JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebagian anggota DPR terus mempersoalkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Kendati pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah menyebutkan proyek ini tak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) para wakil rakyat ini tak percaya, mereka menduga pelibatan perusahaan BUMN untuk proyek kereta cepat tersebut bakal merugikan pemerintah.

Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir menyatakan Komisi VI DPR RI menolak terhadap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung karena proyek tersebut tidak ada di dalam janji-janji kampanye Presiden Jokowi dan tidak ada dalam konsep pembangunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah. Menurutnya penolakan tersebut akan dilontarkan saat rapat kerja secara internal dengan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Tetapi, akibat adanya surat dari Ketua DPR untuk melarang mengundang Rini Soemarno, ungkapan tersebut pun tertunda. Akibatnya ungkapan penolak tersebut hanya bisa diungkapkan melalui deputi-deputi Kementerian BUMN, dimana ungkapan tersebut tidak bisa melahirkan rekomendasi yang mengikat antara Komisi VI DPR RI dengan Kementerian BUMN.

Dia menambahkan rekomendasi politik yang dikeluarkan Komisi VI DPR RI mengenai penolakan proyek tersebut harus dijalankan oleh Kementerian BUMN. Namun jika Kementerian BUMN tetap menjalankan proyek tersebut dan dalam perjalanannya terdapat pelanggaran maka Komisi VI DPR RI tidak ikut bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Pelanggaran tersebut harus ditanggung sepenuhnya oleh Kementerian BUMN.

"Kalau ada pelanggaran itu pidana lho karena kami mencurigai akan ada aset yang dijaminkan dalam proyek kereta cepat tersebut," kata Hafisz, Jakarta, Selasa (23/2).

Dia menduga banyak ketidakjelasan dalam pembiayaan yang dikeluarkan oleh perusahaan BUMN untuk proyek kereta cepat tersebut. Hafisz menduga pembiayaan kereta cepat tersebut berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) kepada ketiga perbankan BUMN yaitu Bank Mandiri, Bank BNI dan Bank BRI sebesar US$3 miliar. Sebab, salah satu pembiayaan untuk pembangunan kereta cepat tersebut selain dari setoran modal internal juga berasal pinjaman perbankan BUMN.

Dia menduga dalam proyek kereta cepat, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PTPN VIII, dan PT KAI (Persero) memiliki saham 60 persen. Untuk mencapai saham 60 persen tersebut, keempat perusahaan BUMN tersebut harus menyetor 25 persen dari dana internal perusahaan dan 75 persen lagi dari pinjaman kredit. Artinya masing-masing perusahaan BUMN harus menyetor modal sebesar Rp4,5 triliun. Sedangkan, PTPN VIII merupakan perusahaan yang masuk dalam kategori merugi, maka dari itu bank BUMN tersebut akan membantu pinjaman modal tersebut.

"Darimana mereka mendapatkan uangnya itu, PTPN VIII kan salah satu perusahaan yang merugi. Itu yang saya lihat modusnya," kata Hafisz.

POLITISASI KERETA CEPAT - Pengamat Perkeretaapian Djoko Setijowarno meminta agar anggota dewan tidak membawa isu politis dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebab mekanisme kerjasama yang dilakukan oleh konsorsium BUMN adalah mekanisme business to business, dimana konsorsium BUMN tersebut membentuk perusahaan swasta yaitu PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Artinya kerjasama tersebut antara perusahaan swasta dengan swasta dan tidak menggunakan uang negara yang berasal dari APBN.

Menurutnya KCIC merupakan swasta dimana dana yang dikeluarkan merupakan kewenangannya dan perusahaan berorientasi hanyalah berbisnis untuk mengejar keuntungan. Dia menambahkan tidak mungkin KCIC membangun kereta cepat di daerah terpencil atau pelosok karena tidak mungkin ada penumpang yang lebih banyak daripada di pusat kota seperti Jakarta dan Bandung.

"Lho itu kan swasta, kan dia punya duit ya terserah dia. Lah dia orang punya duit ya bisnis kalau rugi siapa yang tanggung jawab ? Jangan dibikin politis dong," kata Djoko kepada gresnews.com.

Dia menilai seharusnya anggota DPR lebih sering berdiskusi mengenai sarana transportasi di daerah pemilihannya (Dapil), sebab sarana transportasi di dapilnya hampir semuanya sudah tidak laik pakai. Seharusnya anggota DPR fokus terhadap peningkatan dan pengembangan sarana transportasi di daerahnya bukan malah berpolemik mengenai kereta cepat.

Jika DPR mengacu perusahaan BUMN yang menggagas kereta cepat tersebut harus sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, menurutnya anggapan DPR tersebut keliru karena perusahaan BUMN juga dituntut oleh UU BUMN untuk mendapatkan keuntungan. Sebab, keuntungan tersebut juga nantinya akan diberikan kepada negara.

"DPR jangan di dengar, DPR itu lebih baik diskusi publik tentang angkutan di dapilnya. DPR ga usah diskusi kereta cepat. Perilakunya nimbrung dan buat gaduh. Urus saja angkot di dapilnya," kata Djoko.

Sebelumnya Presiden Jokowi telah menyerahkan pengembangan kereta cepat ke BUMN RI yang memilih menggandeng China melalui China Railway International Co. Ltd sebagai mitra. Akibat keputusan ini, Jepang pun sempat menyatakan kekecewaannya. Indonesia pun mengirim Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil dalam misi diplomatik ke Jepang.

Pada pengembangan kereta cepat ini, BUMN RI dan China tidak meminta jaminan dan suntikan dana pemerintah Indonesia. Bahkan, kedua pihak sepakat untuk membidik pembangunan kereta cepat tidak hanya di Indonesia, tapi juga ke Asia Tenggara hingga Timur Tengah.

BACA JUGA: