JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mimpi Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang untuk bisa menjadi calon bupati Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur terpaksa pupus. Pasalnya, dia gagal mendapatkan dukungan dari satupun partai politik yang hendak bertarung dalam pilkada kabupaten tersebut, Desember nanti.

Bagi Sebastian, jika mimpi itu harus terkubur dengan alasan yang logis, misalnya soal popularitas dan elektabilitas tentu tak menjadi soal. Kenyataannya, dia menjadi gusar setengah mati gara-gara gagal mendapat dukungan parpol hanya karena tak mampu membayar "mahar" yang diminta parpol yang dilamarnya.

"Seperti janji saya di awal, apabila partai minta bayar, saya akan menolak dan memilih mundur dari pencalonan dan akan disampaikan kepada publik," ujarnya dalam konferensi pers Formappi, Selasa (28/7) kemarin.

Sebastian mengaku ingin menjadi bupati lantaran bisa lebih dekat dengan masyarakat. Dia sendiri mengaku ingin mengangkat Kabupaten Manggarai yang selama ini lekat dengan stigma daerah tertinggal.

Harapan itu sempat mengapung tinggi ketika menjalani proses perekrutan sejak dilakukan uji kelayakan di internal partai sebenarnya berjalan dengan baik. Partai Golkar yang ingin mengusungnya tidak meminta uang mahar sedikit pun.

Hanya saja dalam proses berikutnya terjadi kebuntuan saat dia membutuhkan satu kursi tambahan untuk dapat melakukan pendaftaran ke KPU daerah. Pasalnya, Partai Golkar hanya memiliki empat kursi di parlemen, ditambah dua kursi dukungan dari PKB.

Sebastian membutuhkan minimal tuju kursi dukungan parlemen untuk bisa maju yang artinya hanya perlu satu kursi lagi untuk bisa melenggang ke KPUD. Dia pun kemudian melakukan lobi-lobi politik untuk bisa mendapatkan satu kursi yang dibutuhkan.

Harapan sempat terbit ketika ada satu partai yang menawarkan dukungan. Hanya saja harapan pupus seketika ketika partai itu meminta mahar yang nilainya fantastis. "Ini baru uang ´perahu´, belum untuk memenangkan pemilihan. Berikutnya pasti banyak yang tergoda untuk membayar pemilih," kata Sebastian.

Dia enggan menyebutkan partai apa yang meminta mahar dan berapa besaran mahar yang diminta. Hanya saja, Sebastian kemudian memilih untuk tidak melanjutkan usahanya maju menjadi calon kepala daerah.

Meski Sebastian tak menyebutkan nama partainya, rekan Sebastian di Formappi Lucius Karus mengatakan, untuk mendapatkan satu kursi yang dibutuhkan itu, Sebastian sempat melobi tiga partai. "Dia nggak berani sebut nama partainya, tapi yang saya tahu dia sempat melobi Gerindra, Demokrat, PBB," kata Lucius kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

TRADISI BURUK SEJAK ERA ORBA - Isu mahar politik untuk para calon kepala daerah yang ingin diusung parpol ini merebak dari perseteruan internal di Partai Golkar. Mulanya adalah celotehan Bendaraha Umum Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo yang menuding kubu Agung Laksono meminta mahar kepada calon kepala daerah yang ingin maju dari Golkar.

Bambang Soesatyo mengungkap banyak calon kepala daerah Golkar terancam tak bisa ikut pilkada. Sebab kubu Agung Laksono meminta mahar yang menghambat pendaftaran.

"Yang sudah sama, kader kita terbaik ini sudah disepakati sesuai aturan main yang ditetapkan oleh Pak JK, dari kami sudah keluar SK keluar gratis mau datang kolektif atau sendiri kita kasih. Tapi begitu mereka mendaftar dari pihak Agung datanglah mereka ke Slipi di sana mereka harus menghadap bendahara umum sebelum mengambil negosiasi. Purbalingga diminta Rp500 juta tadi pagi nangis-nangis," kata Bambang kepada wartawan, Selasa (28/7).

Tudingan itu bikin berang kubu Agung. Waketum Golkar hasil Munas Ancol Yorrys Raweyai pun meminta Bamsoet membuktikan tudingan itu. "Bambang kalau bisa buktikan. Terus saya tanya, apakah mereka tidak minta duit?" ujar Yorrys.

Yorrys malah balik menuding kubu Ical juga meminta duit kepada calon kepala daerah yang ingin maju dari Golkar. Praktik ini umum di partai politik. "Kalau Bambang tak bisa buktikan, biar kita kita yang buktikan apakah mereka nggak minta duit. Dua kubu saling tahu. Mereka juga begitu," ujarnya.

Terlepas dari benar tidaknya tudingan itu, kata Lucius Karus, tradisi minta mahar ini sudah berlangsung semenjak Orde Baru. Utamanya mulai semakin masif saat sistem multipartai pasca reformasi diberlakukan. "Saat itu muncul banyak parpol, melibatkan begitu banyak orang menjadi elit politik. Peta persaingan pun semakin tajam," katanya.

Pada saat yang sama, elit partai seolah berlagak menjadi pemilik partai. Kebutuhan operasional partai membuat para elit ini mencari banyak cara mendapatkan dana untuk memenuhinya. Kondisi inilah yang menjadikan pesta demokrasi Indonesia kerap dihiasi transaksi haram yang merusak tujuan pesta demokrasi tersebut untuk mengail pemimpin terbaik secara demokratis.

Lucius bercerita, berdasarkan pengalamannya, tahapan dalam pendaftaran calon kepala daerah pun semuanya melibatkan dana transaksi. Mekanisme dimulai saat pasangan bakal calon mencari partai pengusung dengan melobi elit partai.

Pada proses melobi elit partai ini pun tak bisa langsung menuju pada pengambil keputusan di partai, namun harus melalui perantara. "Untuk diterima pusat, proses lobi menggunakan joki, pada tahap ini saja proses transaksi sudah mulai dibuka dengan nilai Rupiah yang bergantung negosiasi kedua belah pihak," ujarnya.

Tahap selanjutnya, pasangan bakal calon kepala daerah pun belum tentu langsung menemui pengambil kebijakan. Namun terkadang diterima oleh DPP dan harus melalui joki kedua untuk dipertemukan dengan pengambil keputusan. "Jika proses pilkada, di kepala orang-orang ini tak ada kerja gratis beridealisme untuk mendukung calon," ujarnya.

Sayangnya, para bakal calon yang sudah mengeluarkan pundi-pundi rupiahnya ini juga belum tentu diusung oleh parpol yang dilobi. Para elit pusat ini akan menerima seluruh bakal calon yang datang melobi, penentuannya akan dikabarkan pada beberapa hari atau seminggu sebelum pendaftaran dimulai.

"Lobi-lobi ini sudah menguras uang para bakal calon, tapi yang dipilih yang membayar lebih tinggi. Seperti pasar saham, harga tertinggi yang diambil," katanya.

Lucius menceritakan, mahar politik yang diminta pun bervariasi, pada Pilkada, hitungan mahar mengacu pada kursi partai yang bersangkutan di DPRD masing-masing daerah. Jumlah kursi inilah yang dipatok berdasarkan harga pasar, sebab di tiap-tiap parpol tak memiliki kebijakan resmi mengenai uang mahar ini.

BEGINI MENGHITUNG BESARAN MAHAR POLITIK - Lucius punya rumus sendiri dalam menghitung besaran mahar politik yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah untuk bisa diusung parpol. Dia menghitung nilai itu berdasarkan beleid yang dikeluarkan pemerintah terkait Pilkada.

Pada tanggal 17 Februari lalu, DPR RI menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam revisi gersebut disepakati syarat dukungan untuk calon independen dinaikkan 3,5 persen, dari minimal 3 persen menjadi 6,5-10 persen dari jumlah penduduk, tergantung pada jumlah penduduk.

Sedangkan syarat pengajuan dari partai harus didukung partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara pada pemilu. Nah, dari komposisi syarat dukungan ini, Lucius menghitung, setiap bakal calon diperkirakan harus merogh duit mahar antara Rp250 juta hingga Rp500 juta per kursi.

Kata Lucius, jika dianalogikan harus memiliki 7 kursi dan diusung dua partai dengan komposisi 4:3 maka untuk partai pertama saja bisa keluar antara Rp1-2 miliar. Pada partai yang berbeda, harga pun dapat berbeda pula, semakin menjadi partai pelengkap, maka semakin mahal harga maharnya.

Berdasarkan hitungan di atas, dikalikan bakal calon yang mendatangi partai, maka dari satu pilkada, diyakini tiap satu partai dapat mendapat mahar hingga ratusan miliar atau bahkan triliunan rupiah. "Hampir pasti bakal calon mengeluarkan lebih dari Rp1 miliar untuk satu partai, nyolongnya bukan main," katanya.

Dana sebanyak itu akan menggalir ke kebutuhan partai, atau mungkin juga untuk memperkaya diri kelompok-kelompok tertentu dalam partai. Sebab dana siluman ini jelas tak memiliki transparansi maupun akuntabilitas lantaran dilarang dalam Pasal 47 Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.

Pasal tersebut melarangan parpol atau gabungan parpol untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur atau wakil gubernur dan atau bupati atau wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota. Larangan juga berlaku bagi setiap orang atau lembaga yang memberi imbalan kepada parpol atau gabungan parpol dalam bentuk apapun, baik uang, barang atau benda.

Apabila melangggar, terdapat tiga bentuk sanksi tegas yakni pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka parpol yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Sanksi kedua, terkait pembayaran mahar atau imbalan tersebut maka KPU dapat membatalkan penetapan Calon Gub/Wagub, Bupati/Wakil Bupati.

Terakhir, parpol atau gabungan parpol yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan dikenakan denda sebesar sepuluh kali lipat dari nilai imbalan yang diterima. "Bakal calon bisa saja tertipu karena transaksi dilakukan atas dasar sama tahu, jika dia melapor karena tertipu maka juga akan kena getahnya lantaran ikut terlibat," katanya.

MERUSAK DEMOKRASI - Adanya tradisi mahar politik ini juga diamini oleh Politisi Hanura Lily Wahid. Dia mengatakan tradisi ini sangat merusak pesta demokrasi Indonesia. Sebab, jabatan yang diperoleh secara mahal pasti akan membuahkan pengembalian modal yang juga mahal.

"Masyarakat jadi harus menggadaikan kebebasan selama lima tahun untuk pengembalian modal pemimpin mereka," ujarnya kepada gresnews.com di Gedung Perintis Kemerdekaan, Menteng, Rabu (29/7).

Mantan politisi PKB yang sudah lama malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia ini pun mengakui hampir semua partai meminta mahar kepada bakal calon kepala daerahnya. Namun, caranya saja yang berbeda, ada yang secara halus menyatakan untuk operasional dan kampanye calon dan ada secara kasar, menyasar langsung pada jumlah mahar yang diminta.

Namun Lily enggan menyebutkan nominal mahar yang diminta rata-rata partai, ia mengaku belum mendengar berita terbaru pada pencalonan pilkada serentak 2015 ini. "Tapi jumlahnya fluktuatif tergantung daerah yang dicalonkan basah atau kering. Jika banyak SDA maka tentu maharnya mahal," ujarnya.

Peneliti Para Syndicate Toto Sugiarto dalam diskusi Pilkada di Jl Wijaya Timur 3 Kebayoran Baru Jaksel, Rabu (29/7) mengatakan, kasus mahar politik ini menjadi ancaman bagi demokrasi khususnya dalam pelaksanaan pilkada serentak ini. Dia bilang saat ini ada dua kasus mahar politik yang mencuat, yaitu ketua DPC Gerindra Toba Samosir Asmadi Lubis yang gagal mencalonkan diri karena harus sediakan Rp2,5 miliar untuk satu partai dan Sebastian Salang yang juga mundur karena hal serupa.

"Ini hanya fenomena gunung es, mungkin lebih banyak yang tidak mengaku atau mengikuti kemampuan pengurus partai untuk sediakan dana," ujarnya.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Fraksi Hanura Nurdin Tambupolon mengatakan "tradisi" buruk ini menurutnya harus ditertibkan masing-masing partai agar tak membebani calon pimpinan daerah yang diusungnya. Dia juga mengimbau kepada para bakal calon terhadap oknum-oknum yang mengatasnamakan partai dan bertindak sebagai joki dalam lobi politik pilkada.

Jika praktik ini terus berlanjut maka tentu uang negara yang berasal dari rakyat lah yang akan kembali dibebani untuk membayar mahar politik. "Bisa saja joki-joki ini orang tak bertanggung jawab yang memeras bakal calon untuk membayar besar, perlu dihindari," ujarnya.

Dia sendiri mengaku di Hanura tak ada "tradisi mahar" politik. "Kita paling-paling hanya biaya operasional dalam kampanye, tak banyak untuk beli minum dan snack, dan bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

Ia menyatakan, dana kampanye calon-calon pemimpin daerah dari Hanura jauh lebih kecil dibandingkan dengan partai yamg bermain uang. Sebagai gambaran, langkah tersebut saja cukup memakan dana hingga lebih dari Rp100 juta per kabupaten, bahkan mungkin mencapai Rp300 juta.

Sedang biaya ongkos politik berupa miniman dan snack ala kadarnya saat kampanye dapat memakan dana Rp100-200 juta per dua ribu massa.

"Saya dengar partai lain ada yang maharnya tinggi, sangat relatif, bisa mencapai ratusan juta. Tapi kebenaran pastinya juga tak kita ketahui," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: