JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diminta tidak membentuk lembaga baru, jika PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) jadi ditutup. Pembentukan lembaga baru diluar Petral dinilai hanya akan melanggengkan impor minyak.

Pengamat dari Energy Watch Ferdinand Hutahaean menilai seharusnya pembentukan lembaga baru tidak diperlukan. Jika memang pemerintah ingin membentuk lembaga baru, lebih baik pemerintah tidak membubarkan Petral. Tetapi, pemerintah memindahkan Petral ke wilayah Indonesia dengan mengganti pimpinannya.

Menurutnya jika pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said berencana membentuk lembaga baru untuk menggantikan fungsi trading Petral. Hal itu artinya pemerintah dalam mencari solusi masalah bahan bakar minyak (BBM) hanya mengandalkan kebijakan impor dan menaikkan harga.

"Sepertinya Sudirman Said ingin terus melanggengkan impor," kata Ferdinand kepada Gresnews.com, Jakarta, Sabtu (13/12).

Menurutnya pemerintah seharusnya memiliki program zero impor BBM. Seluruh kebutuhan BBM seharusnya disuply secara total dari produksi dalam negeri, paling tidak dapat terealisasi di 10 tahun ke depan. Dia menambahkan pemerintah juga harus memaksimalkan fungsi PT Pertamina (Persero) yang memiliki sumber daya manusia sangat besar untuk melakukan trading BBM secara langsung tanpa menunjuk pihak lain. Hal itu juga merupakan salah satu cara efektif untuk memutus rantai mafia.

Ferdinand juga meminta kepada Tim Reformasoi Tata Kelola Migas yang dipimpin oleh Faisal Basri agar jangan segan-segan membubarkan Petral dan membubarkan SKK Migas karena kedua institusi tersebut merupakan sarangnya mafia migas. Dia juga meminta agar tim jangan hanya berwacana saja, seharusnya tim bekerja secara cepat dan solutif.

"Jangan berpikir impor terus, pola pikir harus diubah," kata Ferdinand.

Sementara itu, peneliti dari Indonesia For Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng menilai seharusnya Tim Reformasi Tata Kelola Migas melakukan pembenahan sistem dalam suply chain antara PT Pertamina (Persero) dengan anak usahanya yaitu PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Bukan malah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membekukan Petral. Menurutnya dengan membekukan Petral sama saja memberlakukan liberalisasi di sektor migas.

"Siapa yang bisa memastikan pasokan Pertamina ketika Petral dibekukan. Kalau rantai pasokan Pertamina diganggu ini akan berdampak kepada sektor migas Indonesia," kata Salamudin.

Menurutnya seharusnya Tim Reformasi Tata Kelola Migas bukan mengganggu kinerja dari Pertamina, seharusnya tim melakukan investigasi kepada perusahaan asing seperti Chevron atau Total. Jika ingin membersihkan sektor migas khususnya di Pertamina, seharusnya tim tersebut tidak mengganggu suply chain tetapi membersihkan unsur-unsur korupsi yang ada di Pertamina dan di Petral.

Selain membekukan Petral, ternyata Tim Reformasi Tata Kelola Migas juga memberikan rekomendasi agar Petral dipindahkan ke Indonesia. Salamudin menilai langkah tersebut tidak tepat. Sebab tidak akan ada perbankan yang akan mendanai transaksi impor yang dilakukan oleh Petral karena dalam transaksi bisa menghabiskan dana hingga US$5 miliar. Sedangkan dalam peraturan Bank Indonesia, perbankan nasional tidak diperbolehkan memberikan pendanaan sebesar US$5 miliar. Disatu sisi, kapasitas kilang Indonesia masih dalam kondisi terbatas.

"Ini kenapa BUMN yang diobok-obok? Ini kan rantai pasokannya dikuasai oleh BUMN. Kalau BUMN dihancurkan berarti diserahkan ke swasta. Ini kan semangatnya liberalisasi," kata Salamudin.

Salamudin menilai justru seharusnya tim yang dipimpin oleh Faisal Basri dibubarkan karena tim tersebut sarat dengan  kepentingan kelompok tertentu. Dia menilai tim tersebut saat ini tidak memiliki kekuasaan sebab dibawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Apalagi saat ini banyak lembaga birokrasi yang berkecimpung di dunia migas seperti BPH Migas dan SKK Migas. Menurutnya semakin banyak lembaga yang berkepentingan di dunia migas bukan malah membuat sektor migas menjadi produktif tetapi malah mengganggu jalannya operasional migas dengan jalur birokrasi.

"Faisal Basri harus tahu diri. Orang ini sangat liberal. Setiap saya menggugat UU yang berbau liberalisasi, saya selalu berhadapan dengan Faisal Basri," kata Salamudin.

BACA JUGA: