JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan korupsi di PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang mangkrak selama beberapa tahun di Kejaksaan Agung membuat anggota DPR RI Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan Henry Yosodiningrat gerah. Dia pun kemudian melaporkan kasus Jakpro kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Henry meminta KPK untuk mengambil alih kasus tersebut.

Henry mengatakan, kasus ini sudah masuk ke Kejaksaan Agung pada era kepemimpinan Basrif Arief. Tetapi, hingga saat ini, belum ada kemajuan apapun dalam penyidikan kasus tersebut. Padahal Korps Adhyaksa itu telah membentuk satuan tugas khusus (satgassus) untuk menyidik perkara ini.

"Ini kasus sejak zaman Jaksa Agung Pak Basrif Arief, kemudian ditangani oleh Pidsus (Pidana khusus-red) dan Pidsus bikin tim satgas, satu tahunan lebih, belum sampai dua tahun," kata Henry di Gedung KPK, Jumat (12/2).

Namun Henry enggan menjawab ketika ditanya wartawan apakah mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo bertanggung jawab atas kasus ini. Henry hanya menegaskan kasus ini berkaitan dengan sejumlah aset Pemda Provinsi DKI Jakarta yang diperjualbelikan secara ilegal. Henry memang telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar Jaksa Agung HM. Prasetyo mengusut tuntas kasus ini.

Dia mengaku, Jokowi sudah membalasnya melalui jawaban Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Kemudian juga keluar pernyataan dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang mengatakan perkara ini akan ditindaklanjuti. Tetapi hingga sekarang, belum juga ada kejelasan dari perkara Jakpro yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta itu.

"Berdasarkan keterangan dari Mensesneg dan Seskab, minta presiden untuk diteruskan ke Jaksa Agung tapi sama saja. Untuk apa saya harus percaya?" ujar Henry.

Henry juga mengatakan pihaknya pernah memanggil Jaksa Agung untuk mengklarifikasi kasus ini. Prasetyo ketika itu hanya menjawab banyak pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut.

Lamanya penanganan perkara ini menjadikan Henry meminta KPK untuk mengambil alih. Pengacara senior ini menganggap ada hal yang tidak wajar dalam penanganan kasus. Selain itu ia mengklaim ada aset-aset lain di luar perkara ini yang juga hilang dan belum terungkap.

"Saya melihat ada hal yang tidak beres, justru ada kaitan dengan itu, ada aset lain yang nilainya tidak hanya Rp67 miliar tapi triliunan, makanya saya melengkapi sekalian kemari," ujarnya.

Salah satu ketidakberesan perkara yang dimaksud Henry tercermin dari tidak dilakukannya upaya penggeledahan. Padahal surat geledah di beberapa lokasi, dan hal inilah yang menjadi kecurigaan Henry mengenai ketidakberesan tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengeluarkan surat geledah atas permintaan Basrif Arief, tetapi yang terjadi HM Prasetyo yang menjadi suksesor justru tidak melakukan penggeledahan seperti di kantor PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (WAIP), rumah tersangka yaitu Fredie Tan atau Awi yang juga direktur perusahaan tersebut, serta kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara.

"Sekarang sudah salah satu contoh, minta izin geledah di pengadilan, sudah diizinkan pengadilan tapi tidak dilaksanakan oleh Jaksa Agung Prasetyo. Satgas sudah bekerja dan tersangka sudah dicekal, sudah minta izin geledah, digeledah juga tidak," ujarnya.

KPK BELUM BISA PASTIKAN - Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dihubungi gresnews.com mengatakan pihaknya belum bisa memastikan apakah KPK akan memenuhi permintaan itu. Alasannya, sebelum dijawab, laporan yang dikirimkan Henry harus melalui beberapa prosedur yang ada di lembaga antirasuah tersebut.

"Tadi ketemunya sih dengan teman-teman pengaduan, proses di dumas (Pengaduan Masyarakat-red), dulu," kata Yuyuk, Jumat, (13/2)  malam.

Yuyuk juga masih enggan berkomentar apakah pihaknya akan berkoordinasi dengan kejaksaan untuk menangani perkara ini, termasuk apa akan mengambil alih kasus itu. "Akan dilihat dulu sudah sampai mana penyelesaiannya," ucap Yuyuk.

Terkait kasus ini, pihak Kejagung sendiri menyatakan, tidak ada penyidikan yang mandek apalagi dipetieskan. Dalam kasus yang disidik jaksa Satuan Tugas Khusus (Satgassus) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), sudah ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Dirut PT Wahana Agung Indonesia (Ancol Beach City) Fredie Tan, Komisaris PT Delta Jakarta Oky Sukasah dan mantan Dirut Jakpro I Ketut Gede Suena.

Kepala Subdirektorat Penyidikan Jampdisus Sarjono Turin mengungkapkan, kasus pelepasan aset milik Pemprov DKI Jakarta oleh Jakpro terus dikembangkan. Penyidik telah meminta keterangan banyak pihak termasuk pejabat teras di lingkungan Jakpro. "Sedang disidik, dan terus kami kembangkan," kata Sarjono Turin kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Meski sudah ada tersangka, ketika itu, Turin menjelaskan, ketiganya masih belum dikenakan status cekal dan penahanan. Padahal dalam kasus ini yang diduga merugikan negara sebesar Rp68 miliar ini, mantan Dirut Jakpro Suena telah lama ditetapkan sebagai tersangka yaitu sejak tahun 2012.

Kasus ini sendiri bermula dari aset milik Pemprov DKI Jakarta yang dilepas ke pihak ketiga yang berada di kawasan elite di Pluit, Jakarta Utara. Luas lahan yang dilepas kurang lebih 5.000 meter persegi. Lahan tersebut dijual dengan harga di bawah harga pasar.

Dari kasus pertama, tim penyidik juga tengah menyelidiki kasus baru. Objek kasusnya juga pelepasan aset di kawasan Pluit dengan lahann yang lebih luas. Modusnya hampir serupa, yakni melepas aset ke pihak ketiga tanpa ada persetujuan DPRD dan Gubernur DKI, saat itu, Fauzi Bowo. "Lahannya lebih banyak, ini hasil kerja Satgassus," kata Turin.

Kejagung menduga pelepasan aset yang dilakukan PT Jakpro selaku BUMD menyalahi prosedur antara lain tidak melalui izin dari DPRD dan Pemprov DKI. Diduga terdapat kongkalikong antara PT Jakpro, DPRD, dan Pemprov DKI. Dalam pengembangan kasusnya, penyidik berencana bakal menyita lahan yang dijual. Namun langkah tersebut belum direalisasikan. Hingga kini Kejagung masih menutupi siapa pihak swasta yang membeli aset tersebut.

SIKAP AHOK - Pat gulipat pelepasan aset Pemprov DKI Jakarta yang diduga melibatkan PT Jakpro belakangan tercium oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kasus dugaan pelepasan aset PT Jakpro itu dilaporkan ke Kejaksaan Agung, termasuk dugaan keterlibatan mantan Dirut Jakpro I Gusti Ketut Gede Suena.

Suena sebelumnya adalah sebagai Asisten Administrasi Pembangunan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta (2004), Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta (2001-2004), Kepala Dinas Penerangan Jalan Umum DKI Jakarta (1999-2001), Kepala Biro Administrasi dan Protokol DKI Jakarta (1996-1999), Kepala Bagian Tata Ruang Biro Bina Penyusunan Program DKI Jakarta (1993-1996), Kepala Bagian Kelengkapan Kota Biro Bina Pembangunan DKI Jakarta (1988-1993).

Bahkan dengan tegas Ahok meminta kasus pelepasan aset itu diusut tuntas. "Model-model seperti itu tangkepin aja, saya tidak benci orangnya (Suena) tapi saya hanya tidak suka kelakuannya," kata Ahok usai bertemu Jaksa Agung beberapa waktu lalu.

Agar kasus tak terulang, Ahok merombak direksi PT Jakpro. Ahok telah menunjuk dari Direktur Pengembangan Usaha PT Jasa Marga Abdul Hadi menjadi Direktur Utama PT JakPro menggantikan direktur sebelumnya, Budi Karya, yang sekarang menjadi Dirut PT Angkasa Pura II.

Abdul Hadi diyakini Ahok memiliki prestasi seperti berhasil membangun jalan tol Bali dan perannya dalam pembebasan lahan pembangunan tol tersebut. Ahok berharap Abdul Hadi juga bisa melancarkan pembebasan lahan pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota. Tol tersebut akan dipakai sebagai sarana penyelenggaraan Asian Games 2018.

"Mereka bisa bebasin lahan cepat. Dia juga yang bangun tol di Bali. Kita mau bangun enam ruas jalan tol dalam kota. Dia lama jadi anak buahnya Pak Frans (Dirut Jakarta Toll Road)  kan Pak Frans sudah ditarik ke kami," kata Ahok di Jakarta, beberapa waktu silam.

Enam ruas tol tersebut adalah Semanan-Grogol-Sunter, Sunter-Pulogebang, Duri Pulo-Tomang-Kampung Melayu, Kemayoran-Kampung Melayu, Ulujami-Tanah Abang dan Tanjung Barat-Casablanca. Total panjang enam ruas tol tersebut adalah 69.770 km.

Direktur Utama PT Jakpro Abdul Hadi sendiri mengaku ditugaskan oleh Pemprov DKI untuk menggandeng lima BUMD untuk bergabung dengan perusahaannya. Menurutnya tujuan holding BUMD ke dalam tubuh PT Jakpro adalah untuk memperkuat perusahaan sebelum melakukan pelepasan saham perdana pada 2018.

Lima perusahaan yang diproyeksikan untuk masuk holding BUMD DKI, yaitu PT Tjipinang Food Station, PT Jakarta Tourisindo, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN), dan PT Jakarta industrial estate pulogadung (JIEP).

Kelima BUMD tersebut akan berstatus sebagai anak perusahaan PT Jakpro. Kendati demikian, pihaknya diwajibkan untuk membeli sisa saham yang dimiliki oleh pihak swasta di tiap-tiap BUMD. Pasalnya, Pemprov DKI tak berstatus sebagai pemegang saham utama.

Berdasarkan penelusuran gresnews.com, Pemprov DKI baru memiliki 26,85 persen saham di PT KBN, 50 persen saham di PT JIEP, 72 persen saham di PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., 74,67 persen saham di PT Tjipinang Food Station dan 99,3 persen saham di PT Jakarta Tourisindo.

Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta juga menyetujui PT Jakpro untuk menggarap proyek-proyek potensial di Ibu Kota senilai Rp7,7 triliun. Beberapa proyek yang akan dikerjakan Jakpro antara lain pembangunan rumah susun, wisma atlet, akuisisi perusahaan, dan holding beberapa BUMD.

Sebelumnya Ahok telah memberikan tenggat waktu (deadline) bagi Jakpro melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) dalam 2-3 tahun mendatang. "Saya harapkan Jakpro sudah IPO pada akhir 2017 atau paling telat awal 2018," katanya setelah menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Jakpro, Selasa (23/6).

Ahok menilai perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi tersebut memiliki potensi besar untuk menarik perhatian pasar. Apalagi, saat ini Jakpro memegang beberapa proyek infrastruktur besar di Ibu Kota, misalnya pembangunan 13.000 unit rumah susun, 7.000 unit wisma atlet, dan proyek lainnya. "Saya mau jadikan Jakpro ini konglomerat di Jakarta. Saya semangat sekali. Mereka butuh dana Rp7,7 triliun, gampang nanti saya suntikkan melalui penyertaan modal pemerintah ," katanya.

Dia menuturkan tujuannya BUMD Go Public itu agar pengawasan jelas dan transparan. Jadi, lanjut Ahok, siapapun yang nantinya menjabat jadi Gubernur DKI tak bisa ikut campur atau mengganggu profesionalisme perusahaan.

BACA JUGA: