JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses perundingan perjanjian perdagangan bebas atau perundingan Free Trade Agreement (FTA) antara Indonesia dan Uni Eropa belum mencapai kesepakatan yang memuaskan. Uni Eropa (UE) masih meminta pembebasan bea masuk hingga 95% pos tarif dan penghapusan atas bea keluar. Permintaan itu dinilai terlalu membebani Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyebut syarat tersebut terlalu berat bagi Indonesia. Uni Eropa menurut dia mengacu pada perjanjiannya dengan Vietnam dimana mereka telah menghapus bea keluar dalam perdagangan lintas kawasan itu.

Darmin mengatakan, jika permintaan Uni Eropa tersebut dikabulkan kesepakatan itu pasti akan memukul industri dalam negeri. Oleh karena itu, ia mengkritik upaya yang dilakukan tim perundingan perjanjian perdagangan bebas (FTA) Indonesia yang masih jauh dari harapan.

Menurut Darmin seharusnya dengan Uni Eropa, Indonesia berani mengambil risiko, sebab Indonesia tidak bersaing dengan mereka. Hal itu berbeda dengan dua kompetitor lain yakni  India dan China.

Untuk itu ia menekankan perlu ada koordinasi intensif lintas Kementerian dan Lembaga agar tercapai titik temu dalam perundingan FTA. Apalagi pada April mendatang Presiden Joko Widodo akan melakukan lawatan ke beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman, Inggris, Belanda dan Belgia.

"Kita harus punya milestone yang mau dicapai, kalau tidak, perundingannya berputar-putar dan  tidak mencapai target," tandasnya, kemarin.

Untuk itu pemerintah masih mengkaji permintaan dari UE itu agar terjadi kesepakatan saat perundingan FTA nanti. Targetnya adalah kepentingan Indonesia dapat dipertimbangkan dan menguntungkan ke dua belah pihak.

Dalam perundingan perdagangan bebas melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk kepentingan ekonomi nasional.

Saat ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedang melakukan pertemuan lintas kementerian dan lembaga yang nantinya hasil dari pertemuan itu akan dikumpulkan dan diformulasikan untuk dibawa ke meja perundingan.

"Yang dibahas bukan hanya kepentingan UE. Kepentingan kita juga harus diperhitungkan," ujar Menteri Perdagangan Thomas Lembong di Kemenko Perekonomian, Jumat,(4/3).

Rencananya negosiasi formal dengan pihak UE akan terwujud di akhir tahun 2016. Ini adalah babak baru dalam perdagangan bebas setelah Indonesia memasuki MEA. Saat ini Indonesia masih tertinggal dalam hal perdagangan bebas dengan beberapa negara asia tenggara lainnya seperti Vietnam dan Malaysia. "Kita sebentar lagi juga akan disalip oleh Filipina," ujar Thomas.

KELEMAHAN INDONESIA DI PASAR BEBAS - Selain permintaan dari UE yang dianggap memberatkan negara Indonesia. Gempuran perdagangan bebas juga telah banyak melemahkan pengekspor Indonesia. Hal ini karena Indonesia merupakan negara konsumen dengan penduduk besar yang empuk dijadikan sasaran penjualan negara lain.
 
Apalagi diakui pemerintah bahwa daya saing industri nasional masih kalah dibandingkan negara lain. Namun, pemerintah menyatakan tetap menyepakati kehadiran pasar bebas. "Kalau bicara kelemahan, seperti Pak Jokowi katakan, ini zaman kompetisi yang tidak bisa dihindari," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara Economi Outlook 2016, akhir tahun lalu.

JUsuf Kalla mengungkapkan setidaknya ada empat kelemahan daya saing Indonesia menghadapi pasar bebas. Yakni soal birokrasi, energi, logistik, dan pembiayaan. Untuk itu empat hal ini harus cepat-cepat diperbaiki. "Jika tidak, Indonesia hanya akan dijadikan pasar bagi negara lain," tandasnya.

Soal birokrasi, menurut JK, kelemahannya dalam hal urusan izin yang kadang terlalu panjang. Hal itu disebabkan terlalu banyaknya aparatur pemerintahan yang harus menandatangani sebuah izin. Di sisi banyaknya pejabat yang tidak berani mengambil kebijakan, karena takut dianggap merugikan negara.

Mengatasi kendala ini pemerintah mengeluarkan kebijakan agar pengambil keputusan hanya dikenai hukum administratif jika terjadi kesalahan. Pengambil kebijakan tidak akan dikenakan sanksi pidana.
Selain itu juga telah diupayakan untuk mempersingkat waktu pengurusan izin.

Persoalan klasik lainnya, ketersediaan energi dan harga yang mahal juga menjadi masalah rendahnya daya saing industri dalam negeri. Keterbatasan energi membuat industri sulit berkembang. Untuk itu sedang diupayakan merealisasikan proyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW).

Sedang terkait masalah biaya logistik,  yang dinilai mahal karena keterbatasan infrastruktur tengah diupayakan dengan menggenjot pembangunan infrastruktur hingga ke pelosok. Terakhir, adalah masalah pembiayaan, dinilai masih sulit bagi industri untuk mendapat akses permodalan. Diantaranya bunga bank yang terlalu tinggi menjadi penyebab industri di Indonesia tak bisa bersaing dengan industri negara lainnya. Penerapan bunga di tanah air hampir 10 persen lebih tinggi dibanding negara lain.

JK meyakini ekonomi Indonesia bisa tumbuh jika keempat tantangan itu bisa diatasi. Apalagi Indonesia, memiliki pasar yang besar dan penduduk usia produktif tinggi. Sudah barang tentu dunia akan sangat bergantung pada pasar. Untuk itu industri dalam negeri harus bisa memanfaatkan minat impor yang tinggi, untuk memproduksi barang substitusinya di dalam negeri.

MINAT INVESTASI - Hal itu tercermin dari banyaknya negara-negara Eropa yang melirik kemungkinan usaha baru dan peluang kerja sama bisnis serta investasi potensial di Indonesia. Khususnya setelah ada penyatuan pasar kawasan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

"Indonesia punya daya tarik tersendiri bagi investor asing untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Negara Eropa dan Amerika berlomba melebarkan sayap usahanya, termasuk Slovenia," ujar Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan, Kementerian Perdagangan Nus Nuzulia Ishak, di Jakarta, Jumat.

Menurut Nus, sejak hubungan bilateral antara Indonesia dan Slovenia dibuka pada tahun 1992, kerja sama perdagangan antara kedua negara terus tumbuh. Total perdagangan Indonesia dengan Slovenia pada tahun 2015 tercatat sebesar 106 juta dolar AS, meningkat 11,74 persen dari tahun sebelumnya.

Saat ini mitra utama Indonesia di Eropa antara lain Belanda, Italia, Jerman, dan Spanyol. Sedangkan mitra utama perdagangan Slovenia antara lain Jerman, Austria, Kroasia, Italia, dan Prancis.

Pada tahun 2015, tercatat ekspor Indonesia ke Slovenia sebesar 93,25 juta dolar AS atau naik 12,88 persen dari tahun sebelumnya. Sedang impor Indonesia dari Slovenia pada tahun yang sama sebesar 12,78 juta dolar AS, naik 4,09 persen.

Sektor yang ditargetkan Slovenia dalam kunjungannya ke Indonesia kali ini antara lain energi, pengolahan kayu, transmisi elektronik, alat pertahanan, dan pengelolaan sampah. Kedatangan delegasi bisnis Slovenia diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke Slovenia secara khusus dan ke Eropa secara umum.

Ekonomi Slovenia saat ini cenderung stabil dibandingkan negara-negara pecahan Yugoslavia lainnya. Pendapatan per kapita Slovenia termasuk yang tertinggi di Eropa Tengah. Meski Slovenia sempat diterpa krisis global pada 2008 lalu, namun Slovenia mampu bangkit dan kini memiliki ekonomi yang kuat.

Beberapa produk utama ekspor Indonesia ke Slovenia antara lain karet alam senilai 49,57 juta dolar AS atau setara dengan 53,16 persen dari total ekspor Indonesia ke Slovenia, selain itu batu bara sebesar 12,08 juta dolar AS atau 12,96 persen serta kertas dan karton tak dilapisi dengan nilai 3,79 juta dolar AS atau 4,07 persen. (Dimas Nurzaman)

BACA JUGA: