JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tidak diaturnya pembatasan pelimpahan berkas perkara dari penyidik kepolisian ke penuntut umum atau jaksa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berdampak ketidakjelasan status seseorang sebagai tersangka. Seseorang bisa berstatus tersangka  selama bertahun-tahun tanpa ada kejelasan, hanya karena berkas perkaranya terus bolak balik dari polisi ke penuntut umum.  

Kondisi itu mendorong empat anggota masyarakat, yakni Usman Hamid, Choki Ramadhan, Carolus Tuah, dan Andro Supriyanto mengajukan gugatan judicial review sejumlah pasal KUHAP ke Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum pemohon, dari Pengacara Publik LBH Jakarta, Ichsan Zikry, mengatakan, gugatan diajukan untuk membenahi sistem penyidikan dan peradilan di Indonesia.

Ia menjelaskan, permohonan uji materi difokuskan pada beberapa pasal yang mengatur tentang prapenuntutan dalam KUHAP. Diantaranya Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138, Pasal 139 dan Pasal 14 huruf I KUHAP. Pasal-Pasal terkait Prapenuntutan tersebut secara normatif dan praktis telah mereduksi peranan penuntut umum sebagai pengendali perkara dan pengawas jalannya penyidikan. Hal inilah yang menyebabkan penyidikan luput dari pengawasan penuntut umum, ini tentu akan mengakibatkan kesewenang-wenangan penyidik dalam proses peradilan pidana.

Salah satu pemohon, Usman Hamid, mengisahkan saat ini dirinya kurang lebih sudah 10 tahun masih tercatat sebagai tersangka atas dua Laporan tindak pidana. Namun tidak ada kejelasan terhadap proses hukum kasusnya. Hal serupa juga terjadi pada kasus dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh dua orang mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjajanto.

Dalam proses penyidikan yang dilakukan kepolisian berkas perkara pemeriksaan dua orang tersangka itu juga mengalami berulang kali saling lempar (bolak-balik) antara penyidik kepolisian dan penuntut umum atau kejaksaan. Padahal, Ichsan mengatakan, mereka membutuhkan kepastian hukum atas kasus yang disangkakan terhadapnya.

"Itu dikarenakan dalam Pasal 138 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP itu tidak diatur berapa kali pelimpahan berkas perkara dari penyidik  kepolisian kepada penuntut umum. Jadi ini kita minta MK mempertegas frasa pada pasal-pasal ini," kata Ichsan kepada gresnews.com, senin (6/10).

Ditemui di tempat yang sama, kuasa hukum pemohon lainnya, Adery Ardhan Saputro, mengatakan selain uji materi pasal tentang pelimpahan berkas perkara. Pihaknya juga  mengajukan uji materi pasal 109 ayat 1 tentang pemberitahuan yang dikeluarkan oleh penyidik kepolisian kepada penuntut umum atas dimulainya sebuah penyidikan atau yang biasa dikenal dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Menurutnya, sering kali penuntut umum tidak mengetahui proses penyidikan yang dilakukan penyidik kepolisian. Disebabkan kerapnya penyidik kepolisian mengeluarkan SPDP bersamaan dengan pelimpahan berkas penyidikan. Ia menduga, tidak diatur waktu dikeluarkannya SPDP oleh penyidik kepolisian kepada penuntut umum adalah salah satu penyebab berkas perkara pemeriksaan penyidikan dilempar kembali oleh penuntut umum kepada kepolisian.

Makanya kita meminta MK menentukan kapan dikeluarkannya SPDP oleh kepolisian kepada kejaksaan. Karena di dalam  (pasal 109 ayat 1) KUHAP kita itu tidak ada norma atau aturan yang menegaskan kapan SPDP itu dikeluarkan oleh penyidik,” kata pria yang juga aktif di Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI itu kepada gresnews.com.

INGIN JAKSA TERLIBAT PENYIDIKAN – Tidak dilibatkannya penuntut umum atau jaksa dalam proses penyidikan disinyalir sebagai penyebab mekanisme prapenuntutan tidak berjalan efektif. Adery menilai, penuntut umum harus terlibat aktif sebagai pengawas eksternal dalam proses penyidikan di kepolisian. Dengan terlibatnya penuntut umum sejak awal penyidikan, dapat membantu mempercepat proses penyidikan tanpa berdampak pada bolak-baliknya berkas perkara.

Ia juga menilai, keterlibatan penuntut umum dalam proses penyidikan di kepolisian dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya abuse of power atau kesewenang-wenangan penyidik kepolisian dalam menangani sebuah perkara. "Penuntut umum atau jaksa dapat melakukan peran itu jika mereka dapat dilibatkan dalam proses penyidikan dari awal," ujarnya.

Namun pengamat Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof. Romli Atmasasmita menilai, keterlibatan jaksa dalam proses penyidikan oleh kepolisian tidak dapat dilakukan di Indonesia. Hal ini disebabkan sistem hukum yang dianut undang-undang di Indonesia mengadopsi sistem civil law. Civil law  adalah sebuah sistem peraturan hukum yang mengatur kewenangan dan kekuasaan penguasa atau Negara serta hubungan antara masyarakat dan Negara.

Dalam sistem itu, lanjut Romli, seluruh instansi atau lembaga penegak hukuk seperti kepolisian, kejaksaan, serta hakim memiliki kewenangan masing-masing yang diatur dalam KUHAP. "Kita ini mengadopsi civil law bukan common law. Jadi Jaksa memiliki kewenangan dalam penuntutan, dan penyidikan itu wewenang kepolisian," katanya melalui sambungan seluler, Selasa (7/10).   

UJI MATERI SALAH SASARAN – Permohonan uji materi sejumlah pasal terkait prapenuntutan yang dilakukan sekelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi hendaknya tidak salah sasaran. Romli mengatakan, uji materi yang dilakukan para pemohon harus memiliki kaitan pertentangan secara konstitusional. Ia menilai latar belakang dilakukannya uji materi sejumlah pasal prapenuntutan yang bertujuan untuk mengefektifkan fungsi jaksa selaku penuntut umum tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku.

Jika keberatan pasal-pasal prapenuntutan didasari oleh kemungkinan terjadinya abuse of power atau tindak kesewenangan yang dilakukan penyidik atau berdampak pada ketidakpastian hukum tersangka, menurut Romli, UU KUHAP telah mengatur mekanisme praperadilan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. "Jadi sebenarnya uji materi ke MK itu kurang tepat, karena tidak ada pertentangan konstitusional yang jelas dalam pasal-pasal itu. karena semua sudah diatur dalam KUHAP, termasuk peraturan praperadilan,” katanya.

Pendapat serupa disampaikan koordinator Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menilai, pengajuan uji materi atas sejumlah pasal dalam KUHP itu sah-sah saja dilakukan ke MK. Ia mencontohkan, pengajuan uji materi atas pasal 134 KUHP tentang penghinaan terhadap kepala negara atau presiden yang pernah dilakukan sejumlah aktivis beberapa waktu silam. Dalam pengajuan tersebut MK memutuskan menghapus pasal karet tersebut dengan pertimbangan bertentangan dengan UUD 1945, tentang kebebasan berpendapat di muka umum.

Namun, terkait dengan tujuan uji materi sejumlah masyarakat yang menginginkan penuntut umum atau jaksa terlibat dalam proses penyidikan oleh kepolisian, Neta menilai, hal tersebut tidak masuk akal. Pasalnya, dalam KUHAP telah diatur peran serta wewenang antar lembaga penegak hukum masing-masing. Ia berpandangan, jika perubahan pasal di KUHAP yang terkait dengan peran dan kewenangan lembaga hukum di Indonesia, lebih tepatnya melalui mekanisme revisi KUHAP/KUHP yang saat ini sedang ditangani DPR RI. "Semoga pasal-pasal itu masuk dalam agenda revisi," tegasnya.

Diketahui Senin (5/10), sejumlah masyarakat menguasakan kepada LBH Jakarta dan MaPPI mengajukan gugatan uji materi sejumlah pasal terkait prapenuntutan ke MK. Pasal-Pasal tersebut diantaranya Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138, Pasal 139 dan Pasal 14 huruf I KUHAP. Para pemohon menilai, berlakunya pasal-pasal tersebut telah bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengandung nilai-nilai Due Process of Law dalam suatu proses peradilan pidana.

Pasal-Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip kepastian hukum terhadap setiap orang dalam proses peradilan pidana, dan mengakibatkan timbulnya perlakuan diskriminatif terhadap setiap orang. Khususnya Warga Negara Indonesia yang berhadapan dengan proses peradilan pidana. Selain menginginkan penegasan sejumlah frasa untuk lahirnya kepastian hukum dalam pasal-pasal tersebut, para pemohon juga  menginginkan MK menegaskan peran jaksa selaku penuntut umum dalam proses penyidikan yang dilakukan Kepolisian yang diatur oleh pasal-pasal tersebut. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: