JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nama Djoko Sugiarto Tjandra kembali menyeruak setelah gugatan istrinya, Anna Boentaran, terkait kewenangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan tersebut membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) tersulut untuk memburu terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tersebut. Kejagung bersama Tim Pemburu Koruptor pun berniat mempercepat ekstradisi Djoko Tjandra yang saat ini bermukim dan menjadi warga negara Papua Nugini.

Jaksa Agung Mohammad Prasetyo menyatakan perburuan terhadap para buronan koruptor yang saat ini bersembunyi di luar negeri akan makin gencar dilakukan. Salah satu target adalah memulangkan Djoko Tjandra untuk menjalani proses hukum di Indonesia. Meski, diakui Prasetyo, langkah itu akan sulit dilakukan. Sebab pemerintah Papua Nugini masih melindungi Djoko Tjandra.

"Semua upaya akan kita lakukan untuk memulangkan buronan, kita tidak ada kompromi bagi para koruptor dan tidak ada tempat yang aman bagi para koruptor untuk bersembunyi," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/5).

Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum ini mengatakan, pemulangan Djoko Tjandra terus dilakukan. Selain pendekatan antarpenegak hukum, pihaknya juga melakukan upaya diplomasi.

Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F. Sompie sebelumnya menyampaikan, pemerintah Indonesia masih berupaya memulangkan Djoko Tjandra ke Indonesia. Bahkan Kementerian Hukum dan HAM telah menyerahkan data-data biometrik Djoko Tjandra dan berkas kasusnya kepada pemerintah Papua Nugini.

Namun proses ekstradisi masih menghadapi banyak kendala. Salah satunya pemberian keistimewaan pemerintah Papua Nugini kepada Djoko Tjandra untuk menetap di sana. Akibatnya upaya ekstradisi tergantung sikap pemerintah Papua Nugini.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir mengatakan saat ini Kementerian Luar Negeri tengah  mengupayakan proses diplomasi agar Papua Nugini mau menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Sebab sejauh ini Papua Nugini belum bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi yang diajukan pemerintah Indonesia.

Proses pelarian Djoko diawali pada 10 Juni 2009. Djoko Tjandra dinyatakan buron. Dia melarikan diri dari Indonesia ke Papua Nugini menggunakan pesawat pribadi dari Bandara Halim Perdana Kusuma. Djoko kabur ke Papua Nugini, satu hari sebelum putusan PK dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar pada 11 Januari 2009 yang kasusnya ditangani Kejaksaan Agung pada 29 September-Agustus 2000. Kejaksaan juga pernah menahan terdakwa, namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas, alasannya karena kasus tersebut bukan perbuatan pidana tapi perdata.

Lalu 2008 Kejaksaan Agung mengajukan PK ke Mahkamah Agung dan diputus terdakwa dipidana dua tahun penjara. Selain itu, Djoko Tjandra harus membayar denda Rp15 juta serta merampas uang hasil kejahatannya sebesar Rp45 miliar yang berada di Bank Bali untuk dikembalikan ke negara.

Djoko Tjandra adalah satu-satunya terpidana perkara Bank Bali yang belum dieksekusi, dalam kapasitas sebagai Wakil Dirut PT Era Giat Prima (EGP). Bersama dia, turut dipidana mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin dan sudah dieksekusi dan bahkan sudah menjalani pidana di Lapas Cipinang. Satu lagi, mantan Wakil Kepala BPPB Pande N Lubis yang dipidana selama empat tahun.

Sementara tujuh tersangka lain dalam kasus ini tidak diketahui kelanjutannya, salah satunya Direktur Utama PT Era Giat Prima (EGP) Setya Novanto saat itu. Saat ini Setya adalah Ketua Umum Partai Golkar.

DJOKO MASIH TERPIDANA - Meskipun Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan istri Djoko Tjandra soal kewenangan jaksa mengajukan PK, tidak serta merta status buron dan terpidana Djoko Tjandra hilang. MK menyatakan putusannya terkait pelarangan jaksa mengajukan peninjauan kembali atas sebuah perkara pidana tidak berlaku surut.

Menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, putusan lembaganya terkait wewenang jaksa dalam mengajukan PK baru efektif berlaku sejak Kamis (12/5) lalu. Ia pun menuturkan bahwa seluruh status putusan PK yang pernah diajukan jaksa sebelum 12 Mei lalu tidak akan gugur.

"Putusan MK tidak berlaku surut melainkan berlaku ke depan. Oleh karenanya, putusan PK sebelum putusan MK kemarin berlaku sah adanya," kata Fajar kepada wartawan, Rabu (18/5).

Fajar pun mengatakan bahwa status Djoko Tjandra sampai saat ini masih sebagai terpidana dan buron dalam kasus cessie Bank Bali. Posisi hukum Djoko Tjandra tak berubah walaupun MK mengabulkan gugatan uji materi istrinya pekan lalu.

HAMBATAN PEMBERANTASAN KORUPSI - Sementara itu Kejagung memang menyayangkan putusan MK yang melarang jaksa mengajukan PK. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menilai putusan MK tersebut dapat menghambat penegakan hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Jika dilihat dari sisi kepentingan negara, masyarakat dan korban.

Menurutnya, jika dalam suatu tindak pidana korupsi terdakwa telah divonis bebas oleh pengadilan, namun jaksa menemukan novum (bukti baru) dan novum tersebut membuktikan bahwa terdakwa itu bersalah, siapa yang akan mengajukan PK jika jaksa tidak diperbolehkan?

"Kalau ada novum baru, seharusnya jaksa yang mewakili negara, masyarakat, dan korban yang ajukan PK," kata Arminsyah, Rabu (18/5).

Karena itu, lanjut Arminsyah, pihaknya menilai putusan MK soal jaksa tidak diperbolehkan PK adalah kemunduran penegakan hukum. Terutama untuk kepentingan masyarakat dan korban.

BACA JUGA: