JAKARTA, GRESNEWS.COM – Larangan terhadap keluarga petahana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan membatasi hak memilih dan dipilih seorang warga negara. Larangan tersebut hanya sebagai mekanisme pengaturan administratif sehingga keluarga petahana masih bisa mencalonkan diri sebagai kandidat pilkada satu periode setelah petahana tersebut berakhir masa jabatannya.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan aturan yang melarang keluarga petahana mencalonkan diri dalam pilkada memiliki latar belakang tersendiri, sehingga tidak serta merta pasal tersebut muncul. Menurutnya pembuat undang-undang sudah memperhatikan kalau keluarga petahana terus menerus berada dalam kekuasaan tentu tidak adil.

"Tentu banyak sekali korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Berdasarkan itulah Komisi II DPR dan pemerintah setuju untuk berikan ketentuan khusus untuk keluarga petahana. Bukan dilarang tapi istirahat satu kali pilkada," ujar Yandri saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (2/6).

Ia melanjutkan cara paling efektif yang digunakan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan tersebut adalah tidak memberikan kekuasaan pada petahana secara turun temurun. Kalau membatasi kekuasaan maka menurutnya sangat relatif ukurannya. Tapi kalau keluarga petahana dilarang maka tidak ada lagi penyalahgunaan anggaran dan kekuasaan.

"Kalau hari ini memang sedang di-judicial review silakan mahkamah konstitusi menilai itu layak dikabulkan atau tidak," lanjut Yandri.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan persoalannya ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang  diserahkan pada hukum yang ada saat ini, ternyata tidak mampu melakukan pembatasan tersebut. Sebab hukum didesain sejak awal bias dengan kepentingan partai politik dalam pemilu.

"Jadi kalau kita mengharapkan sepenuhnya pada hukum tidak akan pernah terjadi pembatasan. Itu sudah kita coba kan," ujar Titi saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Selasa (2/6).

Menurutnya, keluarga petahana juga bukan dilarang atau dicabut haknya untuk mencalonkan diri dalam pilkada. Tapi hanya diatur mekanisme pencalonannya yaitu satu periode setelah petahana tidak lagi menjabat. Sehingga sebenarnya hak untuk ikut sebagai kandidat dalam pilkada masih tetap ada.

Atas dasar itu larangan tersebut menurutnya bukan pembatasan tapi hanya pengaturan administrasi. Menurutnya kalau keluarga petahana memang baik dan memiliki dukungan yang kuat maka pasti akan tetap terpilih sebagai kepala daerah walaupun keluarganya tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah.    

Ia mencontohkan larangan tersebut dengan analogi seorang kepala daerah yang tidak boleh menjabat lebih dari dua kali. Lalu soal syarat menjadi kepala daerah juga diatur minimal 25 tahun. Ia menilai hal tersebut juga bisa dianggap membatasi. Tapi sebenarnya hanya diatur bahwa setelah 25 tahun siapapun boleh mencalonkan diri.

Sebelumnya, sejumlah keluarga petahana yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada menggugat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon pertama dengan nomor perkara 33/PUU-XIII/2015, Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Golkar. Adnan adalah putra Bupati Gowa Sulawesi Selatan Ichsan Yasin Limpo. Pemohon kedua dengan nomor perkara 34/PUU-XIII/2015, Aji Sumarno merupakan menantu Bupati Selayar Sulawesi Selatan Syahrir Wahab. Melalui pasal tersebut para pemohon merasa dirugikan lantaran kesempatannya menjadi calon kepala daerah hilang sehingga poin tersebut dianggap menghalangi haknya maju dalam pilkada.

BACA JUGA: