya konsen terhadap ini. Sibuk dengan urusan lain yang kecil-kecil," tutur Lola.

BANTAHAN PRASETYO - Gresnews.com sudah mencoba menghubungi Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Amir Yanto, tetapi hingga berita ini diturunkan telepon selularnya tidak aktif.

Prasetyo sendiri memang pernah membantah keterlibatannya dalam pengamanan kasus bansos. Menurutnya, tidak ada satupun kader Partai Nasdem seperti Ketua Umum Surya Paloh dan Rio Capella bertemu dirinya untuk membicarakan hal itu.

"Saya kenal dengan Rio Capella, kami sesama bekas anggota Partai Nasional Demokrat. Tapi tidak pernah sekalipun dia ke tempat saya untuk bicara perkara (bansos)," kata Prasetyo.

Menurutnya, semenjak ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Korps Adhyaksa, tidak ada satupun petinggu Nasdem yang mencoba mengintervensi kewenangannya. Prasetyo berdalih, selama ini dirinya bekerja sesuai peraturan yang ada di Kejaksaan Agung.

BACA JUGA: