JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) menjadi sorotan publik. Pasalnya Petral dituding menjadi sarang mafia migas. Bahkan sempat berhembus kabar Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla berencana ingin membekukannya.

Petral sendiri dibentuk pada tahun 1969 sebagai perusahaan patungan antara PT Pertamina (Persero) dan kelompok usaha dengan kepentingan Amerika Serikat. Awalnya Petral bernama Grup Perta. Awal pembentukan ditujukan untuk memasarkan minyak mentah Pertamina dan produk minyak di AS. Struktur perusahaan sendiri terdiri dari Perta Oil Marketing Corporation Limited, sebuah perusahaan asal Bahama yang berkantor di Hongkong dan Perta Oil Marketing Corporation, sebuah perusahaan California yang menangani keseharian kegiatan di Amerika Serikat.

Kemudian pada tahun 1978, perusahaan Bahama diganti dengan Perta Oil Marketing Limited yang berbasis di Hongkong. Lalu pada bulan September 1998, Pertamina mengakuisisi seluruh saham Perta Group dan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan tersebut. Berdasarkan persetujuan pemegang saham pada Maret 2001, perusahaan secara resmi berubah nama menjadi Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Petral didirikan untuk menjadi tangan perdagangan Pertamina untuk pemasaran di pasar internasioanal.

Bisnis utama Petral, mengembangkan dan mempertahankan pasar untuk minyak mentah Indonesia dan produk minyak yang akan diberikan kepada Pertamina. Petral menguasai perdagangan minyak serta minyak mentah dan produk minyak asing. Pasar Petral adalah sebagian besar di kawasan Asia Pasifik serta Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Afrika dan wilayah lain. Kegiatan usaha Petral untuk membantu Pertamina memenuhi tugasnya untuk menyediakan dan memenuhi permintaan minyak dan gas di Indonesia.

Saat ini Petral memiliki 55 perusahaan yang terdaftar sebagai mitra usaha terseleksi. Pengadaan minyak oleh Petral dilakukan secara tender terbuka. Namun Petral juga melakukan pengadaan minyak dengan pembelian langsung, sebab ada jenis tertentu yang tidak dijual bebas atau pembelian minyak secara langsung dapat lebih murah dibandingkan dengan mekanisme terbuka.

Kemudian pada tahun 2011, Petral membeli 266,42 juta barel minyak. Terdiri dari 65,74 juta barel minyak mentah dan 200,68 juta barel berupa produk. Harga rata-rata pembelian minyak oleh Petral adalah US$113,95 per barel untuk minyak mentah, US$118,50 untuk Premium, US$123,70 untuk solar. Total pembelian Petral adalah US$7,4 miliar untuk minyak mentah dan US$23,2 miliar untuk bensin atau solar. Total US$30,6 miliar atau setara dengan Rp275,5 triliun, jumlah uang tersebut merupakan pengeluaran Pertamina atau negara untuk impor minyak.

Melihat besarnya pengeluaran Pertamina untuk pembelian minyak itu. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai oleh Faisal Basri. Belakangan Faisal meminta kepada PT Pertamina (Persero) untuk lebih transparansi dalam penentuan jenis bahan bakar minyak (BBM).

Sebab, Pertamina malah menurunkan standard kualitas jenis BBM dari Ron92 (Pertamax) menjadi Ron88 (Premium). Menurutnya di seluruh dunia tidak ada yang menjual jenis BBM Ron88. Bahkan dalam penentuan Mild Oil Plat´s Singapore (MOPS) tidak ada penyediaan jenis BBM Ron88. Faisal mengaku heran atas kebijakan Pertamina terkait perubahan kualitas jenis BBM dari standard barang bagus menjadi jelek.

"Pertamina bilangnya beli Ron92, diblending di Indonesia dan di down grade. Itu kan ketololan, seperti itu harus disingkirkan. Masa barang bagus jadi barang jelek," kata Faisal.

Selain persoalan jumlah oktan, Anggota Tim Reformasi Tatat Kelola Migas Fahmy Radhi mengatakan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Pertamina memiliki perhitungan masing-masing dalam penentuan harga pokok BBM. Kedua institusi tersebut dalam menentukan harga pokok menggunakan harga Mild Oil Plat´s Singapore (MOPS). Namun yang menjadi permasalahannya BBM yang diimpor merupakan jenis ron92, lalu ketika di Indonesia harus diubah menjadi ron88.

Sehingga ia melihat dalam pembelian impor BBM ada selisih harga yang sangat besar. Fahmy mengasumsikan bahwa Pertamina mengimpor BBM jenis Ron92, namun yang dipakai Ron88.  "Harusnya murah karena dioplos jadi harganya sama," kata Fahmy di Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.

Namun anggapan tersebut dibantah oleh Vice President Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir. Menurutnya Pertamina tidak menurunkan standard kualitas oktan Ron92 menjadi oktan Ron88. Malah Pertamina justru menaikkan standard dari oktan Ron70 menjadi Ron88.

Ia menjelaskan kilang-kilang milik Pertamina saat ini hanya mampu memproduksi nafta yang jenis oktannya Ron70. Kemudian oktan Ron70 ditingkatkan dengan mencampur zat High Octane Mogas Component (HOMC). Dia menambahkan HOMC memiliki kandungan oktan Ron92 lalu diblending menjadi Premium jenis oktan Ron88. "Ini kan sudah mekanisme, kita optimasi produk yang ada. Apa sebodoh itu kita mendown grade Ron92 menjadi Ron88," kata Ali, Jakarta, pekan lalu.

Ali bahkan meminta kepada Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk mendalami lebih dahulu proses bisnis di dunia migas. Menurutnya Pertamina sangat terbuka kepada tim tersebut, apabila tim kurang dalam data-data maka perusahaan dapat memberikan data-data yang diperlukan. Namun jika terdapat data-data yang ganjil, diharapkan tim dapat mengkonfirmasi kepada Pertamina. Tapi jangan diwacanakan kepada publik terlebih dahulu. "Pemahaman publik bisa lain. Kalau pengetahuan tentang industri migas sendiri tidak utuh, ya kaya gitu," kata Ali.

BACA JUGA: