JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menjamurnya industri ritel dengan jaringan yang merambah ke pelosok pedesaan, berdampak pada hancurnya pasar-pasar tradisional, serta matinya usaha kecil. Hal ini diperparah dengan tidak adanya proteksi pemerintah daerah terhadap pasar tradisional.

Anggota Komisi VI dari Fraksi NasDem Slamet Junaidi menyatakan perlu ada Undang-undang serta Peraturan Pemerintah (PP) yang khusus melindungi pasar tradisional. Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga harus menerbitkan perda yang berpihak kepada eksistensi pasar tradisional tanpa menutup ruang investasi bidang ritel.

"Banyak pasar swalayan diberikan izin oleh pemerintah daerah tanpa memikirkan efek terhadap pasar tradisional," ujar Slamet di gedung DPR (7/6).

Menurutnya jika pemerintah tidak melakukan perlindungan yang serius, atas menjamurnya ritel-ritel di tengah masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan akan mematikan usaha kecil masyarakat. Padahal sirkulasi keuangan hasil pasar tradisional akan berputar untuk kepentingan daerah setempat.

Sedang perusahaan ritel  yang marak di berbagai daerah itu, keuntungannya justru dibawa keluar seperti ke Singapura, karena sebagian besar pemiliknya orang-orang dari negara itu. Keberadaan pasar tradisional juga seharusnya berdampak terhadap roda perekonomian di daerah.

Ada anggapan bahwa tumbuhnya toko modern dapat menghidupkan daerah yang tidur, sehingga keberadaan toko modern di beberapa daerah yang sebelumnya sepi dapat terlihat lebih hidup. Padahal berkaca dari krisis ekonomi Indonesia pada 1997 lalu, ekonomi dalam negeri yang tidak tergoyahkan  oleh krisis adalah ekonomi perdesaan dan usaha kecil menengah. Apabila kedua komponen tersebut juga ikut rusak maka perekonomian bisa hancur.

Slamet menambahkan, sebenarnya pengaturan ritel modern dan pasar tradisional telah tertuang dalam Perpres 112 Tahun 2007 terkait Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Perbelanjaan dan Toko Modern. Tidak sekedar itu, bahkan pengaturan ini dijabarkan dalam Permendag No. 53 Tahun 2008.

"Sayangnya, aturan ini kurang efektif dijalankan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pengelola teknis pengaturan ritel modern," ungkapnya.

Dalam Pasal 4 Ayat (1) Perpres 112 Tahun 2007 disebutkan bahwa setiap toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta jarak antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada. Akan tetapi di Pasal 5 Ayat (4) Perpres 112/2007 juga disebutkan bahwa, minimarket boleh berlokasi di setiap sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota atau perkotaan. Artinya, minimarket bisa membukai gerai hingga ke wilayah pemukiman warga.

Padahal di beberapa negara, pengelolaan dan pengaturan keberadaan ritel modern dan pasar tradisional berhasil dilakukan. Ini seperti yang berlaku di Perancis dan Malaysia. "Malaysia bisa melarang pendirian hypermart di tengah kota serta peraturan distribution fair trade guna melindungi pasar tradisionalnya," ujarnya.


KONSUMEN RETAIL DAN SWALAYAN TURUN - Ternyata dibalik kedigdayaan pasar retail atau swalayan yang menggerus pasar tradisional, kini hadir market lain yang tak kalah mematikan. Pasar online yang sedang menjamur itu ternyata mampu membuat tren konsumen menurun  di kedua pasar real tersebut.

Tren ini mulai terlihat pada tahun 2010 dimana menurut data Nielsen Retail Establishment Survey jumlah pengunjung toko retail hanya 45 konsumen sehari dengan omzet toko Rp 618 ribu sehari. Padahal tahun sebelumnya, pengunjung toko retail di kota besar bisa mencapai 52 orang dengan omzet mencapai Rp 781 ribu.

Pada tahun 2009, sebanyak 7,1 persen konsumen diketahui datang ke toko retail lebih dari sekali. Tapi, tahun 2010 menurun menjadi 6,7 persen.

Pertumbuhan hypermarket dan supermarket di tahun itu juga turun sebanyak 3 persen. Pada 2010, jumlah gerai hypermarket dan supermarket tinggal 1.230 gerai.

Pengamat ekonomi Rahmat Bagja menyatakan walaupun tren ke depan pasar online memang menjuarai hati konsumen. Namun pada dasarnya swalayan dan pasar tradisional masih bisa berkompetisi.

"Kedua market ini unggul dalam hal pelayanan real, sebab pasar produknya dapat dilihat dan menjajalnya," kata Bagja kepada gresnews.com Selasa (7/6).

Namun, kecenderungan konsumen yang mulai meninggalkan pasar swalayan apalagi tradisional dianggapnya sebagai tanda bahwa masyarakat sudah sangat mobile. Sehingga malas untuk pergi belanja ke pasar real, apalagi sarana transportasi umum yang bermasalah membuat konsumen berpikir 2 kali untuk melakukan kunjungan ke pasar real.

"Apalagi tren wanita karir juga naik, nah konsumen yang paling banyak berbelanja kan wanita, wanita karir ini meningkatkan tren online," katanya.

Ia menduga menjamurnya pasar online karena pemerintah kurang mengawasi sektor bisnis ini. Hanya ada UU ITE sebagai regulasi, sedang pengenaan pajak atau hak komplain konsumen sampai sekarang tak tertuang di dalamnya.

"UU ITE juga tak dimaksudkan untuk melihat market sekarang," katanya.

Ia menyarankan sebaiknya ada regulasi detail yang mengatur tentang pasar online, sehingga bisa menjadi perlindungan bagi pasar swalayan dan tradisional.  Misal pada hak komplain dibenahi sehingga konsumen online dapat melakukannya sebagaimana di pasar real.

"Sekarang masih di tingkat perdata saja antara provider sama konsumen. Negara belum ikut, ke depan harus ikut dalam penyelesaian karena market online itu sudah mulai dijadikan sarang kejahatan," tandasnya.

BACA JUGA: