JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah membubarkan PT Pertamina Energy Trading Limted (Petral) sebagai anak usaha Pertamina yang selama ini menjadi perantara pembelian minyak sang induk tampaknya sudah bulat. Sejak dibentuknya Integrated Supply Chain (ISC), pembelian minyak yang dilakukan Pertamina tidak melalui Petral yang bermarkas di Singapura.

Pertamina melihat ISC sebagai unit bisnis langsung di dalam perseroan dan sudah berjalan lancar, sehingga menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno, Petral tidak dibutuhkan lagi. Rini pun memastikan tahun 2015 pemerintah akan memutuskan sikapnya mengenai hal tersebut, agar inefisiensi dapat ditekan dalam tata kelola Pertamina.
 
Hanya saja, menurut Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (SPKP) Binsar Effendi Hutabarat ISC, jika dalam bisnisnya tidak transparan, maka akan berpotensi untuk menjadi seperti Petral. Indikasinya, proses tender perdana crude oil ISC pada 7 Januari 2015, realitanya justru berlangung tertutup.

"Publik tidak sama sekali mengetahui proses tender yang diadakan oleh ISC tersebut, padahal tender pengadaan minyak itu sendiri diketahui untuk memenuhi kebetuhan minyak dalam negeri," kata Binsar dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Minggu (26/4).

Ada dua jenis minyak mentah yang ditenderkan ISC, yaitu dari Qua Iboe/bonny light Nigeria dan Azeri Azrbaijan berkisar 4 juta barel. Yang bikin miris dari informasi yang berkembang, peserta tender tersebut bukanlah National Oil Company (NOC) yang dimenangkan, meski tidak memiliki penawaran terendah.

"Hal ini sangat bertentangan dengan aspek transparansi pengelolaan migas, dan sangat tidak menyentuh substansi permasalahan tata kelola migas di Indonesia," kata Binsar.
 
Jika aksi ini dibiarkan berlangsung maka pemberantasan mafia migas yang digalakkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lewat pembentukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) dengan berbagai rekomendasi tidak memberikan solusi yang efektif dan berbuntut gagal.

"Dalam proses tender yang baru selesai ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus turun tangan memeriksa proses tender crude oil ISC yang dilakukan secara tertutup, sebab impor crude oil itu akan diolah menjadi BBM premium dan solar yang masih disubsidi pemerintah. Artinya ada pengunaan dana APBN untuk membeli crude oil tersebut," ujar Binsar.
 
Binsar mengaku, SPKP tidak mempersoalkan Petral mau dibubarkan atau peran Petral sebagai trading arm akan dipegang oleh Pertamina Energy Services (PES) yang saat ini berkantor di Singapura. Dan selanjutnya, aset-aset milik Petral yang antara lain berada di Hong Kong akan diambil oleh Pertamina.

"Hal ini terkait dengan stigma buruk Pertamina selama ini lantaran adanya Petral, yang oleh publik dituding sarang mafia migas," kata Binsar.
 
Hanya saja setelah Petral bubar, proses tender minyak yang dilakukan ISC mesti dijamin transparan. Pasalnya, tahun 2015 ini, diperkirakan ISC membutuhkan impor crude oil sebanyak 9 juta barel per bulan atau 336.000 barel per hari (bph) dan impor premium 115 juta barel setahun, solar 32 juta barel setahun. Rinciannya, impor premium, avtur, solar, dan pertamax mencapai 200 juta barel setahun, dan crude oil 100 juta barel setahun.

"Dengan tekad menghilangkan mata rantai bisnis atau pasokan impor sejumlah 300 juta barel, ISC katakan bisa create value sekitar 30-40 sen per barel, tentu perlu dibuktikan nantinya apakah ISC mampu memenuhi kebutuhan impor BBM yang tinggi itu," kata Binsar.

Jika prosesnya tidak transparan, Binsar ragu ISC akan mampu memasok minyak sesuai kebutuhan. Tidak transparannya tender pengadaan minyak ini, kata dia, terlihat pada tender pertama pengadaan crude oil pada 22 Januari 2015 untuk pemenuhan kebutuhan April 2015 dengan dua tender minyak yang dilakukan oleh ISC seperti pengadaan medium crude oil sebanyak 2x600 juta barel dan heavy crude oil sebanyak 2x950 juta barel.

Dalam tender tersebut, kata dia, dari 62 perusahaan mitra dari berbagai negara seperti Singapura, Taiwan dan Korea, ISC akhirnya memutuskan dua perusahaan untuk memasok crude oil, yaitu Vitol untuk memasok medium crude oil dan Alzerbaijan untuk memasok heavy crude oil. Hal serupa juga terjadi pada pengadaan Pertamax untuk kebutuhan Februari 2015 sebanyak 140 juta barel.

Dalam tender yang penawaran dimulai pada 28 Januari 2015 dan ditutup 30 Januari 2015 itu, diundang 107 perusahaan untuk mengikuti tender tersebut. Anehnya, ISC hanya memutuskan satu perusahaan yang berhak untuk memasok Pertamax, yaitu Unipex, anak usaha perusahaan migas China Sinopec, yang punya refinery.
 
Jadi, menurut Binsar, dalam konteks menghapus mafia migas, tidak cukup hanya merombak wadah seperti dari Petral dialihkan ke ISC yang belum tentu akan menyelesaikan persoalan mafia migas di Indonesia. "Keberadaan mafia migas berada dari hulu hingga hilir. Tidak cukup kita puas membubarkan Petral. Dengan Petral dibubarkan tanpa memperbaiki sistem tata kelola migas yang sesuai dengan amanat Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1845, dipastikan akan merugikan negara dan membebani rakyat juga" katanya.
 
Dikatakan Binsar, hal yang kerap merugikan Indonesia yakni sistem yang diterapkan pada ekspor dan impor minyak di Indonesia masih menggunakan harga spot market. Sehingga selisih antara konsumsi dengan produksi minyak di Indonesia saat ini masih harus dibenahi. "Sistem ekspor impor minyak bumi harus dibenahi. Pembelian secara spot market diperbaiki, sistem ekspor impor BBM dibenahi," pungkasnya.
 
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 002/PUU-1/2003 tentang Uji Materi UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, yang melarang harga jual BBM dalam negeri mengikuti mekanisme pasar juga harus diperhatikan oleh ISC. Sebab dengan adanya ISC, kata Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu, harga minyak tidak langsung menjadi murah karena harga BBM mempunyai variabel yang banyak. Alasannya, premium adalah produk Pertamina dari kilang yang tidak efisien.
 
Bagi SPKP menurut Binsar, harga jual BBM sesuai putusan MK harus memperhatikan kemampuan daya beli rakyat, sehingga harus berharga murah. Artinya, imbuh Binsar, sekalipun ada kekompakan antara Menteri BUMN, Menteri ESDM dan Dirut Pertamina cukup kuat untuk membubarkan Petral, harga minyak harus tetap dijamin murah.

Binsar mengatakan, SPKP tetap berpegang prinsip pada hak konstitusional setiap warga negara terhadap kekayaan migas yang dikuasai negara, adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. "Dengan demikian Petral boleh bubar tapi harga BBM untuk rakyat harus murah dan tidak ada kelangkaan," pungkasnya.

BACA JUGA: