JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Susilo memastikan tujuh pabrik pengolahan dan pemurnian bahan tambang (smelter) senilai US$1,4 miliar sebagai bagian dari upaya hilirisasi siap beroperasi tahun 2015. "Sudah siap beroperasi tujuh smelter baru, terdiri dari satu smelter alumunium dan enam smelter nikel," kata Indroyono seperti dikutip setkab.go.id, Kamis (19/3).

Indroyono mengatakan dengan adanya smelter ini berarti Indonesia bisa memperoleh nilai tambah dari proses hilirisasi, yang dalam jangka panjang bermanfaat untuk mendorong peningkatan sektor ekspor nasional. "Dengan membangun smelter, bisa mengolah bijih di dalam negeri. Itu nilai tambah tinggi sekali. Bijih nikel kalau kita jual mentah 50 juta ton harganya 2 miliar dolar AS, tetapi kalau kita olah didalam negeri itu 4 juta ton menghasilkan 1 miliar dolar AS," ujarnya.

Indroyono menambahkan pemerintah akan mempercepat investasi proyek smelter lainnya, yang masih tertunda, melalui berbagai kerjasama dengan perusahaan swastabmaupun lembaga non profit serta lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan ITS Surabaya yang bisa membantu percepatan pembangunan smelter berkapasitas kecil.

"Pembangunan smelter untuk mineral kita coba untuk dipercepat. Termasuk pembangunan yang baru. Nanti banyak sekali mulai 2015-2019 yang selesai dibangun dan beroperasi baik nikel, bijih besi, pasir besi dan alumunium," kata Indroyono.

Sebelumnya, tarik-menarik kepentingan terkait penerapan kewajiban pembangunan smelter bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia memang sangat kuat. Khususnya jika menyangkut perusahaan multinasional seperti Freeport.

Beberapa kali pemerintah seperti takluk dan selalu memberikan keistimewaan kepada Freeport. Bahkan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan selalu memberikan pilihan kepada Freeport untuk merealisasikan pembangunan smelter, sayang pembangunan tersebut tertunda akibat kendala infrastruktur.

Meski Freeport sudah menunjuk pembangunan pabrik smelter di Gresik, pemerintah tetap mendorong Freeport membangun smelter di daerah Papua. "Kita dorong Freeport bangun pabrik smelter di Papua. Meski semuanya harus ada kompromi," kata Sudirman, beberapa waktu lalu.

Terkait hal ini, pengamat ekonomi Agus Tony Poputra mengatakan pemerintah harus melihat dari perspektif keadilan atas nilai tambah. Sebab, keadilan nilai tambah tidak sekedar dilihat dari sudut pandang Indonesia dan luar negeri. Namun juga antar daerah di Indonesia. Dia menambahkan selama ini pengolahan terkonsentrasi hanya di pulau Jawa dan nilai tambahnya juga hanya dinikmati di pulau Jawa.

Disisi lain, daerah di luar Jawa sebagian besar hanya hidup dari bahan mentah. Menurutnya jika pembangunan smelter di pulau Jawa maka akan memperlebar kesenjangan antara Jawa dan luar jawa. Pembangunan smelter di Jawa Timur akan membawa masalah terkait limbahnya, mengingat Jawa Timur merupakan daerah yang terpadat.

"Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah yang lebih bijak untuk menciptakan keadilan antar wilayah di Indonesia," kata Agus kepada Gresnews.com.

Freeport memang kerap menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk bisa mendapatkan nilai tambah dari kekayaan alam Indonesia yang mereka keduk selama berpuluh tahun. Dewan Perwakilan Rakyat sudah mendesak pemerintah untuk benar-benar mengkaji ulang perjanjian dengan PT Freeport.

Pasalnya, DPR melihat kontribusi perusahaan tersebut selama ini amatlah kurang bagi bangsa Indonesia. Sehingga perpanjangan kontrak dan perjanjian lainnya harus memberikan kontribusi positif bagi bangsa.

Selama ini kontribusi PT Freeport kepada Indonesia khususnya masyarakat asli Papua dirasa sangat kurang. Oleh karena itu, DPR menilai perlu dilakukan evaluasi khusus secara mendalam.

"Masalah kontribusi Freeport kepada Pemerintah ini penting. Saya rasa perlu dievaluasi benar," tegas  Ketua DPR RI Setya Novanto di Kompleks Parlemen, beberapa waktu lalu.

Dalam rapat konsultasi dengan pemerintah, DPR menyoroti masalah perpanjangan kontrak dan pembangunan smelter oleh PT Freeport. Perpanjangan kontrak perusahaan ini dinilai melanggar Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Sebab dilakukan tanpa bermusyawarah dengan Rakyat Papua dan juga tidak berkonsultasi dengan DPR RI.

"Soal Freeport, pertama itu tentu menyalahi aturan Undang-undang, makanya kita sudah minta kepada Menteri ESDM melalui Presiden supaya ini betul-betul dilihat dan dikaji," katanya.

Tak hanya masalah kontrak perpanjangan, pembangunan smelter yang digadang malah akan dibangun di Gresik, Jawa Timur juga ditentang. "Smelter harus dibangun di sana, kami sudah menyampaikan kepada Pemerintah nanti Komisi VII bisa membuat Panja," ujarnya.

Sayang terkait ke-7 smelter yang siap beroperasi itu, pemerintah tak menjelaskan apakah salah satunya merupakan smelter milik Freeport. Jika tak ada satupun dari ke-7 smelter itu merupakan milik Freeport, pemerintah tentunya bakal menanggung gugatan dari masyarakat khususnya di Papua, lantaran ketidakberdayaan mereka di hadapan perusahaan raksasa asal AS itu.

BACA JUGA: