JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gagalnya Badan Intelijen Negara (BIN) mendeteksi beberapa kasus teror yang terjadi belakangan ini membuat citra BIN tercoreng. Beberapa kalangan menilai, hal ini dikarenakan Sutiyoso sebagai kepala BIN kehilangan orientasi dalam mengelola BIN itu sendiri. Ia dinilai memperburuk internal BIN dengan melakukan militerisasi.

Pengamat Militer Muradi menyatakan seharusnya Sutiyoso melakukan pembenahan internal dengan memperbaiki kualitas sumberdaya manusia (SDM) di tubuh BIN. Bukan malah mengambil tenaga outsourching dari TNI karena milter mempunyai lembaga sendiri yang bekerja di wilayah operasional dan bukan wilayah strategis.

"Perubahan yang dilakukan Sutiyoso dengan mengganti komposisi yang ada di BIN dari 4, 4, 2 dengan rincian 4 tenaga sipil, 4 tenaga Polri dan 2 militer menjadi 8, 2 yaitu 8 tenaga militer dan 2 sipil dan Polri itu sudah salah orientasi," kata Muradi kepada gresnews.com, Minggu (17/7).

Dalam hal ini, BIN harusnya memiliki 2 fungsi, pertama sebagai fungsi koordinasi, dan kedua fungsi membuat strategi terkait dengan tata kelola intelijen negara. Jadi ranah BIN sudah sangat jelas yaitu sebagai pendeteksi dini terhadap kemungkinan adanya peristiwa yang dapat membahayakan negara dan berkoordinasi dengan lembaga penegak untuk menutup kejadian tersebut dan bukan sebagai penegak hukum.

Muradi mencontohkan, dalam kasus penangkapan kelompok Din Minimi di Aceh oleh anggota BIN beberapa waktu yang lalu. Seharusnya Sutiyoso tidak perlu muncul ke permukaan dengan mengklaim keberhasilan tersebut dilakukan oleh BIN. Namun memberikan klaim kepada orang-orang yang ada di wilayah operasional seperti TNI dan Polri sebab dalam karekteristik BIN atau lembaga intelijen Sutiyoso tidak dalam posisi yang muncul.

"Dalam dunia intelijen ada ungkapan berhasil tidak bisa diklaim, gagal tidak menjadi bagian operasional. Jadi kalau memang berhasil ya sudah di luar konteks BIN," ujarnya.

Oleh karena itu ia menyarankan agar BIN segera direvitalisasi dalam segi perbaikan SDM dan bukan dalam hal perbaikan Undang-Undang. Karena Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara sudah cukup kuat dan ditambah Perpres Nomor 65 tahun 2013 yang membuat BIN leluasa menjalankan fungsinya sebagai pendeteksi dini. Masalah utama tinggal bagaimana menata kelola tubuh BIN itu sendiri.

Dengan demikian tidak perlu penguatan lagi seperti yang diminta oleh Sutiyoso agar BIN dilibatkan di dalam Undang-Undang anti teror. Karena jika hal tersebut dilakukan, malah semakin membuat BIN makin kehilangan orientasinya sebagai lembaga intelijen negara.

"Karakter intelijen, diperkuat dengan UU Intelijen adalah karakter pembuat kebijakan dan koordinasi bukan karakter operasional karena operasional sudah ranah Polri dan TNI", ujarnya.

Barkaca dari hal tersebut, ia sepakat kalau Sutiyoso memang sudah waktunya untuk digantikan sebagai kepala BIN. Selain minim prestasi, faktor umur Sutiyoso yang sudah 70 tahun dianggap sudah tidak mumpuni dan menjadi lamban, sedangkan BIN butuh pemimpin yang paham betul internal dan kemampuan mengorganisir yang bagus serta cepat.

"Kalau dari segi pengalaman oke lah, akan tetapi apa sih produk BIN yang fenomenal? karena sampai hari ini tidak ada," ujar Muradi.

KINERJA MINIM - Senada dengan Muradi, Abdul Kharis Anggota Komisi I DPR RI menyatakan banyaknya aksi teror menjadi tolak ukur bahwa kinerja intelijen yang dimiliki negara ini masih belum maksimal. Ia menyatakan keberhasilan BIN ditentukan jika intelijen berhasil untuk menggagalkan seluruh rencana terorisme yang ada.

"Kalau masih kecolongan dan terus terjadi teror berarti gagal," ungkap Kharis.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu BIN kecolongan dengan aksi sebuah bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolresta) Solo, Jawa Tengah, pada Selasa pagi, 5 Juli sekitar pukul 07:45 WIB. Pelaku tewas di tempat, sedangkan seorang anggota kepolisian yang berusaha mencegahnya mengalami luka-luka, ledakan ini terjadi hanya sehari jelang perayaan Idul fitri.

Diduga pelaku adalah Nur Rohman warga Kelurahan Sangkrah, Pasar Kliwon RT 01/12. Nur Rohman, menurut keterangan polisi, adalah anggota kelompok Arif Hidayatullah alias Abu Mush´ab yang disebut satu jaringan dengan sosok Bahrun Naim, yang kini diklaim berada di Suriah. Temuan polisi menyimpulkan Bahrun Naim adalah otak pelaku penyerangan ledakan bom di depan Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Januari lalu.

Kharis juga mengatakan bahwa seharusnya seluruh lembaga intelijen itu dikoordinasikan BIN sehingga jika ada urusan intelijen presiden akan mudah mendapatkan informasi terkait. Hanya cukup memanggil Sutiyoso karena semuanya sudah ada dibawah koordinasi Sutiyoso sebagai kepala BIN.

Di lain pihak, pengamat politik Emrus Sihombing menyatakan, sangat wajar apabila Sutiyoso muncul ke permukaan. Karena karena kapasitas dia sebagai pimpinan intelijen dan itu sudah lumrah di seluruh dunia bahwa pimpinan intelijen muncul ke permukaan untuk memberikan kejelasan yang di lempar ke publik. Akan tetapi kegiatan-kegiatan serta petugas intelijennya lah yang bersifat rahasia dan tidak dapat dibuka.

Ia menceritakan bahwa sewaktu mahasiswa, dirinya mengadakan diskusi dan isu diskusi ini bocor. Yang berarti ada intelijen di kalangan diskusi yang notabene adalah teman, dan hingga berpuluh tahun ia tidak mengetahui siapa yang melaporkan isi diskusi tersebut padahal dia dan teman-teman yang mengikuti diskusi tersebut masih berhubungan.

"Nah seperti itulah para petugas intelijen, kalau Sutiyosonya wajar timbul ke permukaan," ungkap Emrus kepada gresnews.com, Minggu, (17/7).

Terkait dengan kinerja Sutiyoso, Emrus menyatakan bahwa tidak bisa mengatakan kinerja Sutiyoso kurang karena beberapa kasus teror yang terjadi belakangan ini. Hal ini lebih disebabkan UU Intelijen yang dimiliki tidak memberikan ruang yang lebih kepada BIN, sehingga BIN dirasa kurang kuat.

Hal ini karena tugas BIN yang hanya sekedar mencari data dan tidak diperkenankan untuk menindak lanjuti data yang didapat. Ditambah jikalau data yang didapat berisikan adanya tindakan yang membahayakan negara serta warganya serta harus ditindak secara cepat menjadi salah satu penyebab gagalnya pencegahan aksi teror.

"Berikan wewenang yang lebih banyak dan lebih otonom semacam hak dikreasi kepada BIN," ujarnya.

Sehingga apabila BIN menemukan adanya indikasi adanya kegiatan yang akan membahayakan warga negara, BIN memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan segera. Setelah ditangkap, BIN juga dapat melakukan penyidikan secara rahasia walaupun kejadiannya belum terjadi, akan tetapi jika dibiarkan berpotensi membahayakan.

"Kalau belum tentu benar ya ditangkap saja, nanti diintegrasikan dan jika hasilnya tidak benar ya tinggal dibebaskan dan kesemuanya itu tidak perlu di publikasikan," ungkapnya.

Maka dari itu, menurutnya penting untuk lebih dulu memperjelas definisi terorisme dan juga definisi intelijen secara lebih dalam dan menyeluruh. Hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas petugas intelijen yang melakukan tugasnya di lapangan.

BACA JUGA: