JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung mulai menginventarisir aset-aset milik Yayasan Supersemar untuk dilakukan eksekusi. Surat kuasa khusus (SKK) dari Presiden Joko Widodo sebagai legal standing permintaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diterima Kejaksaan Agung sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) pada 13 Oktober 2015.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatus) Noor Rochmad mengaku telah membentuk tim PJN untuk menelusuri keberadaan aset-aset Yayasan Supersemar. Tim JPN telah meminta Tim Intelijen dan Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk menghitung aset yang dimiliki Yayasan Supersemar saat ini.

Noor menegaskan, tim JPN tersebut untuk melancarkan eksekusi aset oleh Pengadilan Jakarta Selatan sesuai dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Dari sejumlah aset Yayasan Supersemar, Kejaksaan Agung mengaku yang terlihat aset tanah.

"Kami telah minta bantuan intel dan PPA untuk inventarisir aset yang masuk kriteria yang dapat dieksekusi itu apa saja. Tunggu saja hasilnya," kata Noor Rochmad di Kejaksaan Agung, Jumat (23/10).

Seperti diketahui, dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) pada 8 Juli 2015 Yayasan Supersemar diharuskan membayar US$ 315 juta dan Rp139,2 miliar kepada negara atau totalnya sebesar Rp4,4 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Putusan diambil oleh ketua majelis Suwardi, Soltoni Mohdally dan Mahdi Sorinda setelah mengabulkan PK yang  diajukan negara cq Presiden RI.

MA sebelumnya telah mengeluarkan putusan atas permohonan kasasi yang diajukan Presiden RI, yang diwakili Jaksa Agung, atas tergugat I, yaitu mantan Presiden RI, HM Soeharto, dan tergugat II, yaitu Yayasan Supersemar. Namun, salah ketik nominal terjadi dalam putusan itu terkait angka ganti rugi yang harus dibayarkan tergugat.

Setelah diperbaiki dalam pemeriksaan peninjauan kembali (PK), Soeharto dan Yayasan Supersemar harus membayar US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, maka uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau semuanya menjadi Rp 4,389 triliun.

Kasus bermula saat pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta US$ 420 juta, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar. Negara mengajukan ganti rugi materiil US$ 420 juta dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.

Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah karena menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.

JURUSITA SIAP EKSEKUSI - Eksekutor putusan PK perkara Yayasan Supersemar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang menunggu surat permohonan dari Kejaksaan Agung untuk pelaksanaan eksekusi. Sesuai UU Kehakiman, untuk eksekusi dilakukan oleh juru sita dalam panitera Pengadilan Jakarta Selatan.

Kepala Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna mengatakan, dirinya belum menerima permohonan eksekusi perkara Yayasan Supersemar dari Kejagung untuk eksekusi. Pengadilan mengaku telah berkirim surat beberapa waktu lalu terkait putusan PK dalam perkara Supersemar.

"Saat ini, belum ada pengajuan permohonan eksekusi dari Jaksa Pengacara Negara," ujar Made.

Made menegaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah siap melakukan eksekusi. Setelah mendapatkan surat permohonan, panitera akan mempertemukan pihak Kejagung dan Yayasan Supersemar. Dalam pertemuan yang difasilitasi PN Jakarta Selatan nanti, pengurus Yayasan akan diminta untuk melunasi denda sebesar Rp4,4 triliun lebih dalam waktu delapan hari.

Jika pembayaran secara sukarela tidak terpenuhi dalam waktu yang ditentukan, maka PN Selatan dapat melakukan penyitaan secara paksa.

TAK TEPAT - Pengacara keluarga Cendana, Juan Felix Tampubolon menyatakan putusan MA tersebut kurang tepat. Fakta-fakta dan bukti di persidangan sama sekali tidak mendukung posita apalagi petitum kejaksaan pada saat itu. Semua bukti dokumen hanyalah fotokopi. Saksi yang diajukan jaksa juga tidak relevan dan tidak mendukung dalil-dalil jaksa.

Juan menyampaikan, pihak keluarga Cendana belum memutuskan langkah untuk merespon putusan MA tersebut. Namun ditegaskan Juan, pihak Cendana diwajibkan untuk menghormati putusan pengadilan.

Sebelumnya Putri Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, mengaku bingung atas putusan Mahkamah Agung yang menyebut Yayasan Supersemar menyelewengkan uang negara dan diminta mengembalikan kerugian negara yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 4 triliun. Menurut Titiek, Yayasan Supersemar sudah bangkrut dan pemerintah tidak dapat menuntutnya untuk mengembalikan kerugian negara.

"Kami enggak salah dan bukan keluarga yang dituntut. Yayasan harus bayar uang segitu, ini uang yayasan sudah habis, duitnya bangkrut," kata Titiek, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8).

Titiek menjelaskan, Yayasan Supersemar didirikan oleh Presiden Soeharto pada 1974 untuk memberikan beasiswa pendidikan. Sumber dana yayasan tersebut adalah lima persen laba bank pemerintah dan sumbangan pihak swasta sesuai Peraturan Presiden Tahun 1976 yang diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan saat itu.

"Pemerintah saat itu belum sanggup menyekolahkan seluruh rakyatnya. Jadi didirikanlah yayasan ini, menampung sumbangan dari konglomerat, dari bank pemerintah, " ucap Titiek.

Perpres mengenai Yayasan Supersemar tersebut kemudian dicabut pada era reformasi. Titiek menyebut, Yayasan Supersemar hanya menerima Rp 309 miliar dari laba bank pemerintah dan sumbangan konglomerat. Sedangkan anggaran yang dikeluarkan Yayasan Supersemar untuk beasiswa pendidikan mencapai Rp 504 miliar.

Selama Yayasan Supersemar berdiri, kata Titiek, beasiswa telah diberikan kepada 2.007.500 siswa dan mahasiswa. Sekitar 70 persen penerima Beasiswa Supersemar adalah mahasiswa dari universitas negeri.

BACA JUGA: