JAKARTA, GRESNEWS.COM - Publik tiba-tiba dikejutkan dengan tindakan pemblokiran terhadap situs-situs internet yang selama ini ditengarai gencar melakukan propaganda ekstrimisme-kekerasan dengan latar agama. Pemerintah memang telah lama aktif melakukan pemblokiran situs internet dengan alasan pornografi dan kesusilaan, namun kini cakupannya diperluas pada isu ekstrimisme-kekerasan.

Muncul pertanyaan, apakah rezim blokir dan penyumbatan informasi tengah menguat? Peneliti ELSAM Wahyudi Djafar menengarai, bangkitnya rezim blokir ini diakibatkan karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas mengenai pengawasan terhadap konten internet beserta mekanisme pembatasannya.

"Setidaknya terdapat dua undang-undang yang secara eksplisit memberikan wewenang pemblokiran terhadap konten internet," kata Wahyudi dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa (31/3).

Pertama, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khusus untuk konten-konten yang mengandung muatan pornografi. Kedua, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khusus untuk konten yang dinilai melanggar hak cipta (HKI). "Mengenai pengaturan prosedurnya, UU Pornografi sama sekali tidak mengatur mengenai prosedur, sementara UU Hak Cipta menyaratkan prosesnya harus seizin pengadilan," terang Wahyudi.

Sementara UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meski mengatur perihal konten-konten yang dilarang, namun materinya justru tidak sedikit pun mengatur mengenai prosedur pemblokiran konten, kecuali yang terkait dengan penyitaan dalam rangka penyidikan proses pidana. Dalam praktiknya, semenjak beberapa tahun lalu, tanpa suatu landasan hukum yang jelas, pemerintah melalui Kemenkominfo telah mengembangkan program database Trust+ Positif, yang berisi daftar hitam situs layak blokir.

Program ini kemudian dilegalisasi dengan lahirnya Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif, yang saat ini tengah dalam proses pengujian di Mahkamah Agung. Tiadanya aturan yang jelas mengenai prosedur serta akuntabilitas dalam prosesnya, berakibat pada kerapnya terjadi tindakan salah blokir (over blocking), seperti yang dialami situs International Gay Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC.org), Our Voice (ourvoice.or.id), Vimeo, Youtube, MySpace, Multiply, Rapidshare, dan Metacafe.

Teknik pemblokiran dilakukan dengan cara memblokir konten-konten internet berdasarkan kata-kata kunci yang dianggap mengandung muatan negatif. "Alih-alih hanya memblokir konten yang bermuatan negatif, cara seperti justru mengakibatkan terblokirnya seluruh konten internet," ujar Wahyudi.

Dia mengatakan, pemblokiran terhadap konten internet memang boleh dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap hak atas kemerdekaan berekspresi yang memang boleh dibatasi. Namun demikian dalam pembatasannya musti mengacu pada kaidah dan prinsip pembatasan sebagaimana diatur oleh Konstitusi maupun hukum internasional hak asasi manusia.

Ketika suatu negara akan melakukan tindakan pemblokiran terhadap konten internet, maka aspek-aspek yang musti diperhatikan adalah sebagai berikut:

No. Aspek Penjelasan
1 Tujuan Langkah paling awal dalam mengambil tindakan pemblokiran adalah merumuskan tujuan dari dilaksanakannya tindakan tersebut.
2 Pernyataan resmi tentang tindakan yang akan diambil Perlu dibuat pernyataan bahwa pemerintah merasa perlu mengambil tindakan berupa pemblokiran terhadap konten tertentu.
3 Penjelasan khusus mekanisme pemblokiran yang akan dilakukan Perlunya negara memastikan setiap orang dapat mengerti hukum dan dapat memeriksa bahwa tindakan pembatasan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
4 Dasar justifikasi dari tindakan penyaringan Hal-hal yang menjustifikasi dilakukannya tindakan pembatasan. Baik hukum internasional, hukum nasional, konvensi yang diterima masyarakat secara luas, nilai dan norma yang berlaku. Misalnya, keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum sebagaimana diatur ketentuan Pasal 19 Ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
5 Elaborasi mengenai permasalahan yang sedang terjadi dan mekanisme pelaksanaan pembatasan tersebut Perlu diuraikan secara lengkap, prosedur pelaksanaan dari pilihan tindakan pemerintah. Aspek ini merupakan wujud transparansi kepada masyarakat dalam rangka mendorong adanya pengawasan untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah. Misalnya, menjelaskan bahwa apabila suatu situs diblokir, pengguna internet akan menerima pesan: i) Menunjukkan mengapa pemblokiran ini terjadi dan hukum apa yang dijadikan dasar untuk melakukan tindakan itu, ii) Menyertakan penjelasan mengenai bagaimana pengguna internet dapat melaporkan masalah dan menerima pesan.

Karena itu, menurut Wahyudi, melihat perkembangan situasi di atas serta merujuk pada hukum internasional hak asasi manusia, Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM) memberikan beberapa rekomendasi berikut. Pertama, sepanjang belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur mengenai pembatasan konten internet, termasuk mekanisme pemblokirannya, hendaknya Kemenkominfo tidak memberikan perintah pemblokiran pada penyedia layanan internet (ISP), untuk menghidari terjadinya pelanggaran hak asasi lanjutan.


"Dalam melakukan pengawasan konten internet, dikenal beberapa macam arsitektur, tidak hanya teknologi, tetapi juga sosial. Saat ini yang paling mungkin dilakukan adalah penapisan (filtering) dengan teknik sosial, misalnya dengan memberikan pendidikan publik yang berkesinambungan mengenai konten-konten berbahaya," tegas Wahyudi.

Kedua, praktik pemblokiran konten internet, dinilai banyak kalangan secara teknis telah cacat di awal, dikarenakan selalu memiliki dampak yang lebih luas, daripada sasaran yang hendak dituju. Oleh karena itu, untuk memastikan tujuan perlindungan hak asasi, musti disediakan peraturan perundang-undangan yang memerhatikan tiga elemen pengujian berikut:

(a) tindakan pemblokiran konten harus diatur oleh hukum yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip-prinsip prediktabilitas dan transparansi).

(b) tindakan tersebut harus memenuhi salah satu tujuan yang diatur pada Pasal 19 Ayat (3) ICCPR, yaitu untuk melindungi hak-hak dan reputasi orang lain; keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral publik (prinsip legitimasi).

(c) tindakan itu harus dapat dibuktikan urgensianya dan seminimal mungkin dilakukan (mekanisme terakhir) untuk mencapai tujuan utama (prinsip-prinsip kepentingan dan proporsionalitas). Selain itu, kewenangan untuk melakukan seluruh tindakan tersebut harus diberikan pada badan yang independen dari pengaruh politik, komersial atau pihak yang tidak berwenang, tidak secara semena-mena ataupun diskriminatif.
"Harus ada pula perlindungan untuk menghadapi penyalahgunaan termasuk kemungkinan terhadap komplain dan pemulihan atas praktik pemblokiran yang disalahgunakan," urai Wahyudi.

Ketiga, pentingnya penggunaan standard-standard hak asasi manusia dalam menyusun kebijakan sebagai respons atas berbagai persoalan yang terkait dengan tata kelola internet. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki kewajiban positif dalam implementasi hak asasi manusia yang harus dipertimbangkan dalam menyusun respons atas persoalan terkait, dalam hal ini penapisan dan pemblokiran konten internet.

Sementara itu, terkait masalah ini, Komisi I DPR akan menggelar rapat gabungan dengan menghadirkan Panglima TNI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Mereka akan meminta penjelasan Kominfo terhadap kasus pembredelan yang dianggap berlebihan dan memberangus kebebasan pers yang telah diraih pasca-reformasi  1998.

"Dalam dua pekan ini akan kami jadwalkan, tidak hanya dengan Menkominfo, tapi dengan mitra kerja yang lain juga," kata Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (31/3).

Pembredelan tanpa klarifikasi dengan dugaan penyebaran paham radikalisme ini dianggap gegabah. Pasalnya, pemerintah jadi terkesan memiliki sikap otoriter dan takut berlebihan terhadap gerakan berbasis Islam. "Jangan terlalu paranoid begitu mendapat laporan dari pihak manapun, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)," katanya.

Pemerintah seharusnya melakukan verifikasi dan pengkajian lebih dalam untuk memastikan konten yang telah dituduhkan. Pemeriksaan harus dilakukan cermat, sebab media-media yang dibredel tersebut dilaporkan menjadi ancaman penyebaran satu kelompok islam radikal. "Jangan sampai dicap pemerintahan melalui Kominfo itu mengidap Islamophobia sehingga harus segera melakukan pemblokiran," kata Hanafi.

Hal yang sama diutarakan Ketua Komisi VIII Saleh Daulay yang menyebutkan penutupan media ini amat terburu-buru lantaran tak melalui proses verifikasi dan klarifikasi dari pemilik situs. Seharusnya, pemerintah memproses pemilik situs dahulu dengan meminta keterangan pemilik situs.

"Tidak ada ruang diskusi dan klarifikasi, yang sedikit berbeda, langsung dibungkam, pemerintah bisa dianggap prejudice dengan satu agama tertentu," katanya dalam siaran pers yang diterima wartawan, Selasa (31/3).

Apalagi, tak ada standar tertentu untuk mengidentifikasi media penyebar radikalisme. Sehingga aksi main bredel dapat membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi Undang-Undang. Padahal tidak semua situs yang diblokir menyebarkan paham radikalisme, beberapa di antaranya benar dipergunakan sebagai media dakwah.

"Jika dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan maka apa bedanya konten dakwah dengan konten judi dan pornografi yang juga diblokir?" tuturnya.

BACA JUGA: