JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penanganan terorisme kerap kali menyisakan trauma bagi korban. Tekanan psikologis yang menahun, tanpa ada penanganan pemerintah, membuat korban terus  terkerangkeng dalam masa lalu yang traumatik. Persoalan ini perlu memperoleh perhatian, terutama dalam penyusunan revisi Undang-undang Terorisme.

Deputi Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Laode Arham menyatakan korban terorisme memang kurang mendapat perhatian secara serius oleh pemerintah. Untuk itu, penting melihat ulang, terutama melihat dari perspektif korban.

"Hak korban masih kurang diperhatikan, baik berdasarkan undang-undang maupun pengakuan soal korban," kata Laode. Bahkan ada korban yang sejak tahun 2002 harus merasa kehilangan yang semestinya mendapat perhatian pemerintah namun hal ini luput dari sorotan media masa.

Pengamat pers Agus Sudibyo menyampaikan perlunya membuat penguatan laporan jurnalistik berbasis perspektif korban. Selama ini, pemberitaan cenderung mengesampingkan kepentingan korban yang jarang terungkap secara utuh.

"Korban tidak banyak di-explore. Mereka tidak banyak diberi ruang," kata mantan anggota Dewan Pers 2010-2013, di sela-sela diskusi di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Rabu (25/5).

Menurut Agus, model pemberitaan media massa sejak Orde Baru belum banyak berubah. Pemberitaan masih mengandalkan pemilihan narasumber dari kalangan elite saja. "Akibatnya, media kemudian mengkonstruksi realitas berdasarkan elite," kata Agus.

Berita selama ini masih berbasis the name makes news, dan media lebih berdasar pada magnitude karena melibatkan tokoh, sedangkan korban dari kalangan awam "ordinary people" jarang sekali terungkap di ruang pemberitaan media massa.

Agus mengklasifikasi motif media massa ke dalam beberapa klasifikasi. Diantaranya, mengejar sensasi, mengesampingkan etika, kurang memperhitungkan dampak, bad news is good news.

"Kalau hanya melihat dari sisi bad news is good news hanya akan melihat dari sisi konflik tidak melihat dari sisi bagaimana pemilihan hak korban yang kurang diekspose, itu yang perlu," katanya kepada gresnews.com.

Dia mengkritik media massa yang cenderung bertindak tanpa mempertimbangkan dampak berita terhadap keluarga pelaku sehingga banyak menjadi korban, karena dari keluarga pelaku, ditindas oleh stigma masyarakat. Dalam menulis berita soal terorisme, Agus menambahkan, harus mempertimbangkan dampak pemberitaan terhadap keluarga pelaku yang sebetulnya juga menjadi korban pemberitaan terorisme.

"Dia bukan pelaku, yang mesti dipikirkan juga adalah masa depannya. Kadang pemberitaan di media massa menimbulkan korban berikutnya," tuturnya.

Diketahui dalam konteks terorisme ada dua jenis korban, yakni korban karena aksi teror para terorisme dan korban dari pihak keluarga penanganan terorisme atau aparat penegak hukum.

PERLINDUNGAN KORBAN DALAM REVISI UU TERORISME - Wacana untuk memberi perhatian terhadap korban terorisme juga mengemuka dalam rangka revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
 
Anggota Pansus UU Terorisme dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Muslim Ayub kepada wartawan mengakui selama ini pemerintah terkesan abai pada korban akibat aksi terorisme. Padahal, korban juga harus diperhatikan karena banyak dari mereka kesulitan melanjutkan kehidupannya setelah peristiwa aksi terorisme.

Korban, menurutnya, tidak mendapat santunan pemerintah. Dalam kondisi ini seharusnya negara hadir. Sejumlah Fraksi DPR juga mendesak agar revisi UU Terorisme ini lebih memperhatikan korban.

Anggota Pansus UU Terorisme lainnya dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (PKB) Saiful Bahri Anshori menyebutkan ada empat hal yang harus jadi perhatian dalam revisi UU Terorisme, satu diantaranya soal korban aksi terorisme. Negara harus turut memikirkan nasib korban terorisme.

PENDANAAN TERORISME - Di sisi yang lain, peneliti pusat kajian terorisme dan konflik sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Solahudin memaparkan temuannya soal perkembangan Islamic State Irak and Syria (ISIS) di Indonesia.

Dalam masalah pendanaan, dia melihat ada perkembangan pola baru untuk membiayai aksi terorisme di Indonesia. Menurutnya, pembiayaan aksi teror bahkan tidak saja mengandalkan pendanaan luar negeri. Support pendanaan dalam negeri pun juga mengucur untuk aksi teror.

"Ada dana dari dalam negeri juga seperti dana seorang dokter di Banten yang membiayai pelatihan militer di Aceh," ujarnya.

Selain itu, dia melihat ada pergeseran dalam menentukan musuh yang menjadi target terorisme. Sejak tahun 2002 - 2009, target yang disasar itu pada far enemy yakni Amerika Serikat dan sekutunya. Lalu pada 2010-2015 targetnya bergeser ke near enemy (pemerintah atau kepolisian).

"Sekarang itu yang disasar gabungan antara far enemy dan near enemy dan islam Syiah,"terangnya.

Dia menambahkan, secara kualitas memang serangan ISIS menurun. Solahudin mengungkapkan bahwa menurunnya kualitas serangan itu disebabkan banyaknya pelaku teror yang dijebloskan ke penjara dan banyaknya para "mujahid" yang berimigrasi ke Syiria.

BACA JUGA: