JAKARTA, GRESNEWS.COM – Lolosnya aturan bahwa terpidana percobaan boleh berlaga dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang masuk dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 tahun 2016 mendapat tanggapan keras oleh kalangan pegiat pemilu. Klausul yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) itu dinilai bertentangan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah tak mempertentangkan kedua norma yang membolehkan terpidana percobaan menjadi kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Menurut Fahri, perdebatan soal norma itu memiliki dasar masing-masing yang dapat dibenarkan.

"KPU harus memutuskan status hukum kandidat tidak boleh kontroversial. Ada benarnya kalau itu KPU membuat aturannya, kalau di-judicial review ada benarnya (menjawab) keraguan masyarakat," ujar Fahri saat ditemui gresnews.com di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/9).

Bahkan Fahri, menekankan pentingnya DPR RI membuat aturan baru mengenai terpidana percobaan tersebut. Fahri berpendapat, perlunya membuat aturan secara rinci agar norma-norma yang belum mengatur secara jelas bisa mendapat kepastian hukum melalui aturan yang lebih spesifik.

Terkait dengan pengajuan Judicial Review oleh Perludem, ICW kepada Mahkamah Agung, dia menyerahkan pada mekanisme hukum yang sedang ditempuh. Dinamika seperti demikian wajar saja sehingga tak perlu dipersoalkan.

"Jadi untuk sementara waktu kita tunggu saja keputusan Mahakamah Agung sambil kita menunggu apakah DPR akan membuat ketentuan baru terkait keterlibatan orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana. Dinamika seperti itu sehat, jadi tidak perlu dipersoalkan," katanya.

Namun demikian, Fahri menekankan agar semua kandidat yang akan mencalonkan diri menjadi kepala darah tidak boleh ada tersangkut dengan persaolan hukum baik pidana atau perdata. Menurut Fahri bagi kandidat yang terlibat dalam kasus hukum, akan rentan sekali untuk menyalahgunakan posisinya sebagai kepala daerah.

"Tetapi kalau sudah ditetapkan sebagai calon, sebaiknya proses hukum dihentikan dulu karena kalau dibiarkan menjadi polemik selama pilkada nanti sengketanya bisa turun kepada rakyat," saran Fahri.

Saat ditanya apakah ada pertentangan antara Pasal 7 UU Pilkada dengan PKPU Nomor 9 tahun 2016, Fahri tak menjawab pasti. Menurut Fahri ketentuan yang diatur melalui undang-undang itu masih membuka peluang norma yang mengatur tentang terpidana masih dapat diperdebatkan. Atas dasar itu pula, karena itu norma tersebut diterjemahkan sesuai kepentingan.

"Setahu saja, karena normanya masih ada pintu bagi kasus terpidana percobaan. Karena itu saya mengusulkan agar DPR juga membuat ketentuan lebih spesifik melalui undang-undang. Prinsipnya semua calon harus bersih," kata anggota DPR daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

TIDAK BERTENTANGAN - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) mengajukan uji materi terkait Pasal 4 ayat (1) huruf f PKPU Nomor 9 tahun 2016 ke Mahkamah Agung. Koalisi Masyarakat Pemantau dan Peneliti Pemilu menilai ada norma yang bertentangan antara PKPU dengan UU Pilkada.

Titi Anggraini peneliti Perludem menilai keberadaan PKPU Nomor 9 tahun 2016 membuat ketidakpastian hukum. Pasal 4 PKPU menyatakan membolehkan terpidana percobaan boleh mengikuti pilkada, tetapi UU Pilkada secara jelas menyebutkan syarat calon kepala daerah adalah tidak tengah berstatus terpidana.

Titi menegaskan, UU Pilkada mengklasifikasi bahwa orang yang menjalani hukuman percobaan, status hukumnya adalah seorang terpidana. Dengan alasan itu, terpidana percobaan tak memenuhi syarat untuk menjadi calon kepala daerah. "Patut dimaknai tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah sebagaimana telah ditetapkan UU Pilkada," terang Titi.

Pasal 4 huruf f PKPU No 9 menyatakan :Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis), terpidana karena alasan politik, terpidana yang tidak menjalani pidana dalam penjara wajib secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan sedang menjalani pidana tidak di dalam penjara.

Sedangkan UU Pilkada No 10 tahun 2016 pasal 7 huruf g menyatakan : Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Menanggapi pertentangan itu, senada dengan Fahri juga disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi. Menurut Rully, konstitusi negara menjamin hak konstitusional warga negara. Hak politik merupakan bagian dari hak yang dijamin konstitusi dalam rangka menegakkan hukum yang demokratis.

Dengan alasan itu, Rully menegaskan bagi terpidana percobaan tak dapat dikategorikan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari tindak pidana. Sehingga tidak cukup kuat untuk membatasi hak konstitusional terpidana percobaan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

"Kalau yang dipersoalkan adalah calon kepala daerah yg berstatus terpidana percobaan, maka terpidana percobaan itu sendiri belum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana dengan hukuman berat yang bisa mengurangi moralitas dan kepercayaan publik terhadap seorang yang akan mencalonkan diri dalam pilkada," ungkap Rully kepada gresnews.com, Selasa (27/9).

Rully menambahkan PKPU Nomor 9 tahun 2016 pada dasarnya tidak bertentangan dengan UU Pilkada. Untuk membatasi hak politik seseorang diperlukan ketelitian agar tidak bertabrakan dengan UU bahkan norma konstitusi.

"Jadi peraturan PKPU yang masih membuka ruang terhadap calon yang berstatus terpidana percobaan tidak bertentangan konstitusi dan bahkan UU yang mengatur secara spesifik mengenai pemilihan umum kepala daerah," pungkas Rully.

BACA JUGA: